Selasa, 13 Januari 2009

Ritual Seks Gunung Kemungkus Perspektif Living Qur’an

Beberapa ahli telah berusaha memberikan definisi terhadap Living Qur’an. Living Qur’an merupakan pewujudan Alquran yang begitu nyata dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemakaan dari Living Qur’an adalah sebagai teks Alquran yan hidup dalam masyarakat. Sebagai teks Alquran yang hidup, ia merupakan respon masyarakat terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu dari Alquran. Living Qur’an tersebut terlihat dengan proses memfungsikan Alquran di luar kondisi teksnya. Respon tersebut terwujudkan dalam kehidupan praksis yang tidak jarang justru bertentangan dari nilai yang digariskan Alquran itu sendiri.
Sebagaimana yang disampaikan M. Mansur, fenomena ini bermula dari Quran in everyday life. Objek pembahasannya adalah praktek-praktek tertentu terhadap teks Alquran dalam kehidupan praksis. Pernyataan tersebut menegaskan bahwasanya Living Qur’an telah terjadi semenjak Alquran itu sendiri ada.
Studi Living Qur’an merupakan studi sosial dan keragamannya yang berasal dari pemahaman dan respon manusia terhadapnya. Studi ini merupakan studi ilmiah murni yang berbeda dengan studi-studi yang dilakukan para ulama klasik yang lebih memusatkan kajian mereka kepada aspek internal dari Alquran.
Manusia sebagai makhluk yang kreatif dan inovatif selalu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut meliputi segala hal, mulai dari pola fikir, watak, tingkah laku, dialek, kepribadian, kecenderungan, dan sebagainya. Di saat dihadapkan dengan suatu perkara, mereka juga akan menghasilkan respon yang berbeda-beda, terlebih lagi jika telah terkontaminasi oleh pengaruh sosio-kultural masing-masing yang juga berbeda. Begitu juga dengan Alquran, di saat dihadapkan kepada manusia yang beragam akan menghasilkan respon, penafsiran, dan pemahaman yang berbeda-beda. Seorang ulama mengibaratkan Alquran sebagai sebuah permata dengan banyak sudut. Ia akan menghasilkan warna dan pantulan cahaya yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut yang berbeda. Dari proses dialektis antara manusia dan Alquran inilah lahir fenomena Living Qur’an.
Salah satu contoh adalah “Ritual Seks Gunung Kemungkus”. Pada dasarnya, ritual tersebut merupakan penerapan konsep tabarruk dan tawassul yang sebenarnya masih debatable, dibenarkan dan dibolehkan oleh sebagian ulama, dan dilarang menurut sebagian lain. Konsep tabarruk dan tawassul tersebut berdialog dengan kehidupan kapitalis manusia, sehingga terlaksanalah berbagai macam kegiatan ber-tawassul dan tabarruk seperti ritual gunung Kemungkus ini.
Beberapa proses yang dijalani saat melaksanakan ritual ini yaitu: (1) Mengambil air dari dua sumber air yang berbeda. Pertama, di Sendang Ontrowulan yang nantinya dibawa pulang karena dianggap membawa berkah. Kedua, air di Sendang Taruna yang nantinya akan digunakan untuk bersuci setelah melakukan ritual seks. Masing-masing air tersebut dido'akan terlebih dahulu oleh juru kunci masing-masing sendang. Doa-doa tersebut tidak berbeda dengan doa yang lazimnya dibaca selepas shalat atau pada kesempatan lainnya yang sudah pasti sebagian besar merupakan teks Alquran. (2) Berdo'a di makam Raden Samudra. Banyak versi cerita yang dapat kita temui tentang kisah Raden Samudra ini. Ia adalah Putra Majapahit atau Putra Demak dalam mitos lainnya yang jatuh cinta kepada ibu tirinya sehingga akhirnya terjadinya hubungan seks antara keduanya. Dan (3) Melakukan ritual seks sebagai syarat terkabulnya keinginan. Ritual ini sepertinya berawal dari kisah perselingkuhan Raden Samudra dengan ibu tirinya, sehingga dalam ritual ini, hubungan seks pun harus dilakukan bukan dengan pasangan resmi.
Namun, ada suatu kejanggalan dari ritual ini. Menurut sebagian ulama, Islam dan Alquran membolehkan seorang muslim meminta berkah (tabarruk) kepada seorang kyai, syeikh, atau orang yang dipandang alim dan dekat dengan Allah swt serta terjauh dari perbuatan terlarang. Akan tetapi faktanya, pada ritual seks gunung Kemungkus ini justru kepada seorang Pangeran Samudra, yang konon memiliki hubungan terlarang dengan ibu tirinya. Dan hal ini jelas melanggar aturan doktrin Islam. Tapi hal ini bukanlah suatu permasalahan dalam kajian ilmu antropologi yang tidak mencari justifikasi benar atau salah suatu fenomena.
Sebagaimana modusnya, ritual seks ini diyakini dapat menjawab beberapa kebutuhan manusia, seperti masalah ekonomi, kenaikan pangkat, jodoh, dan sebagainya. Fenomena ini sangat menarik sekali, ia berhasil menjadi suatu aset berharga bagi pemerintah daerah. Banyaknya masyarakat yang meyakini ritual ini, menjadikan wilayah gunung kemungkus ini terlihat ramai pada malam-malam tertentu. Hal ini dimanfaatkan pemerintah setempat untuk dijadikan daerah pariwisata. Wisata ziarah ini menghasilkan aset sebesar 170 juta pertahunnya bagi daerah. Di samping itu, masyarakat sekitar juga mendapatkan lahan pekerjaan dengan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan para peziarah, mulai dari kembang-kembang, penginapan dan sebagianya guna memberikan kenyamanan para peziarah. Bahkan mucikari dan PSK pun dapat tersenyum karenanya.
Begitulah fakta menarik dalam agama Islam seputar pengamalan Alquran. Meskipun telah digariskan konsep baik buruk dan mempunyai sistem nilai evaluatif dan afirmatif, tetap dihadapkan kepada pengamalan yang sangat beragam sejalan dengan beragamnya kondisi sosio-kultural dan pola fikir masyarakat. Dan tidak jarang pengamalan tersebut teraplikasikan sebagai suatu hal yang bertentangan dengan ajarannya sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar