Selasa, 13 Januari 2009

METODE DIALEKTIK (Friedrich Hegel)

A. Pendahuluan
Metode berarti cara kerja yang sistematis dan teratur yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan yang merupakan sasaran dari suatu disiplin ilmu. Metode tidak hanya menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah. Lebih jauh dari itu, ia merupakan alat paling utama dalam proses dan pengembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal peneletian hingga mencapai pemahaman baru berupa kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu metode sangat menentukan hasil yang didapatkan dalam suatu proses, karena metode yang tepat dapat menjamin kebenaran yang diraih.
Setiap disiplin ilmu, sejatinya memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam disiplin ilmu yang lainnya. Begitu juga dengan filsafat. Ia menpunyai metode tersendiri, namun ia tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan semua filosof. Pada bidang filsafat, metode yang digunakan dapat dikatakan sama dengan aliran filsafat itu sendiri.
Setelah mengenal beberapa metode sebelumnya, berikut ini akan digambarkan secara ringkas mengenai metode dialektik. Figur sentral dari metode ini adalah Friedrich Hegel yang juga ikut ambil bagian sebagai salah satu objek pembahasan dari tulisan ini.
B. Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stutgart. Ia merupakan keturunan pegawai negeri. Ayahnya bekerja di kantor pajak di Württemberg. Sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang berbahaya hingga ia mencapai usia dewasa. Pada usia enam tahun, ia terserang penyakit cacar yang hampir merenggut nyawanya. Lebih dari seminggu pandangannya menjadi kabur dan kulitnya dipenuhi bopeng-bopeng mengerikan. Lima tahun ia lalui dengan penyakit tersebut. Baru pada umur sebelas tahun ia terbebas dari penyakit tersebut. Namun, disayangkan Ibunya justru meninggal karena kasus penyakit yang sama. Saat kuliah pun ia terkapar beberapa bulan lantaran penyakit malaria.
Ia merupakan seorang yang sangat rajin membaca. Hampir semua bahan bacaan ia lahap, mulai dari kesusastraan, koran, hingga risalah-risalah yang berisi semua subjek apapun yang ia temukan. Ia selalu menulis apa yang dia baca dalam catatan kecil yang ia sebut “pabrik ringkasan”. Pada jurnal pribadi tersebut ia menuliska semua hal. Bahkan ia menuliskan sembari mempertanyakan mengapa saat ia tidak menemukan hal yang menarik untuk dicatat dalam sehari. Mereka yang sempat membaca catatan-catatan Hegel ini akan menjumpai tentang laporan kebakaran lokal, kritik terhadap konser yang dia lihat, analisis cuaca, plus komentar klise: “cinta akan uang adalah akar dari segala permasalahan”. Begitulah Hegel yang mencatat semua yang ia dapatkan.
Pada usia 18 tahun, Hegel menjadi mahasiswa pada sekolah tinggi Teologi di Universitas Tübingen. Sesuai dengan universitas tempat ia belajar, awalnya semangat Hegel tertuju kepada teologi, namun setelah memasuki universeitas ia mulai tertarik dengan filsafat. Minat ini menjadikannya dekat dengan dua orang istimewa di zamannya, Hölderlin dan Schelling. Minat tersebut jugalah yang menjadikannya meninggalkan keinginan orang tuanya untuk masuk ke lingkungan gereja, ia lebih suka untuk menjadi seorang dosen. Minat itu jugalah yang mendasari kekagumannya terhadap Kant dengan fisafatnya yang mengkritik empirismenya Hume. Ia sangat tertarik dengan buku Kant yang berjudul “Critique of Pure Reason”. Baginya, terbitnya buku tersebut merupakan peristiwa paling besar dalam keseluruhan sejarah filsafat Jerman. Taka ayal lagi, seputar Kant dan filsafatnya cukup mendapat tempat dalam pabrik ringkasan Hegel.
Hegel dengan sangat tekun menggali karya-karya Kant, melengkapinya dengan penjelajahan kebudayaan Yunan kuno. Karena ketekunannya dan obsesi yang liar terhadap belajar, ia disebut “orang tua” lantaran kebiasaannya yang menurut mereka membosankan. Hal ini membuatnya lupa akan kewajiban kuliah yang sebenarnya, bahan bacaannya justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi perkuliahan. Inilah tampaknya yang menjadikan A. Bakker menyatakan bahwa sewaktu studi ia tidak terlalu mencolok kepandaiannya. Cita-citanya untuk menjadi tenaga pengajar di universitas pun tidak kesampaian.
Di bawah pengaruh Kant pula, Hegel kemudian menulis risalah-risalah religius yang mengkritik otoritarianisme Kristen. Hingga akhirnya pada tahun 1796 ia menjadi guru tutor di Frankfurt. Di sana ia mulai melakukan studi yang lebih keras lagi. Dan pada tahun 1801 ia menjadi privatdozent (suatu pekerjaan yang dibayar berdasarkan jumlah mahasiswa yang hadir) di Universitas di Jena. Namun, berhubung cara mengajarnya yang tidak menarik dan susah dimengerti, ia hanya dihadiri empat orang mahasiswa, meskipun setelah beberapa saat bertambah menjadi sebelas orang. Namun, ia juga tidak mau untuk menjalani opsi yang bisa membuat cara mengajarnya lebih menarik. Ia bahkan menyusun sistemnya sendiri dan mulai menanamkannya kepada mahasiswanya.
Salah seorang mahasiswa yang mengaguminya mengakui bahwa selama mengajar ia kadangkala tergagap, diam dan bermeditasi untuk kemudian melanjutkan penjelasannya. Ia kesulitan untuk mencari kata yang paling tepat untuk menyampaikan pemikirannya. Kalimat yang disampaikannya lebih sering bertele-tele dan sulit untuk dimengerti. Namun, sekali ia menyampaikan suatu kalimat yang tepat, itulah yang menjadi kalimat absolut dan tak terbantahkan. Begitulah suasana belajar bersama Hegel. Seberapa rumitkah kalimat Hegel? Coba anda perhatikan kalimat berikut ini:
“Sementara itu, karena budi itu bukan semata entitas abstrak yang sederhana, melainkan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah proses, dan dalam proses itu budi membedakan dirinya ke dalam berbagai momen, namun di dalam melakukan pembedaan itu tetap terdapat kebebasan dan pengambilan jarak, dan karena budi mengartikulasikan tubuhnya sebagai suatu keseluruhan ke dalam suatu ragam fungsi, dan memperlakukan satu bagian tubuh tertentu hanya untuk satu fungsi saja, maka seseorang juga dapat menghadirkan keadaan eksistensi internalnya sebagai sesuatu yang diartikulasikan ke dalam bagian-bagian...” dan seterusnya.

Di Jena ia menghasilkan beberapa karya. Lalu ia meninggalkan Jena untuk menempati posisi sebagai Redaktur Bamburger Zeitung. Dan silahkan Anda bayangkan bagaimanakah isi dan bahasa yang disuntinganya dalam koran tersebut selama dua tahun?
Pada tahun 1816 ia menjadi guru besar Heidelberg. Dua tahun kemudian ia pindah ke Berlin. Di sana, ia menjadi profesor filsafat, jabatan yang kosong setelah meninggalnya Fichte. Filsafatnya mulai menyebar luas ke segala penjuru universitas-universitas di Jerman. Tiga belas tahun kemudian ia meninggal di sana. Selama hidup ia telah banyak menghasilkan karya-karya besar.

C. Way of Think
Secara bahasa, dialektika dalam bahasa Inggris adalah dialectic dan dalam bahasa Yunani dialektos yang berarti pidato, pembicaraan, atau debat. Metode ini sebenarnya telah dimulai oleh Zeno, Socrates dan Plato. Aristoteles juga mengakui bahwa dialektika sesungguhnya ditemukan oleh Zeno. Ialah yang diakui sebagai orang jenius yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih kebenaran dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan. Ia mencari kebenaran dengan soal jawab secara sistematis. Sementara Plato menyadari bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi manusia tidak mungkin menjalani proses sebagaimana garis lurus, sehingga ia menuliskan pemikirannya dalam bentuk dialog-dialog. Tak berbeda dengan Sokrates, ia senantiasa menggunakan setiap kesempatan untuk berdialog. Dalam dialog tersebut ia berperan aktif dengan menggunakan argumen-argumen rasional yang didukung analisis yang cermat demi tercapainya suatu kebenaran objektif.
Sementara bagi Hegel sendiri, dialektik adalah dua hal yang bertentangan yang kemudian didamaikan. Menurutnya, dialektik merupakan jalan pemikiran, yang dengan persetujuan, tantangan, dan penyimpulan sampailah pada satu kesatuan yang lebih tinggi. Dalam berdialektik, Hegel menggunakan metode tiga serangkai, tesis, antitesis, dan sintesis. Konsep tiga serangkai ini dipaparkan pertama kali oleh Fichte. Suatu tesis dihadapkan pada negasinya, antitesis, sehingga kemudian menimbulkan sintesis yang pada tahap berikutnya kembali menjadi tesis berikutnya.
Pandangan tesis, antitesis, dan sintesis ini, menurut Hegel, karena pada hakikatnya, idea atau berfikir itu adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak tersebutlah yang mewujudkan tesis yang dengan otomatis juga mewujudkan antitesis sebagai lawannya. Pemikiran ini berpijak dari persepsi Hegel bahwa pada hakikatnya tidak ada sesuatu dalil pengertian yang berdiri sendiri, melainkan semuanya mempunyai sisi kontradiktif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa proses dialektika terdiri atas tiga fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Pada tahap awal, tesis, suatu pengertian dirumuskan dengan jelas dan radikal sehingga identik dengan dirinya sendiri dan menyangkal pengertian-pengertian lain yang berada di luarnya. Namun, akhirnya penjelasan tersebut menjadi cair dan beku. Dengan sendirinya ia butuh kepada fase kedua, antitesis. Pada tahap ini, yang secara otomatis telah disebutkan oleh tesis secara implisit, diterangkan dan dijelaskan secara radikal dan diekstrimkan, sehingga pengertian tersebut hilang ketegasannya dan mulai bergerak. Solusi terakhir adalah menuju ke langkah ketiga, sintesis. Kalau sebelumnya tesis dan antitesis diperlakukan dengan sudut pandang dirinya sendiri secara ekstrim sehingga jelaslah kontradiksi keduanya, maka pada tahap ketiga ini, keduanya difikirkan bersama-sama. Dengan demikian, proses tersebut menghasilkan suatu pengertian baru. Perlu diperhatikan bahwa kontradiksi antara tesis dan antitesis tidak dapat dijawab dengan alternatif. Anda tidak bisa memilih salah satu darinnya, karena dengan itu anda tidak akan menghasilkan sintesis, melainkan hanya memilih salah satu, apakah tesis dengan mereduksi antitesis atau antitesis dengan mereduksi tesis.

D. Pandangan Penyusun
Sebagaimana telah diulas dengan singkat di atas, dengan metode berfikir secara dialektik, dapat disimpulkan suatu pengertian baru yang lebih padat. Namun, pikiran manusia itu dinamis, suatu kesimpulan yang baru didapat, juga masih dapat disempurnakan dan diperbaharui lagi. Dan yang menjadi hal terpenting dalam kajian ini adalah, dialektika dapat menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan. Dengan metode ini, ilmu akan terus dinamis seiring dinamisnya pikiran manusia.
Hegel dengan sangat jelinya menggunakan metode ini sehingga menjadi seorang filosof ternama dan mempunyai banyak pengikut yang kemudian disebut hegelian. Penyusun berpandangan bahwa rumit dan kacaunya kalimat-kalimat yang disampaikan Hegel dalam kuliahnya saat menjadi privatdozent maupun dalam berbagai tulisannya dilatarbelakangi gerak pikirannya yang dialektis. Saat mengajar ia terkadang tergagap, diam, dan bermeditasi untuk menemukan kalimat yang tak terbantahkan lantaran ia memikirkan sisi tesis, antitesis, dan sintesis dari idenya. Kalimatnya yang tak selesai walaupun sudah mencapai beberapa baris merupakan rentetan sintesis yang kemudian menjadi tesis dan mendapatkan antitesis baru yang berlanjut terus hingga ia mendapatkan kesimpulan akhir.
Hingga saat ini, penyusun mempunyai penilaian positif terhadap metode ini. Namun, sebagaimana diketahui bahwa setiap filosof selalu mendapatkan kritik dari filososf setelahnya. Hal ini berarti bahwa dialektik ini sendiri bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan. Ini sangat manusiawi sekali, bahwa Hegel pun bukanlah manusia yang sempurna.

E. Penutup
Dari gambaran singkat di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Hegel adalah seorang maniak baca sekaligus maniak tulis yang terbukti dengan “pabrik ringkasan”-nya. Kedua, metode dialektis merupakan metode berfikir sistematis yang menjalani 3 fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Sebenarnya metode ini telah digunakan juga oleh Zeno, Socrates, dan Plato. Dan ketiga, dalam berfikir dialektis, tidak dapat ditentukan jawaban dengan alternatif karena dengan itu tidak akan dihasilkan sintesis.
Demikianlah makalah ini kami susun dengan usaha semaksimal mungkin. Namun daripada itu, penyusun menyadari bahwa di sana-sini masih terdapat berbagai kekurangan untuk dapat dimaklumi bersama.
Wallahu A’lamu bi al-Ṣawwābi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar