Kamis, 01 Januari 2009

INHALER DAN PUASA PEMAKAINYA

INHALER DAN PUASA PEMAKAINYA

A. Pendahuluan

Puasa adalah salah satu rukun Islam. Sebagai sebuah rukun, ia mesti dilaksanakan oleh setiap muslim, diwajibkan pada bulan Ramadhan dan disunatkan di hari-hari lainnya. Kewajiban ini telah dijustifikasi oleh firman Allah surat al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”

Pada ayat di atas, tidak tertulis subjek yang mewajibkan puasa, meskipun tidak dapat dipungkiri yang mewajibkannya adalah Allah swt. Hal ini merupakan isyarat betapa pentingnya puasa bagi manusia, sehingga apabila Allah tidak mewajibkannya, manusia akan tetap berpuasa dengan pertimbangan faktor-faktor lain.[1] Begitulah pentingnya puasa, sehingga tidaklah salah jika seseorang berkata bahwa setiap manusia butuh puasa.

Namun, dalam kondisi tertentu, sebagian manusia tidak mampu menjalankan puasa seperti orang yang sakit, dalam perjalanan, orang tua, dan wanita menyusui. Pada kondisi-kondisi tersebut, manusia tidak bisa dan bahkan tidak mungkin melaksanakan puasa. Namun, Islam sebagai agama yang yusrun, memberikan jalan keluar bagi mereka berupa rukhsah (keringanan) dengan syarat menggantinya pada hari-hari selain Ramadhan atau dengan membayar fidyah dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikutnya:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Artinya : “Maka siapa yang sakit atau berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengganti puasanya pada hari lain, dan bagi orang yang tidak sanggup untuk berpuasa, hendaklah ia membayar fidyah berupa memberi makan bagi orang miskin.” (Q.S. Al-Baqarah 184)

Terlepas dari itu, sangatlah penting untuk mencermati segala hal yang bisa membatalkan puasa seperti masuknya suatu benda ke salah satu rongga dari rongga-rongga tubuh manusia. Namun dari ini, timbul suatu polemik. Bagaimana halnya inhaler bagi orang yang berpuasa?

Kita kenal dengan asma. Suatu penyakit yang cukup banyak diderita manusia, termasuk di Indonesia. Pada dasarnya, penderita penyakit ini secara fisik mampu untuk berpuasa. Karena memang fisiknya cukup kuat untuk melaksanakan puasa. Hanya saja di saat kambuh, dia sangat kesusahan. Tetapi dengan memakai inhaler sebagai obat, sesak nafas yang sangat mengganggu tersebut reda dalam beberapa menit saja. Akan tetapi, apakah inhaler ini tidak membatalkan puasa?

Secara kasat mata, dapat dilihat bahwa inhaler tersebut membatalkan puasa pemakainya. Karena mengutib dari kitab Fath al-Mu`in mengenai hal yang membatalkan puasa, disebutkan bahwa masuknya suatu benda meskipun sedikit ke dalam apa saja yang disebut rongga.[2] Begitulah halnya dengan inhaler.

Namun di sisi lain, inhaler itu sendiri terbentuk dari udara sebagaimana udara yang biasa kita hirup dalam proses pernafasan. Hanya saja udara tersebut sudah dicampur dengan zat pereda sesak nafas karena asma. Dan pemakaiannya pun bukan untuk memasukkan makanan yang mengenyangkan, melainkan untuk pengobatan. Dan dari sini, bisa saja disimpulkan bahwa inhaler tidaklah membatalkan puasa. Jadi bagaimana penyelesaiannya?

Dari gambaran di atas, perlulah kiranya polemik ini dibahas lebih mendalam. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisa dan meneliti lebih lanjut bagaimanakah keberadaan puasa penderita asma yang memakai inhaler.

Demi terfokus dan terarahnya kajian ini, sekaligus memberikan rel yang jelas untuk pengembangannya, dapatlah dirumuskan masalah yang akan dikaji lebih lanjut yang tersusun dari beberapa poin:

1. Apakah yang dimaksud dengan puasa dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan puasa?

2. Bagaimanakah penyakit asma dan apakah yang disebut dengan inhaler?

3. Dan bagaiman puasa penderita asma yang menggunakan inhaler, batalkah atau tetap sah?

B. Defenisi dan Hukum Puasa

Puasa adalah suatu entitas yang tidak asing lagi bagi kita semua. Semenjak jenjang pendidikan terendah, tingkat Taman Kanak-kanak, setiap murid telah diajarkan mengenai dasar-dasar agama seperti rukun Islam, rukun iman, dan yang lain sebagainya. Berarti semejak itu pulalah kita mengetahui bahwa puasa adalah salah satu dari Rukun Islam. Selain dalam surat al-Baqarah: 183 di atas, eksistensi puasa sebagai salah satu rukun Islam ini juga telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau dari Abdullah bin Umar:

بني الإسلام علي خمس: شهادة ان لا إله إلا الله و أن محمد الرسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان (أخرجه البخار و مسلم و النساء)

Artinya : Islam dibangun atas lima perkara (1)syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)mendirikan shalat, (3)membayarkan zakat, (4)haji, dan (5)puasa Ramadhan (H.R Bukhari, Muslim, Nasa`i, dan Turmizi)[3]

Puasa telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Nabi Musa dalam syariatnya melaksanakan puasa selama 40 hari. Di dalam Taurat dan Injil pun disebutkan bahwa puasa adalah ibadah yang dianjurkan, meskipun nash yang mewajibkannya tidak ada. Setelah itu digambarkan mengenai faidah puasa, yaitu untuk mempersiapkan diri seorang mukmin untuk bertakwa kepada Allah. Bagaimana tidak? Puasa itu wujudnya adalah pengekangan dan pengontrolan hawa nafsu, pnguatan jiwa, dan penerapkan kesabaran. Puasa mengajarkan umat Islam untuk meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia demi melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.[4]

Selanjutnya, apakah makna definitif dari puasa baik secara etimologi maupun terminologis? Mengatahui ini merupakan suatu kemestian, karena kalau seseorang beramal, namun ternyata ia tidak mengenal apa yang dikerjakannya, jadi apa sebenarnya yang diamalkannya?

Secara Etimologi, shaum adalah kata dalam Bahasa Arab yang berarti imsak (menahan).[5] Jadi secara bahasa, jika seseorang mengangkat suatu benda, dan ia menahan benda tersebut agar tidak jatuh lagi ke tempatnya, maka ia telah berpuasa. Namun cukupkah kita hanya mengenal shaum secara bahasa? Tentu saja tidak. Di samping itu, kita juga harus mengetahui apakah arti shaum tersebut secara syar’i (terminologi).

Dalam berbagai kitab, disampaikan berbagai macam redaksi mengenai defenisi syar`i puasa. Namun itu mempunyai maksud dan makna yang sama. Salah satunya mengutup dari Tafsir Ibnu Katsir Jilid I dinyatakan bahwa puasa adalah menghindari dari makan, minum, dan berjima` disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.[6] Dan puasa itu sendiri disyariatkan olah Allah kepada umat Islam pada bulan Sya`ban tahun 2 Hijriah.[7]

Sebagaimana pada ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa itu adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Dan wajibnya puasa tersebut terbagi kepada tiga bagian: karena faktor waktu (puasa Ramadhan), karena suatu sebab atau illat (puasa kafarat), dan karena janji (puasa nazar).[8]

Sebagai sebuah perintah dari Allah sebagai subjek hukum, tentu puasa juga mempunyai objek, dalam artian kepada siapa puasa itu diwajibkan? Puasa diwajibkan kepada setiap orang yang telah memenuhi kriteria muslim, mukallaf, tidak ada penghalang puasa seperti haid dan nifas, dan mampu.[9] Pelaksanaan puasa juga tidak terlepas dari rukun-rukun, yaitu niat, dan menahan diri dari segala hal yang membatalkannya.[10]

Selain puasa Ramadhan, Islam juga mengenal beberapa puasa sunat, seperti puasa ‘asyura (10 Muharram), tasu’a (9 Muharram), enam hari di bulan Syawwal, puasa ayyamu al-baidhi (di siang hari yang malamya bulan purnama (sekitar tanggal 12, 13, dan 14 setiap bulan qamariyyah), dan puasa Senin Kamis.[11]

Selain hari-hari diwajibkan dan disunatkan untuk menjalankan puasa, Islam juga menjelaskan hari-hari yang diharamkan melaksanakan puasa: dua hari raya besar (‘Idul Fitri dan Idul Adha) dan hari tasyri’ (11, 12, dan 13 Zulhijjah).[12]

Untuk menambah kesempurnaan ibadah puasa, terdapat beberapa hal yang disunatkan selama berpuasa, yaitu: menta`khirkan sahur, menta`jilkan buka, bersuci sebelum fajar, menahan syubhat yang mubahah, memperbanyak amal ibadah (shadaqah, tilawah, dll), i`tikaf, menghindarkan perkataan kotor dan sia-sia. [13]

Namun, di samping itu, perlu juga memperhatikan hal-hal yang dapat merusak dan membatalkan puasa: masuknya sesuatu ke rongga, memasukkan obat melalui kemaluan atau anus, sengaja muntah, hubungan suami istri (jima`) pada faraj dengan sengaja di siang hari, onani, haidh dan nifas, gila, murtad. [14]

Ibadah puasa mempunyai banyak sekali keutamaan, sehingga tidak salah jika dinyatakan bahwa manusia butuh kepada puasa, apalagi puasa Ramadhan. Mengapa tidak? Begitu banyak keutamaan puasa Ramadhan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada manusia pada bulan ini, di antaranya: puasa menjadi perisai dari perbuatan tercela, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari minyak kesturi di sisi Allah, orang yang berpuasa punya dua kegembiraan, di saat berbuka dengan perbukaannya, dan di saat menghadap Tuhannya, gembira dengan puasanya, dan sebagainya. Dengan keutamaan-keutamaan tersebut, masihkah puasa tidak dibutuhkan?

C. Asma dan Inhaler

Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernafasan yang bersifat reversible (kadangkala kambuh dan kadangkala sehat) yang ditandai dengan kepekaan brongkus yang luar biasa terhadap banyak jenis rangsangan sehingga mengakibatkan mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk-batuk. Ternyata, asma bukanlah penyakit kontemporer yang baru-baru ini muncul dan menjangkit manusia. Kata “asma” telah dipakai pertama kali oleh seorang dokter Yunani yang bernama Hipocrates semenjak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Dia di gelari dengan Bapak Kesehatan. Asma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti terengah-engah.

Defenisi spesifik penyakit ini belum disepakati oleh para ahli kedokteran. Hal ini disebabkan oleh ciri utama dan karakteristik yang berbeda bagi tiap penderita. Namun ciri yang dominan adalah reversibel baik itu bagi penderita asma parah. Jadi apakah seseorang mengidap penyakit asma ringan ataupun berat, penyakit tersebut tetap kadangkala kambuh dan terkadang sehat. Perbedaannya hanya pada periode keseringan kambuhnya.

Di satu sisi, mengi merupakan ciri utama dari asma, akan tetapi tidak semua mengi itu asma. Menurut suatu penelitian, 10% dari penduduk dunia mengalami mengi, namun hanya 2% yang asma sesungguhnya.[15]

Meskipun bersifat reversibel, akan tetap asma seseorang akan kambuh dengan beberapa faktor: injeksi, alergi, emosi (rasa senang, kecewa, dan sebagainya dapat menimbulkan mengi), aktifitas, dan atmosfer atau polusi udara.[16]

Bagaimana dengan inhaler? Inhaler merupakan salah satu dari obat asma. Obat asma dibuat dalam berbagai bentuk seperti tablet, sirup, puyer, injeksi, dan inhaler. Inhaler itu sendiri adalah obat asma yang dibuat dan dirancang sedemikian rupa sehingga pemakaiannya berbentuk proses pernafasan seperti biasa, dan pengaruhnya dapat langsung bekerja pada saluran pernafasan.[17] Bentuknya pun sangat sederhana, yaitu seperti udara yang dicampur dengan zat yang biasanya terdiri dari epinephirine atau isoprotenerol yang disemprotkan ke dalam tenggorokan dan dihirup dengan segera.[18] Efek obat ini langsung terasa dalam beberapa menit saja. Berbeda dengan tablet, sirup atau yang lainnya. Obat ini prosedurnya melalui saluran pencernaan terlebih dahulu, kemudian baru disalurkan oleh darah ke sasarannya. Dan hal ini memakan waktu yang cukup lama. Dan lamanya waktu dapat berpengaruh buruk terhadap penderita di saat asmanya kambuh.

D. Pendapat Ulama Menganai Puasa Pemakai Inhaler

Berikut ini akan disampaikan mengenai inti permasalahan pada karya tulis ini, yaitu mengenai kedudukan puasa bagi penderita asma yang menggunakan inhaler. Untuk itu, penulis menganalisa beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut, paling tidak pendapat yang mendekati pembahasan tersebut, diantaranya:

1. Inhaler membatalkan puasa pemakainya. Karena sangat jelas, memasukkan sesuatu ke badan melalui lubang badan seperti mulut, hidung, atau yang lainnya berakibat pada batalnya puasa seseorang. Berbeda dengan injeksi yang dimasukkan melalui badan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa injeksi tidak membatalkan puasa. Pendapat ini tertulis dalam kolom konsultasi Ramadhan di harian Republika edisi Jumat, 7 Oktober 2005.[19]

2. Dalam buku Al-Fatawa Asy-Syar`iyyah fi Al-Masail Al-Ashriyyah min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini dijelaskan bahwa Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin berpendapat bahwa inhaler hukumnya boleh, baik pada puasa Ramadhan ataupun pada puasa yang lainnya, kerena inhaler tidak sampai kelambung, tetapi hanya berfungsi untuk melegakan pernafasan. Penggunaannya pun hanya dengan bernafas seperti biasa. Jadi hal ini berbeda dengan makan dan minum. Karena memang tidak ada makanan dan minuman yang sampai ke lambung.[20]

3. Yusuf Qaradhawi mengenai injeksi berfatwa, bahwa jarum injeksi terbagi kepada dua tipe. Yang pertama injeksi yang tidak memasukkan makanan ke dalam tubuh seseorang. Mengenai ini banyak ulama berpendapat boleh, karena memang tidak ada makanan yang sampai ke lambung dan tujuannya pun tidak untuk memasukkan makanan. Yang kedua adalah injeksi yang bertujuan untuk memasukkan makanan ke dalam darah. Mengenai ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan membatalkan karena memasukkan makanan ke darah, dan sebagian lainnya menyatakan tidak membatalkan karena makanan tersebut tidak sampai ke perut besar (lambung). Beliau lebih cenderung kepada pendapat kedua mengenai ini. Karena puasa adalah menahan dari syahwat perut dan syahwat sexual.[21]

4. Syaikh Al-Bakri bin Sayyid Muhammad dalam kitabnya I`natu at-Thalibin Juz II menyatakan bahwa masuknya sesuatu ke dalam apa saja yang disebut dengan rongga, meskipun sedikit, membatalkan puasa. Beliau mencontohkan benda tersebut meskipun sebesar semut merah atau kerikil yang kecil. Namun tidak demikian dengan atsar (pengaruh/bekas) dari benda tersebut, yaitu bau dan rasa. Hal ini tidak membatalkan puasa.[22]

5. Syaikh Muhammad Sjarbaini Al-Khatib, dalam kitab Mughni al-Muhtaj, menyatakan bahwa puasa adalah menahan dari masuknya sesuatu benda ke dalam rongga seseorang meskipun sedikit. Namun dengan kata “benda” (`ain) maka tidaklah termasuk bekas (atsar) seperti bau-bauan yang dicium, hangat dan dinginnya air dengan indra perasa. Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa masuknya serangga, nyamuk, debu jalanan, atau benda-benda halus tidak membatalkan puasa.[23]

6. Dalam kitab Mazahib Al-Arbaah, Hanafiah berpendapat bahwasanya puasa seseorang batal dengan mengkonsumsi benda-benda yang mengenyangkan, diinginkan oleh hawa nafsu manusia, melegakan atau memenuhi syahwat perut, seperti makan dan minum.[24] Namun tidak demikian dengan masuknya debu-debu jalanan, benda-benda yang halus, serangga atau nyamuk ke dalam Jauf (rongga).

7. Dalam kitab yang sama, Maliki berpendapat bahwa masuknya benda ke rongga mulut, mata, telingga, atau hidung baik berupa air ataupun benda lain berakibat pada batalnya puasa. Tetapi, bau makanan atau asap kayu bakar tidak demikian.[25]

Dari ketujuh pendapat di atas, pendapat pertama bertolak belakang dengan pendapat kedua. Pada pendapat pertama dijelaskan bahwa memasukkan benda melalui rongga mambatalkan puasa, jadi inhaler tentu juga demikian. Namun pada pendapat kedua, inhaler boleh bagi orang yang berpuasa karena tidak sampai ke lambung dan penggunaannya seperti bernafas yang selayaknya. Hal itu berbeda dengan makan dan minum.

Pada pendapat ketiga hingga ketujuh, tidak membahas mengenai permasalahan ini secara langsung, namun dapat dijadikan pertimbangan untuk penetapan hukum inhaler tersebut. Pada pendapat Yusuf Qaradhawi, penulis menggaris bawahi injeksi tidak membatalkan puasa karena tidak bertujuan untuk memasukkan makanan dan tidak sampai ke lambung. Inhaler pun demikian.

Pada pendapat keempat sampai ketujuh, dinyatakan bahwa atsar (bekas) suatu benda, yaitu bau dan rasa dari benda tidak membatalkan puasa, begitu juga debu jalanan, benda-benda halus dan asap kayu bakar. Penulis menilai bahwa inhaler bersifat seperti sama dengan benda-benda yang disebutkan di atas, dia hanya punya rasa, berbentuk seperti debu, berwujud sangat halus, dan kalau disemprotkan ke alam bebas, seperti asap yang mengandung debu.

E. Kesimpulan

Setelah mendapatkan pertanyaan yang menjadi akar permasalahan kajian ini dan dibahas dan dianalisa secara komprehensif dengan media beberapa pendapat ulama serta analisisnya, dapat disimpulkan bahwa inhaler tidak membatalkan puasa pemakainya karena faktor-faktor berikut:

1. tidak sampai ke lambung.

2. penggunaannya seperti bernafas selayaknya.

3. tidak bertujuan untuk memasukkan makanan.

4. hanya punya rasa.

5. berbentuk debu dan sangat halus.

Kesimpulan ini berdasarkan istidlal dengan metode Maslahah Mursalah, dimana hal ini adalah kemaslahatan untuk manusia, namun dalil mengenai permasalahan ini tidak ada, baik untuk penetapannya ataupun untuk pembatalannya. Sementara itu syari`at bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Jadi tidak salah kita mengambil sisi maslahah dari peristiwa ini.

Mengapa ini merupakan kemaslahatan? Karena sangatlah sia-sia rasanya kalau puasa seseorang rusak atau batal karena peristiwa yang hanya terjadi beberapa menit saja, sementara itu peristiwa tersebut tidak diinginkan, dan menghilangkan kesia-siaan adalah sebuah kemaslahatan.

Hal ini sejalan dengan kebolehan debu jalanan, asap kayu bakar, serangga, nyamuk, atau benda-benda halus lainnya yang masuk ke dalam rongga. Tidak ada orang yang benar-benar menginginkan benda tersebut masuk ke dalam rongga. Sehingga jika itu terjadi, tidaklah merusak puasa seseorang, karena sangat sia-sia kalau puasa seseorang batal hanya karena peristiwa kecil yang tidak diinginkan manusia. Hal ini dipandang segi maslahatnya.

Wallahu A`lamu bisshawwab



[1] M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000) hal. 382.

[2] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari (selanjutnya: Al-Mulyabari), Fathul Mu`in (Semarang: Karya Toha Putra, t.th) hal. 56.

[3] Syaikh Mansur Ali Nasif, At-Taj Al-Jami` li Al-Usul fi Ahaditsi Ar-Rasul, (Kairo: Darul Fikri, t.th) hal 24.

[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid I, (t.p: Darul Fikri, t.th) hal. 165.

[5] Al-Mulyabari, Fathul Mu`in, hal. 54.

[6] Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azim Jilid I, (Kairo: Darul Hadits, 2003) hal. 265.

[7] Al-Mulyabari, Fath al-Mu`in, hal. 54.

[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Surabaya: Hidayah, t.th) hal 206.

[9] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 207; Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 55.

[10] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 55.

[11] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 59.

[12] Muhammad bin Qasim al-Azzy (selanjutnya: Qasim Al-Azzy), Fatul Qarib, (Surabaya: Dar al-Nasyar al-Misriyyah, t.th) hal 26.

[13] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 59; Qasim Al-Azzy, Fatul Qarib, hal. 26.

[14] Qasim Al-Azzy, Fatul Qarib, hal. 26.

[15] Sri Mulyani dan Didit Gunawan, Ramuan Tradisional untuk Penderita Asma, (Bogor: Penebar Swadaya, 2000) hal. 1-2.

[16] Roy Meadow dan Simon Newel, Lecture Notes Pediatrika, (Jakarta: Erlangga, 2002) hal.

[17] http://www.infoasma.org/asma.html.

[18] Harold Shyock dan M.D Banduni, Modern Medical Guide, (t.t, Herald Publishing, 2000) hal. 26.

[19] http://republika.co.id.

[20] http://www.almanhaj.or.id.

[21] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hal. 422.

[22] Syaikh Al-Bakri bin Sayyid Muhammad, I`anatu at-Thalibin Juz II, (Surabaya: Dar al-Ilmi, t.th) hal. 236.

[23] Muhammad Sjarbaini Khatib, Mughni Muhtaj, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halbi wa Auladihi, 1958) hal. 428.

[24] Abdurrahman Al-Jaziri, Mazahib Al-Arba`ah, (Kairo: Maktabah Tijariah Kubra, t.th) hal. 561.

[25] Abdurrahman Al-Jaziri, Mazahib Al-Arba`ah, hal. 566

2 komentar:

  1. Assalamualaikum Wr.Wb
    Semoga bermanfaat buat saudara kita yang mempunyai asma.
    Wassalamualaikum Wr.wb

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum Wr.Wb
    Semoga bermanfaat.
    Wassalamualaikum Wr.Wb

    BalasHapus