Kamis, 20 November 2008

Pagi: Optimis!!, Malam: Siap!!

Setiap hendak tidur, idealnya seorang membaca doa sebelum tidur yang lebih kurang berbunyi: “Bismika allahumma aḥya wa bismika amūt”. Pada dasarnya, semua itu merupakan wujud dari penyerahan diri kepada Allah sang Penjaga manusia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kita selalu berada di bawah lindungan Allah. Begitu juga di saat bangun di esok hari, hendaknya seseorang berdoa lagi yang lebih kurang berbunyi “Alhamdu lillahi allazi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihi an-nusyur”. Doa ini merupakan ungkapan syukur seorang hamba kepada Tuhannya (Allah swt) yang telah menjaganya di waktu tidur dari segala macam gangguan dan membangunkannya dengan selamat di waktu pagi.

Kedua doa ini bukanlah ungkapan penyerahan diri dan rasa syukur seorang hamba semata, lebih dari itu keduanya juga mempunyai suatu makna yang cukup luas. Sewaktu mau tidur, kalimat doa mengindikasikan pembicara (yang berdoa) dalam konteks individu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata ‘ahya’ dan ‘amut’ yang merupakan fi’il mudhari’ (kata kerja yang berarti future atau continious dalam bahasa Inggris). Kata ini mengandung dhamir ‘ana’ sehingga memiliki arti ‘saya hidup’ dan ‘saya mati’. Maka, jika diterjemahkan secara keseluruhan, doa tersebut bermakna “Dengan nama Engkaulah ya Allah aku hidup dan dengan nama Engkau pulalah aku mati”. Doa ini memberikan penekanan pada kata ‘amut’ karena untuk menghadapi mati (atau tidur) itulah doa tersebut diucapkan. Sementara pada doa bangun tidur, dhamirana’ tersebut berubah menjadi ‘nahnu’ dan posisi pembicara (pendoa) berubah dari subjek menjadi objek. Hal ini terbukti dengan redaksi doa ‘ahyana’ dan ‘amatana’. Keduanya berarti ‘menghidupkan kami’ dan ‘mematikan kami’. Jika diterjemahkan secara keseluruhan akan berarti “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya lah tempat kembali”. Lantas, apa yang menjadi rahasia kedua doa ini? Perhatikan pembahasan berikut ini!

Lebih dari sekedar pengungkapan rasa syukur, doa bangun tidur merupakan ungkapan optimis seseorang yang konsisten untuk menjalani kehidupan sosial. Kata ‘ahyana’ mengindikasikan ketidakmampuan manusia untuk hidup sendiri. Perubahan posisi pendoa dari subjek menjadi objek mengindikasikan bahwa mereka butuh kepada sesuatu yang lain untuk menghidupkannya. Dan perubahan dhamir singular menjadi plural mengindikasikan manusia secara mutlak membutuhkan hubungan sosial. Ia hidup dalam lingkup sosial dalam tatanan yang kompleks. Ia tidak akan pernah mungkin bisa hidup tanpa adanya keterlibatan sistem-sistem lainnya yang berada di sekitarnya. Ia butuh makan, minum, kesehatan, kebahagiaan, dan semuanya tidak akan mungkin didapat kecuali dengan adanya hubungan sosial yang baik.

Sebagai konsekuensinya, setiap manusia harus memperhatikan nilai-nilai dalam menjalankan interaksi sosialnya. Ia harus pintar bersikap di tengah masyarakat sosial dengan tolok ukur norma dan nilai yang berlaku. Nilai dan norma tersebut bisa berasal dari agama, adat, kesopanan, maupun kesadaran kolektif yang menyatakan bahwa sesuatu pekerjaan itu baik dan yang lainnya buruk. Ia dituntut untuk menghindari setiap benturan yang sangat mungkin terjadi antara individu dan individu lainnya. Dengan itu, berarti ia telah berhasil membuktikan konsistensi dari ungkapan optimisnya di setiap bangun tidur.

Namun, status manusia sebagai makhluk sosial tersebut hilang saat ia mulai memasuki alam akhirat. Kata ‘amut’ dalam doa sebelum tidur tersebut tidak lagi bermakna plural, melainkan singular. Berarti, untuk menghadapi kematian dan alam-alam setelahnya, manusia berubah menjadi makhluk yang individual. Setiap manusia hanya sibuk dengan urusan pribadi mereka. Tiada lagi hubungan saling ketergantungan antar individu sebagaimana kehidupan dunia. Di samping itu, doa ini merupakan ikrar kesiapan manusia untuk menempuh kematian dan alam akhirat yang serba individual tersebut. Coba Anda perhatikan makna lugas dari doa tersebut, dengan lantang redaksinya berbunyi “Dengan nama Engkau pulalah aku mati”. Dengan pemaknaan yang sedikit cermat, doa tersebut berarti ungkapan pembicara (yang berdoa) mengenai kesiapannya untuk menempuh kematian. Bukankah orang yang dengan lantang menyatakan sesuatu berarti ia telah siap dengan segala konsekuensi dari ungkapannya itu?

Jadi, doa yang selama ini dibaca menjelang dan setelah tidur bukanlah hal yang sederhana. Lebih dari itu, keduanya mempunyai makna yang sangat mendalam. Bukan hanya sebagai permohonan perlindungan dan ungkapan rasa syukur semata, melainkan juga sebagai ungkapan optimis untuk hidup sebaik mungkin sekaligus ikrar kesiapan untuk menempuh kematian.

Wallahu a’lamu bi as-shawwabi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar