Kamis, 20 November 2008

PUASA: Seperti Angin?

Setiap makhluk hidup di bumi ini tidak terlepas dari elemen angin. Nelayan membutuhkan angin untuk pergi melaut. Sebagian pembangkit listrik juga menggunakan tenaga angin. Olahraga dirgantara juga tak mungkin terlepas dari yang satu ini, sebagaimana anak-anak juga merasa senang jika layangan mereka bisa melayang di udara dengan bebasnya karena jasa angin. Tumbuhan pun juga demikian. Beberapa tumbuhan membutuhkan hembusan angin untuk berfotosintesis. Singkatnya, semua kehidupan berjalan di muka bumi ini, tak terlepas dari pengaruh angin.

Angin adalah udara yang bergerak. Pergerakannya bermula dari kesenjangan suhu udara di suatu tempat dengan tempat yang lain. Dalam perjalanannya, angin membawa apa saja yang mampu diterbangkannya. Semakin besar tenaganya, semakin banyaklah benda yang diterbangkannya, mulai dari yang kecil dan ringan, hingga yang besar dan berat. Kita biasa melihat atau mendengar tentang angin topan yang mampu merontokkan pohon besar, merobohkan rumah, dan lain sebagainya. Alangkah besarnya tenaga angin tersebut.

Sebagian benda dapat diterbangkan angin hilir mudik dengan mudahnya. Katakanlah itu kapas. Dia tidak punya sedikit tenaga pun untuk melawan angin. Dia tidak melawan saat diterbangkan ke arah lumpur yang membuatnya kotor. Dia juga tak mampu berbuat apa-apa saat dibawa menuju api yang bisa membinasakannya.

Fenomena di atas dapat mewakili karakter manusia. Sebagian manusia hidup layaknya kapas. Mereka dengan mudahnya dibawa ke sana ke mari oleh pengaruh dari luar. Anak-anak cenderung berbondong-bondong bermain kelereng saat musim kelereng tiba. Setelah itu mereka sibuk dengan cerita, aksesoris dan semua hal yang berbau naruto, saat film atau komik naruto mendunia, sehingga mereka sama sekali melupakan kelereng yang menjadi hobi mereka sebelumnya. Begitu juga dengan remaja pecinta musik. Mereka sibuk dengan lagu new release yang sedang masuk top chart, dan melupakan lagu-lagu yang sebelumnya yang mereka sukai. Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa yang uring-uringan ikut demonstrasi guna menyampaikan aspirasi mereka saat “angin musim” kenaikan harga BBM bergemuruh kencang. Begitulah contoh-contoh sederhana yang kerap kita saksikan.

Sekarang kita sedang dihadapkan dengan musim Ramadhan. Semua elemen masyarakat menyemarakkan datangnya bulan barokah ini. Dimana-mana kita melihat baliho, poster atau iklan bertuliskan “Marhaban ya Ramadhan”. Haflah akbar ini melibatkan banyak pihak. Umat muslim sudah barang tentu menjadi aktor utama. Bukti nyata dapat kita lihat di masjid-masjid. Pada saat Ramadhan, intensitas kegiatan di setiap masjid secara otomatis menjadi semakin padat daripada hari-hari biasanya. Setiap hari ada tarawihan, tadarrusan, ta`jilan, kuliah subuh, kuliah umum sebelum tarawih, dan lain sebagainya. Di samping itu juga ada berbagai perlombaan, seperti MTQ, puisi da’wah, tahfiz al-Quran, dan juga peringatan Nuzul al-Quran. Tidak menutup kemungkinan kaum non muslim pun juga ikut andil dengan menutup warung-warung makan atau restoran-restoran mereka di siang hari. Acara-acara televisi tidak mau ketinggalan. Mereka mulai menyetting acara sedemikain rupa yang mengikuti arah angin Ramadhan. Band-band papan atas yang biasanya menyuarakan syair-syair cinta, patah hati, PDKT, CLBK atau yang lainnya mulai bersenandung dengan syair-syair rohaniah atau Ramadhaniah yang menggugah. Pemerintah pun tidak mau ketinggalan peran. Mereka mulai mengkampanyekan anti maksiat, bulan penuh perdamaian dan jargon-jargon lainnya. Akan tetapi, timbul sebuah pertanyaan besar. Mengapa semua itu, dalam arti kata yang bukan ibadah khusus bulan Ramadhan, hanya terjadi pada bulan Ramadhan saja? Mengapa sebelum dan sesudahnya semua lupa shalat, Alquran, dan bahkan Allah?

Kenyataan ini semakin menguatkan bahwa manusia tidak ubahnya seperti “kapas yang diterbangkan angin”. Mereka hanya terlena dengan aroma indah angin Ramadhan yang menjajikan lailatu al-qadr yang lebih baik dari seribu bulan, pahala yang berlipat ganda, serta pengampunan dosa yang menggiurkan. angin Ramadhan yang berhembus dengan kencangnya membawa mereka terbang setinggi-tingginya menuju tempat yang sangat indah tak terperi. Mereka mulai mengikuti rutinitas kehidupan ideal seorang muslim hakiki. Mereka berbondong-bondong datang ke masjid. Shalat fardhu tepat waktu, rajin shadaqah, ditambah tarawihan, tadarusan, atau kegiatan-kegiatan lainnya. Tak satu ibadah pun luput dari mereka. Lantas seiring redanya angin Ramadhan, mereka mulai turun ke daratan. Mereka mulai meninggalkan masjid, lupa dengan al-Quran, bahkan shalat lima waktu pun sudah menjadi hal yang tabu. Untuk selanjutnya mereka hanya menunggu angin apa yang akan berhembus. Dan mereka akan mengikutinya seolah-olah pasrah dan tidak peduli kemana mereka diterbangkan.

Realita ini setidak-tidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama bahwa muslim sekarang ini tidak lagi mempunyai pendirian. Mereka tidak lagi memegang prinsip-prinsip yang digariskan al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Mereka ke masjid hanya karena orang ramai di masjid dan puasa karena semua orang puasa. Mereka tidak lagi beramal berdasarkan keimanan mereka. Mereka hanya mengikuti setiap angin yang menerbangkan mereka. Kedua bahwa generasi penerus bangsa tidak lagi mempunyai filter untuk pengaruh-pengaruh yang tidak selamanya baik. Mereka tidak lagi memikirkan apa yang mereka kerjakan. Tanpa berfikir panjang, lantas mereka menerima semua pengaruh yang ada. Mereka menjadi pemuda yang konsumtif yang jauh dari kreatifitas dan tidak mempunyai prospek masa depan sama sekali.

Ternyata memang pantas keberadaan Islam semakin terpuruk di mata dunia. Musuh-musuh Islam telah mengetahui realita ini sebelum kita menyadarinya. Mereka telah menghembuskan angin-angin perpecahan, perusakan, dan adu domba ke hadapan umat muslim. Pemuda yang seharusnya menjadi ujung tombak tidak lagi mempunyai nyali. Tidak ada lagi pemberani seperti Abu Dzar al-Ghifari, si kuat Ali bin Abi Thalib, dan si cerdik Thariq bin Ziyad. Mental Soekarno, Hatta, Soutomo dan kawan-kawan sudah punah dari peredaran. Tak ayal lagi, kita lihat hasilnya sekarang. Terjadi perpecahan di mana-mana. Tampaknya mereka telah berhasil menerbangkan Islam dengan angin ciptaan mereka tersebut ke arah yang mereka kehendaki, yaitu arah yang berakhir pada kehancuran Islam.

Bagaimana dengan pribadi kita? Apakah kita juga seperti kapas yang diterbangkan angin? Tidak adakah keinginan kita untuk kembali berdiri tegak pada pendirian kita, melaksanakan semua ibadah dengan ikhlas, bukan berdasarkan hembusan angin lagi? Marilah kita mulai dari diri sendiri. Coba anda bayangkan, jika setiap muslim mulai menyadari hal ini, dan mulai bergerak untuk mengubahnya, maka kehidupan Islam yang sebenarnya berada di hadapan kita. Setiap perubahan kecil yang kita lakukan, akan menjadi sangat dahsyat dengan persatuan. Dan yang terpenting, tidak ada lagi kaum yang mampu menerbangkan Islam dengan angin-angin yang mereka ciptakan. Maukah anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar