Jumat, 27 Maret 2009

IMAN KEPADA RASULULLAH SAW MESKI TIDAK BERTEMU (Perspektif Hadis)

A. Pendahuluan
Tak dipungkiri lagi, iman memang hal yang begitu determinan dalam Islam. Jika ranah perpolitikan suatu negara memiliki trias poelitica yang menentukan arah berlangsungnya kehidupan suatu negara, Islam juga mempunyai trilogi yang mendasari status keislaman seseorang; Ihsan, Iman, dan Islam. Keterkaitan ketiga unsur ini satu sama lainnya menjadikan seorang mukmin, menjadi hamba yang sempurna di sisi Allah.
Salah satu komponen iman dalam Islam adalah mengimani nabi dan rasul. Tentunya, Rasulullah saw merupakan figur penting dalam poin ini. Seorang muslim wajib mengimani beliau. Harus diyakini dengan benar, bahwa Muhammad saw adalah rasul dan nabi Allah yang tidak pernah sekalipun berbuat syirik kepada Allah. Beliau adalah penutup para nabi dan rasul—tidak ada nubuwwah lagi setelah beliau. Rasulullah juga imam para muttaqin. Beliau merupakan sosok yang menjadi teladan dalam segala aktifitas menuju ketaqwaan. Habibullah adalah gelarnya. Beliau diimani dengan segal mu’jizat yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Iman kepada Rasulullah saw sudah lahir semenjak zaman kerasulan beliau. Bahkan, sebelum menjadi Rasul, beliau sudah menjadi orang yang dipercaya dengan gelar al-Amin. Prestasi besar sudah beliau capai pada usia yang relatif muda berupa mencegah terjadinya perang lantaran perebutan kehormatan untuk memindahkan Hajar al-Aswad ke tempat semula setelah renovasi ka’bah. Memang Nabi Muhammad saw, figur yang disegani oleh semua kalangan.
Terbukti nyata dengan banyaknya sahabat yang setia kepada Beliau. Abu Bakar, teman dekat Beliau, yang selalu mendampingi dalam setiap da’wah. Umar bin al-Khattab yang menjadikan Islam cukup disegani dengan power yang dia miliki. Hamzah, yang syahid di peperangan Uhud. Khadijah, istri tercinta yang memberi dukungan penuh riil maupun materil. Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zaid bi Tsabit, Bilal bin Rabbah, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, para tentara yang ikut bersama Beliau perang fi sabilillah, dan sangat banyak sekali yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Keimanan dan kecintaan kepada beliau tidak putus meskipun setelah dijemput oleh Allah menuju haribaan-Nya. Para Tabi’in, Tabi’ tabi’in, dan seluruh generasi berikutnya tetap mengagungkan nama Beliau. Bahkan, hingga sekarang pun, hal itu masih terjaga dengan baik. Beliau diimani orang yang bertemu maupun yang sama sekali tidak pernah menjumpai Beliau.
Satu hal yang sangat menarik pada titik ini, Rasulullah saw tetap diimani meskipun oleh orang-orang yang sama sekali tidak menjumpai beliau, dan tidak mengetahui apa-apa kecuali hanya sebatas nama dan gambaran-gambaran lain yang dijelaskan literatur-literatur Islam. Jika para sahabat begitu menghormati dan mencintai Rasulullah saw, hal yang sangat wajar. Namun, mereka yang tidak sekalipun bertemu Rasulullah, mengimani beliau sebagaimana para sahabat, merupakan hal yang sangat luar biasa. Hal ini lah yang akan menjadi kajian tulisan ini secara khusus melalui perspektif sunnah.

B. Hakikat Iman (menjurus kepada Rasul)
Secara etimologis, iman berasal dari kata آمن – يؤمن – ايمانا yang berarti tashdiq dan tahzib. Kesepakatan para ahli lughah, iman berarti tashdiq, pembenaran. Hal ini berkenaan dengan firman Allah:
قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوْا وَلَكِنْ قُوْلُوْا أَسْلَمْنَا (الحجرات 14)
Artinya : Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah kamu telah tunduk (islam),...
Pada poin ini, pentinglah untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara mukmin dan muslim. Islam adalah menunjukkan kepatuhan terhadap ajaran yang disampaikan Rasulullah saw. Apabila kepatuhan dalam memperlihatkan kepatuhan tersebut dibarengi dengan pembenaran dalam hati, maka saat itu lah ia disebut iman. Seseorang dikatakan mukmin dengan sebenarnya apabila ia mengimani Allah dan Rasul-Nya tanpa sedikit keraguan dalam hatinya. Pernyataan ini berdasarkan firman Allah swt pada ayat berikutnya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (الحجرات 15)
Artinya : Sesungguhnya orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itu lah orang yang benar.

Dari ayat ini, dapat dilihat bahwa iman yang sesungguhnya adalah iman yang komsisten dan tidak bercampur keraguan sedikitpun. Tak sebatas itu, ia menuntut adanya aplikasi perbuatan dengan sarana fisik manusia.
Jika ditarik kepada pembahasan beriman kepada para Rasul Allah, berarti mengimani bahwa mereka memang utusan Allah. Mereka membawa syariat untuk kaumnya dan memberi kabar gembira bagi yang benar dan ancaman bagi yang salah. Mereka itu sangat banyak sekali, diantaranya yang diberitakan oleh Allah maupun yang tidak. Mereka adalah hamba Allah yang mulia. Namun begitu, mereka tetaplah manusia biasa. Tidak memberikan bekas berupa manfaat dan mudharat, karena semua itu berasal dari Allah. Muslim dituntut mengimani mereka semuanya. Siapa yang mengingkari satu saja, berarti ia telah mengingkari semua rasul. Banyak redaksi Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, seperti la nufarriqu baina ahadin min rusulih atau minhum dalam redaksi lainnya.
Dan apabila diteruskan kepada ranah yang lebih sempit lagi—beriman kepada Nabi Muhammad saw—paling tidak meliputi beberapa aspek. Pertama, mengimani bahwa Muhammad saw adalah hamba sekaligus utusan Allah swt. ia adalah penutup sekaligus penghulu para nabi, yang mengajarkan syari’at Islam. Ia orang yang begitu amanah bahkan semenjak usia yang begitu dini, dan berjuang sekuat tenaga di jalan Allah. Kedua, mengimani segala sesuatu yang disampaikannya, dalam artian syari’at Islam yang dibawanya. Lebih dari itu, juga meneladani segala tindak-tanduk beliau dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, menjadikan Rasulullah saw orang yang lebih dicintai daripada orang tua dan anak sekalipun. Rasa cinta ini dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau. Dan keempat, menerima ajaran yang kita terima dari beliau.

C. Figur Rasulullah
Rasulullah Muhammad saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal 570 M di kota Mekkah—bagian selatan Jazirah Arabia. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim. Beliau telah menjadi anak yatim-piatu pada umur enam tahun, dibesarkan dalam kehidupan yang sederhana dan rendah hati oleh kakeknya, namun tak berapa lama kakeknya pun meninggal dunia. Akhirnya beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Ali bin Abi Thalib.
Nabi Muhammad tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh yang hampir sempurna. Paras mukanya manis dan indah. Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek. Bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan hitam. Di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan. Pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya. Disamping itu, beliau dikenal sebagai pemuda yang baik dan memiliki kehalusan akhlak.
Sifat amanahnya telah menjadikannya karyawan kepercayaan Khadijah, seorang janda kaya yang terhormat. Akhirnya, pada usia 25 tahun beliau menikah dengan Khadijah. Status sosial yang tiba-tiba meningkat—yang pada waktu itu harta menjadi tolok ukurnya—tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Partisipasinya tetap seperti sediakala, bahkan ia lebih dihormati. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi tetap tidak melupakan humor dan senda-gurau. Namun begitu, yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya.
Beliau tidak terlarut dalam tertawa sebagaimana juga tidak larut pada marah. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Begitu bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang sangat dalam pada orang-orang yang bergaul dengannya. Rasa hormat akan timbul pada pertemuan pertama, dan bagi yang bergaul dengannya akan timbul rasa cinta.
Beliau diangkat menjadi Rasul untuk menyebarkan risalah Allah kepada umat manusia secara kaffah pada umur 40 tahun. Dan selama tiga tahun pertama Nabi Muhammad saw hanya menyebar agama secara sirr, terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Setelah itu, kira-kira tahun 613 M, beliau mulai tampil di depan publik. Ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan bangsa Arab pada waktu itu, apalagi dengan ambisi kapitalis mereka, menjadikan penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya. Hambatan pun mulai dihadapi. Beliau mengalami berbagai intimidasi yang keras dari kalangan kafir Quraisy, diusir dari negerinya dan bahkan diperangi. Tidak jauh berbeda dengan da’wah yang disampaikan di Thaif, beliau justru disambut dengan lemparan-lemparan batu yang membuat beliau terluka cukup parah. Dan yang paling menarik, saat malaikat menawarkan untuk menimpakan bukit Thaif kepada mereka, Rasulullah justru memintakan ampunan kepada mereka. Betapa mulia dan sucinya hati beliau.
Masih banyak kisah kehidupan Rasulullah dalam berda'wah yang menjelaskan betapa beliau amat mencintai umatnya dan amat merasa sedih dengan kesesatan mereka dalam kehidupan. Beliau amat menginginkan manusia memahami dan meyakini nilai-nilai iman. Untuk itu beliau mengajak manusia dengan penuh hikmah ke dalam Islam.

D. Iman Kepada Rasul Meski tidak Bertemu Beliau
Dari uraian ringkas di atas, sedikit bayaknya telah diungkap sepenggal kehidupan Rasulullah yang begitu agung. Apabila salah satu unsur iman kepada beliau adalah meyakini bahwa beliau adalah benar-benar rasul Allah dan penutup sekalian rasul, sekarang dapat diusahakan. Jika unsur lainnya menjadikan beliau sebagai uswah al-hasanah, juga bisa dimulai. Begitu juga dengan meyakini ajaran yang beliau bawa, Islam, bisa dipedomani dari Al-Qur’an dan sunnah. Namun, bagaimanapun juga, sekarang bukanlah zaman Rasulullah, sekarang bukanlah abad VI, dan akal sehat menjamin tidak satu pun yang bertemu dengan Rasulullah saw saat ini. Bagaimanapun juga, keimanan kepada beliau adalah hal yang mutlak, apakah dengan bertemu maupun dengan tidak. Berikut ini, sebagaimana content utama tulisan ini, dikutip hadis Rasulullah saw yang berkenaan dengan keimanan seorang mukmin yang tidak bertemu Rasulullah. Setelah diteliti, ternyata, hadis tersebut hanya terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hambal, namun dengan beberapa variasi:
o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ أَبُو السَّمْحِ أَنَّ أَبَا الْهَيْثَمِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ طُوبَى لِمَنْ رَآكَ وَآمَنَ بِكَ. قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى ». قَالَ لَهُ رَجُلٌ وَمَا طُوبَى قَالَ « شَجَرَةٌ فِى الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِائَةِ عَامٍ ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Hasan, ia berkata: saya mendengar Abdullah bin Lahi’ah berkata, berkata kepadaku Darraj Abu al-Samh, sesungguhnya Abu al-Haitsam berkata kepadanya dari Said al-Khudri dari Rasulullah saw sesungguhnya seseorang berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, ‘thuba’ bagi orang yang menjumpai Engkau dan mengimani Engkau. Rasulullah berkata: ‘thuba’ bagi siapa yang menjumpaiku dan mengimaniku, dan kemudian ‘thuba’, dan ‘thuba’, dan ‘thuba’ bagi siapa yang mengimaniku meskipun tidak melihatku. Maka seseorang berkata kepadanya: Lantas, apakah thuba itu? Rasulullah menjawab: sebuah pohon di surga seukuran 100 tahun

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا جَسْرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَرَآنِى مَرَّةً وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى سَبْعَ مِرَارٍ »
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Hasyim bin Qasim, ia berkata: berkata kepada kami Jasrun dari Tsabit dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi orang yang beriman denganku dan melihatku satu kali, dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku meskipun ia tidak menlihatku tujuh kali.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ - يَعْنِى ابْنَ إِسْحَاقَ - حَدَّثَنِى يَزِيدُ بْنُ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْيَزَنِىِّ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُهَنِىِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ طَلَعَ رَاكِبَانِ فَلَمَّا رَآهُمَا قَالَ « كِنْدِيَّانِ مَذْحِجِيَّانِ ». حَتَّى أَتَيَاهُ فَإِذَا رِجَالٌ مِنْ مَذْحِجٍ. قَالَ فَدَنَا إِلَيْهِ أَحَدُهُمَا لِيُبَايِعَهُ. قَالَ فَلَمَّا أَخَذَ بِيَدِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَنْ رَآكَ فَآمَنَ بِكَ وَصَدَّقَكَ وَاتَّبَعَكَ مَاذَا لَهُ قَالَ « طُوبَى لَهُ ». قَالَ فَمَسَحَ عَلَى يَدِهِ فَانْصَرَفَ ثُمَّ أَقْبَلَ الآخَرُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ لِيُبَايِعَهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ مَنْ آمَنَ بِكَ وَصَدَّقَكَ وَاتَّبَعَكَ وَلَمْ يَرَكَ قَالَ « طُوبَى لَهُ ثُمَّ طُوبَى لَهُ ثُمَّ طُوبَى لَهُ ». قَالَ فَمَسَحَ عَلَى يَدِهِ فَانْصَرَفَ.
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Muhammad bin Ubaid, berkata kepada kami Muhammad (yaitu Ibnu Ishaq), berkata kepadaku Yazid bin Habib dari Martsad bin Abdillah al-Yazanni, dari Abi Abdirrahman al-Juhanni, ia berkata di saat kami berkumpul bersama Rasulullah saw: tatkala datang dua orang pejalan dan ia melihatnya, ia berkata:

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى سَبْعَ مِرَارٍ »
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Musa bin Dawud, berkata kepada kami Hammam dari Qatadah dari Aiman dari Abi Umamah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi siapa yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntunglah bagi siapa yang berriman kepadaku meskipun tidak melihatku tujuh kali.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوبَى سَبْعَ مَرَّاتٍ لِمَنْ لَمْ يَرَنِى وَآمَنَ بِى ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku Bapakku, berkata kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada kami Hammam bin Yahya dari Qatadah dari Aiman dari Abi Umamah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi siapa yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntunglah tujuh kali bagi orang yang tidak melihatku dan melihatku.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَعَفَّانُ قَالاَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَطُوبَى سَبْعَ مِرَارٍ لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Abd al-Shamad dan ‘Affan berkata keduanya, berkata kepada kami Hammam, berkata kepada kami Qatadah dan Aiman dari Abi Umamah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi orang yang melihatku dan beruntunglah tujuh kali bagi orang yang tidak meliahatku dan beriman kepadaku.
Hadis ini memberikan penghargaan bagi muslim yang meskipun tidak berjumpa dan melihat Rasulullah, namun tetap mengimani beliau. Hal ini, menurut Mauqi’ Ya’sub, karena posisi Rasulullah bagi mereka sebagai hal yang ghaib. Sementara bagi para sahabat, mereka mengimani Rasulullah yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat langsung bagaimana mu’jizat Rasulullah, kebaikan, dan keagungan akhlak beliau. Sementara tidak demikian dengan generasi-generasi sesudah mereka. Rasulullah menjadi hal yang ghaib di mata mereka. Oleh sebab itulah Allah dan Rasul-Nya menghargai dan memuji iman mereka.
Zahirnya, sepertinya terdapat segi kontradiksi antara hadis ini dengan hadis yang menyatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi Rasulullah, kemudian setelah beliau, dan kemudian setelahnya lagi. Namun, ternyata kedua hadis ini dapat dikompromikan. Hadis yang menjelaskan generasi terbaik, sebagaimana di atas, memaksudkan kepada jama’ah. Berarti, mereka itu kaum terbaik dalam konteks kolektif, bukan individu. Hal ini karena kondisi mereka yang saat itu minoritas, mendapatkan ancaman, tantangan, dan siksaan dari kaum mayoritas, yang dalam hal ini kafir Quraisy. Namun begitu, mereka tetap berpegang teguh dengan agama Islam. Sementara yang dimaksudkan hadis-hadis di atas adalah dalam konteks individu. Jadi seseorang yang beriman dengan Rasulullah dengan tidak melihat beliau, dipuji dan dihargai keimanannya oleh Allah dan rasul-Nya. Begitulah kira-kira pendapat Ibnu Abdul Barr. Namun begitu, bagi Ibnu Hajar, ukuran kemuliaan generasi tersebut tidak hanya dengan tolok ukur menyaksikan Nabi saja, melainkan karena mereka terlibat langsung dalam pengembangan Islam, tasyri’ al-ahkam, dan berpartisipasi penuh, serta memiliki kontribusi yang tidak kecil terhadap perkembangan Islam.
Redaksi hadis yang menyampaikan “beruntunglah sebanyak tujuh kali” tidaklah memberi maksud batasan. Ia bukan berarti beruntunglah mereka sebanyak tujuh kali. Namun, yang dimaksudkan di sini adalah ungkapan taksir. Hadis menjelaskan bahwa mereka itu benar-benar beruntung jika memang benar-benar mengimani Rasulullah dalam posisi yang ghaib bagi mereka.

E. Kesimpulan
Iman merupaka hal yang krusial dalam Islam. Ia salah satu poin kunci. Dalam iman, terdapat berbagai komponen, salah satunya mengimani Rasul Allah. Nabi Muhammad, sebagai Rasulullah, sudah pasti menjadi salah satu objek yang diimani dalam hal ini.
Beliau merupakan manusia agung yang memiliki akhlak yang luar biasa. Semenjak dini beliau sudah menjadi orang kepercayaan dan digelari al-Amin. Apalagi setelah menjadi Rasul. Wibawa yang begitu besar menjadikannya dihormati kawan maupun lawan. Beliau merupakan penghulu para Rasul dan imam para muttaqin. Begitu banyak hal yang patut dan seharusnya diteladani dari sikap beliau.
Iman kepada Rasul, bagi sahabat adalah hal yang sangat lazim. Mereka menyaksikan bagaimana kehidupan Rasulullah, bagaimana da’wah, akhlak, perawakan, kelembutan, bahkan mu’jizat beliau. Bagi mereka, Rasulullah merupakan sosok yang kongrit. Jadi, sangat wajar mereka begitu menimani dan bahkan mencintai beliau.
Sementara generasi penerus yang dibatasi waktu yang cukup panjang tetap mengimani beliau. Mereka ini diberi penghargaan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini karena posisi beliau yang ghaib di mata mereka. Mereka tidak menyaksikan Rasulullah secara langsung, sementara mereka tetap punya iman. Karena itulah Nabi Muhammad saw memberikan apresiasi yang baik terhadap mereka.
Beruntunglah kita yang beriman kepada Rasulullah meskipun tidak menjumpai beliau!!!

Selasa, 24 Maret 2009

DOA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia merupakan makhluk paling semupurna yang diciptakan fi ahsani taqwim. Namun, di sisi lain, manusia juga sangat lemah. Perhatikanlah seekor ayam yang baru menetas, dalam beberapa saat mampu berjalan dan berlari mengiringi orang tuanya. Namun manusia, baru setelah beberapa tahun mampu berjalan terbata-bata hingga akhirnya ia bisa berjalan secara utuh.
Di samping itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar kepada Sang Penciptanya. Di dunia, mereka dikarunia segala hal, dan sebagai konsekuensinya, semuanya tidak luput dari pertanggung jawaban. Manusia juga dibebani dengan ibadah kepada Allah. Perintah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, supaya segala hal dalam kehidupan di dunia ini berjalan dengan lancar.
Memandang lemahnya manusia dan tanggung jawab yang mereka miliki, Allah memberikan suatu sarana bagi manusia untuk khusus curhat kepada-Nya. Allah memberikan suatu jalur untuk itu yang disebut dengan doa. Dengan berdoa—tentunya juga usaha—manusia diharapkan dapat memenuhi segala kewajibannya dan mendapatkan semua haknya sebagai makhluk. Dan untuk itu, doa ini amatlah penting.
Memperhatikan hal ini, perlu kiranya diketahui seluk-beluk dan segala hal mengenai doa. Banyak orang yang tidak mengetahui pasti apa yang dimaksud doa, bagaimana caranya, adab-adab, waktu, dan lafaz-lafaz yang dianjurkan dalam doa.

B. Definisi Doa
Doa dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu الدعاء. Ia merupakan derivasi dari kata دعا yang merupakan fi’il madhi yang sekaligus menjadi akar katanya. Sementara kata الدعاء itu sendiri merupakan bentuk mashdar. Dalam Kamus al-Muhith, doa berarti ungkapan butuh kepada Allah. Sementara Ibnu Sayyidah mendefinisikan doa menjadi permintaan seorang yang membutuhkan mengenai suatu pekerjaan kepada yang lainnya. Hal ini berarti, jika maknanya ditarik kepada kedudukan manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan, maka doa merupakan permintaan manusia mengenai sesuatu kepada Allah swt. Menurut Ibnu Rummani, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Sayyidah, doa kepada Allah mempunyai dua makna. Pertama, permintaan yang pada taraf lafdzi dan ma’nawi bermakna pengagungan dan pujian, dan kedua, sebagai ungkapan permintaan ampun dan pemberian nikmat.
Pengertian lainnya dapat dilihat di Kamus Lisan al-Arab yang secara panjang lebar membahas maksud dari doa tersebut. Kata wad’u syuhada’akum pada surat al-Baqarah ayat 23 berarti istighatsah (permintaan pertolongan). Ibnu Manzhur mengilustrasikan makna kata ini dengan suatu kondisi dimana seseorang bertemu musuhnya yang berkelompok. Mereka berkata, “wad’u al-muslimmin”. Artinya, mereka memberi kesempatan kepadanya untuk meminta pertolongan kepada saudara-saudara seimannya. Namun, kadangkala doa juga berarti ibadah, seperti yang tertulis dalam surat al-A’raf ayat 194:
إن الذين تدعون من دون الله عباد أمثالكم فادعوهم فليستجيبوا لكم إن كنتم صادقين
Artinya: Sesungguhnya mereka (berhala) yang kamu sembah selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa denganmu. Maka beribadahlah kamu kepada mereka lalu minta perkenankanlah kepada mereka jika kamu orang yang benar!
Kata tad’una pada ayat ini bermakna ibadah. Dalam konteks ini, ayat ini ditujukan bagi mereka yang beribadah terhadap berhala. Imam Zamakhsyari manyatakan bahwa ayat ini menyatakan isytihza’ (mengolok-olok) bagi kaum kafir yang menyembah berhala. Gampangnya, ayat tersebut dapat diungkapkan dengan bahasa, “Mengapa kamu menyembah berhala, padahal berhala itu juga makhluk yang sama sepertimu?” Abu Ja’far berpendapat—sebagaimana dikutip Ibnu Jarir al-Thabari—ayat ini berbicara mengenai kepercayaan kaum yang beribadah kepada berhala, padahal berhala itu tidak memberi manfaat dan mudharat sekalipun. Jika engkau (penyembah berhala) masih meyakini bahwa berhala tersebut memberi manfaat dan mudharat, maka berdoalah kepadanya, jika doa kalian tidak dikabulkan, maka yakinilah bahwa berhala tersebut tidak mampu melakukan apapun.
Ditarik kepada cakupan yang lebih sempit, doa kepada Allah mencakup tiga makna. Pertama, ungkapan pengesaan dan pujian terhadap Allah swt, sebagaimana dalam lafaz “Rabbana laka al-hamdu”. Begitu juga dengan kalimat-kalimat tahlil, tahmid, tamjid, takbir, merupakan doa kepada Allah swt, karena pada dasarnya kalimat-kalimat tersebut diucapkan dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah swt. Kedua, ia berarti ungkapan permohonan ampun, rahmat, dan segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana dalam lafaz “Rabbana igfir lana”. Dan ketiga, sebagai permohonan bagian atau nasib di dunia, seperti digambarkan kalimat “Rabbi urzuqni malan wa waladan.”
Dari beberapa definisi yang disampaikan di atas, penulis kembali mengemukakan definisi yang menurut pandangan penulis cukup mewakili semua definisi di atas. Definisi tersebut berasal dari Ibnu Taimiah. Beliau menyatakan bahwa doa itu mempunyai dua makna; ibadah dan permintaan. Kedua hal tersebut menurut hemat penulis merupakan inti dari makna definitif doa. Istighatsah merupakan permintaan dan puji-pujian kepada Allah merupakan ibadah. Singkatnya, kedua hal ini merangkum semua cakupan makna doa yang disampaikan di atas.
Tidak jarang, term doa digandeng dengan term zikir. Pada aplikasinya sehari-hari, doa juga sangat dekat dengan zikir. Dan doa pun tidak mungkin dilakukan melainkan dalam keadaan zikir (ingat) kepada Allah swt. Setiap selepas shalat, wiridan berupa zikir dan doa berjamaah pun bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Jadi, seolah-olah zikir dan doa merupakan hal yang identik satu sama lainnya.
Al-Fairuz Abadi memberikan banyak makna terhadap zikir. Zikir adalah menjaga sesuatu, sesuatu aktifitas yang berlangsung di lidah, pemuliaan, pengagungan, shalat kepada Allah, dan doa. Seirama dengan Al-Fairuz Abadi, Ibnu Manzhur juga mendefinisikan zikir sebagai menjaga sesuatu dan aktifitas yang berlangsung di lidah. Berikutnya, beliu juga menyatakan bahwa zikir ada shalat, doa, dan pengagungan kepada Allah swt. Menurut Ibnu Abbas, zikir adalah shalat, zikir adalah baca Al-Qur’an, zikir adalah doa, zikir adalah tasbih, zikir adalah syukur, dan zikir adalah taat. Dan Imam as-Shan’ani dalam menjelaskan doa juga menyebutkan bahwa doa adalah zikir. Ternyata memang, salah satu makna zikir adalah doa, jadi tidak salah jika doa diidentikkan dengan zikir.
C. Tinjauan Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an telah berbicara banyak mengenai doa, baik doa dalam artian ibadah, maupun doa dalam artian permintaan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat yang berkenaan dengan doa berikut analisisnya.
Sebagaimana telah disinggung sedikit sebelumnya, salah satu arti doa adalah ibadah, dan salah satu ayat yang menjelaskan makna doa dalam artian ibadah adalah surat al-A’raf 194:
إن الذين تدعون من دون الله عباد أمثالكم فادعوهم فليستجيبوا لكم إن كنتم صادقين
Artinya: Sesungguhnya mereka (berhala) yang kamu sembah selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa denganmu. Maka beribadahlah kamu kepada mereka lalu minta perkenankanlah kepada mereka jika kamu orang yang benar!
Pada Al-Qur’an terjemahan yang selama ini beredar, kata فادعوهم diterjemahkan dengan kata “maka berdoalah kamu”. Namun, setelah memeriksa maksud dari kata tersebut, penulis berinisiatif dan memberanikan diri untuk menterjemahkannya menjadi “maka beribadahlah kamu.” Inisiatif ini didasari oleh beragam penafsiran para ulama yang cenderung menafsirkan ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah atau penyembahan selain kepada Allah.
Turjuman Al-Qur’an, Ibnu Abbas, berpendapat, “Jika kalian meyakini bahwa berhala tersebut adalah Tuhan, maka sembahlah ia! Setelah itu, perhatikanlah, apakah mereka memberimu pahala atas ibadahmu dan ganjaran atas keburukanmu?” Imam Naisaburi juga menyatakan bahwa ayat ini merupakan ta’jiz bagi kaum yang menyembah berhala. “Bagaimana mungkin kalian menyembah benda mati?” ungkapnya. Aspek ta’jiz tersebut sangat jelas pada ayat ini, sebab jika dihadapkan kepada orang yang berakal sehat, secara pasti mereka menyadari bahwa berhala-berhala tersebut sangat tidak pantas untuk disembah sekaligus menjadi tujuan seorang hamba untuk beribadah. Lantas, mengapa mereka tetap menyembahnya? Bukankah ini suatu kebodohan? Bahkan, berhala-berhala tersebut lebih jelek dan lebih lemah dibanding penyembahnya, sebagaimana yang dijelaskan ayat berikutnya.
Berikutnya, hal yang berkenaan dengan doa juga dapat dilihat dari surat Al-Baqarah ayat 186:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Artinya: Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.
Apabila seorang hamba menanyakan tentang Allah kepada Rasulullah, menurut Ibnu Abbas, maka jawablah bahwa Aku (Allah) dekat untuk selalu bisa manjawab doanya. Maka dari itu, hendaklah mereka ta’at kepada-Ku dan Rasul-Ku supaya mereka ditunjuki dan sekaligus dijawab doanya.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim dan Tafsir Al-Thabari, diriwayatkan beragam asbab al-nuzul ayat ini. Tapi, pada dasarnya, perbedaan itu berkaitan dengan pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah mengenai keberadaan Allah terhadap mereka pada satu sisi, dan mengenai kapan mestinya mereka berdoa pada sisi lain. Mengenai waktu ini, ia merupakan respon sahabat mengenai surat Ghafir ayat 60. Pada ayat itu dijelaskan perintah untuk berdoa kepada Allah, lalu datanglah pertanyaan dari sahabat, “Kapan?” maka, turunlah ayat ini.
Ayat di atas juga menjelaskan mengenai salah satu adab berdoa. Salah satu asbab al-nuzul ayat ini menceritakan sahabat yang mengucapkan doa dengan berteriak, sehingga Rasulullah bersabda:
فإنَّكم لا تدعون أصمّ ولا غائبًا، إنما تدعون سميعًا بصيرًا، إن الذي تدعون أقربُ إلى أحدكم من عُنُق راحلته
Artinya: Sesungguhnya yang kalian seru bukanlah tuli dan juga bukan ghaib, sesungguhnya yang kamu seru Maha Mendengar dan Maha Melihat, sesungguhnya yang kamu seru lebih dekat kepada salah seorang darimu daripada urat lehernya sendiri.
Perhatikan sabda Rasulullah saw dari Samarah bin Jundab berikut ini:
أحب الكلام إلي الله أربع لا يضرك بأيهن بدئت: سبحان الله والحمد لله و لا إله إلا الله والله أكبر. أخرجه مسلم
Artinya: Kalimat yang paling dicintai Allah ada empat macam, yang dari mana engkau mulai, tidak bermudharat bagimu: Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar. (HR. Muslim)
Keempat kalimat di atas sangat dicintai Allah karena semuanya mengandung nilai tanzih terhadap sifat-Nya. kalimat tersebut menyampaikan keesaan Allah swt, kebersihan, dan kesucian-Nya.
Hadis ini berisikan kalimat-kalimat yang lazim dipakaikan ketika doa dan zikir. Memang, dengan menggunakan kalimat ini, berarti hamba telah memuji Tuhannya. Seperti halnya Al-Fatihah, yang sebagiam pertama berisikan pujian terhadap Allah swt, dan sebagian terakhir berisikan doa. Jadi, dikala berdoa, dianjurkan menggunakan kalimat puji-pujian terhadap Allah, baru setelah itu menyampaikan permintaan kepada-Nya.

D. Lafaz doa dari Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Sa’id bin Ali bin Wahab al-Qahthani telah mengumpulkan lafaz-lafaz doa yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau berhasil mengumpulkan 122 contoh lafaz doa dan 43 di antaranya berasal dari Al-Qur’an, seperti:
1. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين (الأعراف : 23(
2. رب إني أعوذ بك أن أسألك ما ليس لي به علم وإلا تغفر لي وترحمني أكن من الخاسرين ) هود: 47(
3. رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ) نوح : 28(
4. ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم ) البقرة :127 ، 128(
5. رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي ربنا وتقبل دعاء ) إبراهيم : 40(
6. اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل ، والجبن والهرم والبخل ، وأعوذ بك من عذاب القبر ، ومن فتنة المحيا والممات (البخاري 7 / 59 ، ومسلم 4 / 2079)
7. اللهم أصلح لي ديني الذي هو عصمة أمري ، وأصلح لي دنياي التي فيها معاشي ، وأصلح لي آخرتي التي فيها معادي ، واجعل الحياة زيادة لي في كل خير ، واجعل الموت راحة لي من كل شر (أخرجه مسلم 4 / 2087)
8. اللهم إني أسألك الهدى ، والتقى ، والعفاف ، والغنى (أخرجه مسلم 4 / 2087)
9. اللهم آتنا في الدنيا حسنة ، وفي الآخرة حسنة ، وقنا عذاب النار (البخاري 7 / 163 ، ومسلم 4 / 2070)
10. اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار وعذاب النار ، وفتنة القبر ، وعذاب القبر ، وشر فتنة الغنى ، وشر فتنة الفقر ، اللهم إني أعوذ بك من شر فتنة المسيح الدجال ، اللهم اغسل قلبي بماء الثلج والبرد ، ونق قلبي من الخطايا كما نقيت الثوب الأبيض من الدنس ، وباعد بيني وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب . اللهم إني أعوذ بك من الكسل والمأثم والمغرم (البخاري 7 / 161 ، ومسلم 4 / 2078)
Lafaz-lafaz di atas hanyalah sebagian kecil dari lafaz doa yang ada dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah, dan sangatlah baik untuk menggunakan lafaz-lafaz tersebut dalam doa sehari-hari.
E. Hal-hal lain mengenai doa
Allah sudah pasti akan menjawab doa manusia. Jika seseorang berdoa, paling tidak dia akan mendapatkan 3 macam perlakuan; dikabulkan waktu itu juga, ditunda pengkabulan doanya, atau diganti dengan hal lain yang lebih baik untuk pendoa. Hal ini sebagaimana yang diinformasikan sabda Rasulullah:
إنه لا يضيع الدعاء بل لا بد للداعي من إحدي الثلاث: إما ان يجعل له دعوته وإما أن يدخرها له في الأخرة وإما ان يصرف عنه من السوء مثلها (أخرجه أحمد)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan doa salah seorang di antara kamu, melainkan mestilah bagi orang yang berdoa salah satu dari 3 perkara: mengabulkan Allah doanya, atau menundanya hingga di akhirat, atau menggantinya dengan yang lainnya. (HR. Ahmad)
Untuk itu, perlulah beberapa kiat yang mesti dijalankan ketika berdoa, dengan orientasi melakukan doa terbaik dan Allah mengabulkan doa tersebut. Hal ini bisa berupa adab dalam berdoa. Tidak dipungkiri, ketika menghadap manusia dalam rangka meminta pertolongan, seseorang terikat suatu adab sopan-santun. Apalagi ketika berhadapan dengan Allah, tentunya di sana juga terdapat kode etik yang harus diperhatikan.
Berikut ini disampaikan beberapa adab dalam berdoa yang dikutip dari kitab ad-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaju bi Ruqyi min Kitab wa Sunnah:
1. Berdoa dengan rasa ikhlas
2. Memulai dan menutup doa dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah
3. Yakin dengan apa yang didoakan dan yakin bahwa doa akan dikabulkan
4. Perlahan-lahan dan tidak terburu-buru
5. Menghadirkan hati dalam doa
6. Berdoa dalam keadaan lapang maupun sempit
7. Tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah
8. Memelankan suara antara terdengar dan tidak
9. Mengingat dosa dan istighfar atasnya dan mengingat nikmat dan mensyukurinya
10. Tidak dituntut bersajak dalam doa
11. Tunduk, khusu’, harap, dan takut
12. Menolak kezhaliman dan bertaubat
13. Menghadap kiblat
14. Mengangkat tangan
15. Berwudhu’ sebelum berdoa
16. Memulai doa untuk dirinya sendiri sebelum mendoakan orang lain
17. Bertawassul dengan Asma Allah, atau amalan shaleh, atau doa seseorang yang shaleh
18. Menggunakan pakian yang halal, makanan dan minuman yang halal juga
19. Tidak mendoakan kesalahan atau pemutusan sillaturrahim
20. Menyuru kepada ma’ruf dan menghalangi kemungkaran
21. Menghindari kazhaliman
Di samping itu, juga ada beberapa waktu yang dinilai lebih jika berdoa di dalamnya:
1. Malam lailah al-qadr
2. Pada penghujung akhir malam
3. Selepas shalat fardhu
4. Antara azan dan iqamah
5. Dikala azan
6. Disaat hujan turun
7. Di majlis zikir muslimin
8. Doa di bulan Ramadhan
9. Doa di hari Arafah
10. Doa seseorang terhadap saudaranya di dalam hati
11. Selepas meninggalnya seseorang
12. Jika tidur dalam keadaan suci, dan bangun lalu berdoa
13. Sewaktu sujud
14. Ketika minum air zamzam
15. Berdoa sesaat di hari Jumat
16. Dikala bala tentara muslim berkumpul untuk perang.

F. Kesimpulan
Doa merupakan hal yang penting dalam hidup. Nurani manusia mengakui adanya suatu kekuatan besar yang menguasai seluruh jagad ini—Tuhan. Orang yang mengakui adanya Tuhan akan selalu butuh kepada-Nya. Beragam cara menunjukkan kebutuhan manusiawi kepada Tuhan, salah satunya doa.
Doa berarti permintaan, namun di sisi lain ia juga berarti ibadah. Dengan doa, diharapkan seorang hamba akan lebih dekat dengan Allah, sehingga mendapatkan rahmat yang banyak dari-Nya. Tidak jarang, doa digandeng dengan zikir, karena keduanya memang identik satu sama lain.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan doa, mulai dari anjuran, cara, dan lafaz-lafaznya, begitu juga dengan sunnah. Dengan Al-Qur’an dan Sunnah, didapatkan informasi mengenai cara-cara dan waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdoa.

Rabu, 25 Februari 2009

MAHASISWA: Sosok yang Unik

Darah muda, darah yang bergelora. Semangat yang besar terpancar, idealisme tinggi tertanam, dan solidaritas erat terjalin. Begitulah pemuda. Tidak salah H. Rhoma Irama terinspirasi untuk menciptakan lagu yang menceritakan semangat muda. Tidak salah Ir. Soekarno berani menjamin usaha menguasai dunia hanya dengan sepuluh pemuda. Sungguh, kekuatan yang sangat besar dimiliki seorang pemuda.
Potensi besar tersebut akan lebih terlihat lagi dalam sosok ‘mahasiswa’...! Sosok yang begitu unik. Sangat unik sekali. Pada masa-masa sekolahan, mereka sangat lugu dan kalem. Sekarang, mereka mempunyai semangat menggebu-gebu dan terlihat sangat jelas sekali. Jika dahulu, secara psikilogis mereka tergantung kepada orang tua, guru, dan sebagainya, sekarang mereka “merasa” independent. Merdeka!
Mereka mengagungkan kebebasan yang mereka dapatkan, tepatnya yang baru mereka dapatkan. Mereka mencoba segala hal. “Berfikirnya sekali saja” kata H. Rhoma Irama. Gelora semangat menuntun mereka untuk berbuat apa yang mereka mau dan apa yang mereka inginkan dan terkadang tidak memperhatikan efek perbuatannya itu, baik untuk dirinya pribadi, keluarga, maupun orang lain.
Pada masa itu, mereka juga sudah berani menentukan ideologi sendiri. “Dengan proses yang cukup panjang”, menurut mereka, “aku pilihlah jalan hidupku yang begini atau begitu”. Mereka mulai berani menentukan pilihan hidup. Pokoknya “bebas untuk ngapain aja!”
Kondisi yang demikian, tidak jarang yang menjadi kebablasan bagi sebagian pemuda, bahkan mungkin mayoritas. Kebebasan yang baru mereka dapatkan membuat mereka terlena akan tugas mereka yang sebenarnya. “Merdeka dari orang tua”, menurut mereka. “Merdeka dari guru, merdeka dari aturan, toh dosen aja gak ambil pusing, apalagi orang tua jauh di rumah!!!” suara hati mereka. Mereka menghabiskan waktu bersama teman-teman seideologi. Kongko-kongko gak jelas, hal yang rutin (meskipun mereka menyadari itu). Tapi apa boleh buat, yang penting asik.
Ironisnya lagi, tak jarang kebebasan tersebut menggiring mereka kepada hal yang sangat mengerikan. Narkoba dan minuman keras contohnya. Betapa banyaknya mahasiswa yang terjerat dengan ini. Dan semuanya tentu berawal dari coba-coba. Coba-coba ini pun merupakan kesalahan dalam mengontrol kebebasan yang baru saja mereka miliki. Begitu juga dengan freesex. Di beberapa tempat, ditemukan jarak pergaulan muda-mudi yang begitu tipis dan tentunya ini sangat rawan. Bukankah begitu?
Mahasiswa merasa memiliki semuanya. Mereka berani berorasi dengan nada sarat cacian terhadap pemimpin negeri. Mereka menggugat birokrasi yang, masih menurut mereka, amburadul. Mereka meneriakkan suara rakyat, suara ketertindasan, ratapan anak jalanan, tangisan balita kurang gizi, rendahnya pendidikan anak negeri, dan sebagainya. Orasi-orasi mereka—sekali lagi, menurut mereka—menciptakan pencerahan bagi ibu pertiwi (meski tidak dipungkiri runtuhnya orde baru salah satunya disebabkan demonstrasi mahasiswa). Seolah mereka mampu memperbaiki dan menjamin kesejahtaraan rakyat negeri ini sebagaimana yang mereka gembor-gemborkan. Padahal, jika sesaat setelah mereka berorasi, tampuk kekuasaan negeri jatuh ke tangan mereka, mereka juga tidak mampu menjalani apa yang sebelumnya mereka orasikan, dan mereka pun tentu menyadari hal ini (jika mereka memikirkannya). Namun, di sisi lain tugas utama mereka justru dilupakan, belajar...!
Namun, tak jarang juga yang bisa memanfaatkan kebebasan mereka dengan baik. Tanpa mengenyampingkan kewajiban mereka sesungguhnya, mereka menjalani aktifitas yang bermanfaat. Mereka tidak larut dalam organisasi. Mereka bisa membagi waktu yang pas antara kewajiban-kewajiban primer, sekunder, dan aktifitas-aktifitas tambahan lainnya. Disiplin, menjadi kunci mereka. Pendidikan lancar, aktifitas bermanfaat.
Meski ikut demonstrasi dan gerakan-gerakan kepemudaan lainnya, mereka tetap mempunyai skala prioritas yang komitmen. Kemerdekaan mereka maknai dengan baik, bukan berarti melupakan orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Semangat yang menggelora diarahkan ke arah yang positif, bukan hanya gembar-gembor sana-sini secara berlebihan tanpa mempertimbangkan maksud, tujuan, serta manfaatnya. Kehidupan juga ditarik menjauhi gemerlap dunia malam muda-mudi yang sarat narkoba, miras, dan freesex. Mereka mempunyai orientasi masa depan yang jelas. Dan sepertinya, pemuda seperti inilah sepertinya yang dibutukan Soekarno untuk menguasai dunia.
Begitulah mahasiswa yang tampil dalam masyarakat Indonesia saat ini. Mereka tumbuh seolah sebagai suatu entitas tersendiri. Mereka berbeda, begitu berbeda. Mereka kelihatan mencolok dan menarik untuk diperhatikan. Kebanyakan orang lainnya juga punya semangat, tapi tetap saja berbeda. Semua orang mempunyai kemerdekaan dan HAM, sekali lagi, masih berbeda! Mereka ada dimana-mana. Cobalah untuk sedikit iseng memperhatikan suatu organisasi yang beranggotakan berbagai orang dari berbagai kalangan. Di dalamnya terdapat anak-anak, pemuda (baca: mahasiswa), bapak-bapak, pokoknya masyarakat dari segala tingkat umur. Siapa di antara mereka yang begitu kelihatan? Siapa di antara mereka yang menjadi pusat perhatian. Mungkin pimpinan organisasi itu adalah kaum tua, tapi tetap saja, yang menjadi figurnya siapa? Masih, pemuda (mahasiswa)...!!!
Berhati-hatilah mahasiswa...!
Berbanggalah mahasiswa...!
Bergembiralah calon mahasiswa...!
Berhati-hatilah calon mahasiswa...!

Sabtu, 14 Februari 2009

ANTARA AKAL DAN WAHYU

Apakah yang membuat manusia sanggup menjalani hidup mereka? Mengapa mereka bisa mengatasi masalah demi masalah yang dilalui? Kedua pertanyaan itu pasti ada jawabnya, yaitu karena mereka mempunyai kekuatan. Lantas, pertanyaan berikutnya, dari mana mereka mendapatkan kekuatan tersebut? Jawabannya dari akal dan agama.
Semenjak dahulu, akal dan agama memang dua hal yang memberi kekuatan besar kepada seseorang. Jika kita kembali menilik sejarah, beberapa orang rela disiksa karena mempertahankan keyakinan agamanya. Bilal bin Rabbah sebagai contohnya. Ia mempertahankan agamanya meskipun ditindih dengan batu panas di gurun yang tentunya juga sangat panas. Mengapa ia mau? Karena ia kuat? Mengapa ia kuat? Karena ia memiliki agama.
Di samping itu, sejarang telah mencatat ada orang yang rela mati karena mempertahankan hasil dari kerja keras akalnya. Sokrates umpamanya. Ia berhasil merumuskan suatu pengetahuan universal demi melawan kaum sophis yang mengangkatkan issue relativitas ke hadapan pemuda terpelajar . Ia dituduh merusak pemikiran masyarakat dan dihukum mati, dan ia menerima meskipun kesempatan untuk lari ada. Mengapa ia berani? Masih, karena ia kuat. Dan mengapa ia kuat? Karena ia mempunyai akal.
Tak dipungkiri lagi, akal dan agama hal yang mewarnai dunia. Namun, perjalanan keduanya tidak selalu berbarengan menemani manusia. Manusia, dalam memahami keduanya, telah melakukan perdebatan panjang menganai keduanya. Suatu saat, akal mendominasi dan agama kalah total. Dan jika agama menang dan akal ditinggalkan. Tapi, keduanya berposisi seimbang juga pernah ada.
Di dunia Islam, perdebatan ini terjadi di kalangan para teolog. Kaum Mu’tazilah memberi penghormatan tertinggi kepada akal. Dengan akal semata, menurut mereka, manusia bisa menentukan baik dan buruk sesuatu perkara. Namun, di lain pihak, paham Asy’ariyyah menolaknya. Mereka mengedepankan wahyu, sehingga hanya dengan wahyulah manusia mendapatkan berita mengenai hal yang baik dan buruk. Akal, dalam pandangan mereka, tidak mampu mencapai hal tersebut.
Di dunia barat, perdebatan seperti ini juga terjadi. Parminedes, Heraclitus, Zeno, dan para filosof kuno lainnya berpendapat bahwa kebenaran itu terletak pada akal manusia. Manusia merupakan tolok ukur baik dan benarnya sesuatu, sehingga tidak ada kebenaran yang universal, semuanya relatif. Pemahaman seperti ini menjadikan pemuda terpelajar waktu itu meragukan kebenaran agama yang universal, yang ada adalah kebenaran relatif. Namun, dihadapkan dengan hal itu, Socrates, Plato, dan Aristoteles mengkritik dan berhasil mematahkan argumen mereka. Mereka membuktikan kebenaran universal itu ada. Mereka berhasil mengangkat kembali derajat agama. Saat itu, agama dan akal berjalan berbarengan. Pada abad pertengahan, agama pun mulai mendominasi. Anselmus mengeluarkan faham “beriman dulu untuk mengerti”. Pada zaman itu, agama menang total, sehingga akal tidak lagi mendapatkan tempat. Gereja mendominasi kehidupan dunia, siapa yang menentangnya, akan mendapatkan hukuman hingga hukum mati. Hingga akhirnya tampillah Descartes yang melepaskan kungkungan agama. Ia berhasil mengangkat derajat akal. Hasilnya, tak ayal lagi, agama kembali direndahkan. Hingga datanglah Kant yang mampu mengangkatnya kembali, hingga keduanya berdampingan kembali.

Perdebatan Toelogis
Teologi merupakan suatu diskursus yang membahas tentang ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap-Nya. Cabang ilmu ini menggunakan media akal dan juga wahyu. Manusia, dengan akalnya, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan. Di samping itu, wahyu turun sebagai petunjuk dari Tuhan dalam rangka pencarian manusia tersebut. Namun, timbul suatu polemik; sejauh mana kemampuan akal mengetahui Tuhan? Mampukah akal mengetahui kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan? Bagaimanakah fungsi wahyu dalam hal ini?
Pada perdebatan teologis mengenai akal dan wahyu ini melibatkan berbagai aliran; Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah. Persoalan ini berikutnya bertitik tolak kepada empat persoalan; mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Keempat permasalahan tersebut diperdebatkan, yang manakah yang diketahui dengan akal, dan yang mana dengan informasi dari wahyu.
Mu’tazilah, yang memberikan penghargaan yang sangat besar kepada akal berpendapat bahwa semua permasalahan di atas dapat diketahui dengan akal. Akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan. Dengan segala perbuatan baik Tuhan kepada manusia, manusia juga mengetahui bahwa ia wajib berterima kasih kepada-Nya, manusia wajib beribadah kepada Tuhan. Akal manusia juga sangat mumpuni untuk mengetahui suatu perbuatan memiliki value baik atau buruk. Dengan begitu, akal sehat manusia sudah pasti mendorong, atau dengan kata lain ‘mewajibkan’ tuannya untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Di lain pihak, Asy’ariyyah tidak setuju dengan argumen yang disampaikan rivalnya, Mu’tazilah. Mereka berpendapat, memang akal mampu mengetahui Tuhan. Namun, akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban kepada Tuhan. Akal manusia tidak dapat mewajibkan tuannya untuk melakukan sesuatu. Akal manusia juga tidak dapat mengetahui bahwa yang berbuat baik mendapatkan pahala dan yang buruk mendapatkan dosa. Kewajiban-kewajiban tersebut didapati melalui informasi wahyu. Akal manusia juga tidak mampu mengetahui hal yang baik dan buruk. Baik buruknya sesuatu digariskan oleh wahyu. Berarti, manusia juga tidak diwajibkan melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kecuali oleh wahyu. Pada kondisi ini, terlihatlah bahwa Asy’ariyyah memberikan porsi yang sangat besar kepada wahyu dan mempersempit peranan akal dalam semua permasalahan di atas.
Adapun Maturidiyyah, pada perkembangannya terbagi menjadi dua aliran, Samarkand dan Bukhara. Golongan Samarkand berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui baik dan buruk dengan akalnya. Akal manusia juga mampu mengetahui Tuhan dan kewajiban manusia terhadap-Nya. Namun, kewajiban untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanyalah diketahui manusia dengan wahyu. Sementara golongan Bukhara berpendapat bahwa akal manusia hanya mampu mengetaui adanya Tuhan serta nilai baik dan buruk. Sementara dalam konteks kewajiban, baik kewajiban terhadap Tuhan maupun berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanyalah diketahui melalui informasi wahyu.

Perdebatan Hukum

Hukum disepakati sebagai titah ilahi. Sebagai titah ilahi ia bersifat qadim dan mendaului manusia. Konsekuensinya, manusia tidaklah membuat hukum, melainkan hanya menemukannya saja. Dari sini timbul suatu polemik. Bagaimana Allah memanifestasikan hukum-Nya yang qadim tersebut kepada manusia?
Pada kajian Ushul Fiqh, pembahasan ini dikaitkan dengan teori etika. Hukum mengikuti nilai pada hukum etika. Suatu yang dinilai baik, diperintah oleh hukum, dan yang buruk, dilarang oleh hukum. untuk mengetahui nilai etika itu, pembahasannya menjurus kepada konsep baik dan buruk.
Kajian ini berkaitan erat dengan perdebatan teologis di atas. Pada aspek ini, terdapat dua konsep yang berbeda; tradisionalis dan rasionalis. Konsep tradisionalis berpendapat bahwa suatu itu dinilai baik atau buruk sesuai dengan tuntunan wahyu. Jika suatu perbuatan dinyatakan wahyu sebagai perbuatan baik, maka ia baik, dan jika tidak maka tidak. Mengenai perbuatan yang tidak digariskan oleh wahyu, penyimpulan baik atau buruknya didapatkan dengan jalan analogi (qiyas).
Sementara kaum rasionalis berpendapat bahwa nilai baik dan buruk sudah terdapat secara inheren dalam suatu perkara semenjak awalnya. Pada hakikatnya, suatu pekerjaan dipandang baik jika ia mempunyai nilai baik yang inheren pada dirinya, dan sebaliknya. Konsepsi ini meskipun wahyu tidak menjelaskannya. Menurut mereka, kalaupun wahyu tidak menjelaskan mencuri itu buruk dan harus ditinggalkan, dengan nilai yang sudah terkandung di dalamnya, manusia dapat menyimpulkan bahwa mencuri itu buruk. Bagi mereka, wahyu berfungsi sebagai penguat dari kesimpulan manusia tersebut.
Jadi, memang terbukti bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak terlepas dari warna yang diberikan akal dan agama atau dalam hal ini wahyu. Kehidupan manusia berjalan lancar dengan keduanya. Manusia mencapai kebahagiaan hidup dengan kepercayaan dan pengamalan keduanya. Namun, dalam perjalanannya, akal dan agama terkadang mendapatkan porsi yang timpang. Suatu saat akal mendominasi dan agama kehilangan perannya. Dan suatu ketika, agam menang mutlak, dan manusia tidak diperkenankan menggunakan akalnya secara luas.

Jumat, 13 Februari 2009

Rasulullah; Manusia Paling Cerdas di Dunia

Fathanah merupakan sifat wajib bagi Rasul. Nabi Muhammad SAW pun sudah barang tentu memiliki karakter demikian. Beliau merupakan orang yang sangat cerdas dan pintar. Tidak diragukan lagi mengenai hal ini. Beberapa bukti telah menunjukkannya.
Jika ada segelintir manusia mengklaim bahwa Rasullullah saw bodoh lantaran tidak bisa tulis baca, maka pernyataan tersebut salah besar. Memang, pada zaman ini, orang yang tidak mampu tulis baca merupakan orang terbelakang dalam bidang pendidikan. Dan hal ini identik dengan kebodohan. Betapa sekarang ini kehidupan tidak terpisahkan lagi dengan tulisan. Setiap hari dilalui penuh dengan rangkaian bacaan, dimana dan kapan saja. Tulisan menjadi entitas yang sangat krusial dalam kehidupan ini. Jadi sangatlah naif orang yang tidak bisa tulis baca.
Namun, tidak begitu dengan zaman Rasulullah. Kecerdasan seseorang tidak diukur dengan kemampuan tulis baca. Baca tulis bukanlah tolok ukur pintarnya seseorang. Tulisan bukanlah hal yang urgen masa itu. Tanpa kemampuan tulis baca pun, manusia bisa menjalani kehidupannya dengan baik. Tulis baca sama sekali tidak berpengaruh kepada integritas dan kredibilitas manusia pada masa itu.
Meskipun demikian, suatu konsepsi yang menyatakan bahwa Zaman Jahiliah merupakan zaman kebodohan, juga tidak tepat. Kata ‘jahiliah’ tidak menjurus ke segi intelektual seseorang. Term jahiliah itu, lebih mengarah kepada kebobrokan moralitas. Perdagangan mereka dipenuhi dengan riba. Persaingan antar suku tak lepas dari perang. Perzinahan merupakan hal yang biasa. Yang kuat berkuasa dan menindas yang lemah. Namun daripada itu, mereka itu bukanlah bodoh.
Peradaban Hijaz (Makkah dan Madinah) merupakan peradaban yang disegani pada masa itu. peradaban Hijaz bukanlah bagian dari hegemoni dua kerajaan besar; Sasaniah dan Romawi. Hegemoni keduanya mencakup segala aspek, dari politik, ekonomi, sosial, hingga agama. Mereka berlomba-lomba melakukan ekspansi dan mencipatakan pengaruh. Mereka melakukan penindasan yang tidak berperikemanusiaan di daerah kekuasaan masing-masing. Hijaz, yang terletak di antara keduanya terlepas dari pengaruh keduanya. Posisinya yang strategis, di jalur perdagangan antara keduanya, implikasi baik dalam aspek ekonomi hijaz. Terbukti dengan adanya pasar ‘Ukkaz’ yang didatangi pedagang dari seluruh penjuru. Pada sisi ini, terbuktilah kecerdasan dan kemajuan peradaban Hijaz pra Islam.
Rasulullah diutus dalam kondisi yang sedemikian. Beliau lahir di tengah masyarakat yang terbilang maju dari segi peradaban dan intelektualitas, namun terpuruk dalam segi moral dan spiritual. Namun, beliau berhasil memperjuangkan revolusi ‘Islam’ di sana. Menghadapi tekanan dan boikot dari penduduk tanah kelahirannya. Tapi, kita lihat hasilnya; beliau BERHASIL. Dalam kurun yang cukup singkat, 23 tahun, beliau berhasil merubah moral sebagian besar masyarakat Arab 180 derajat. Siapa di dunia ini yang mampu melakukan ini selain beliau? Dalam hal ini, terbukti Rasulullah sangatlah cerdas dari segala aspek.
Disamping bukti makro di atas, juga terdapat beberapa bukti mikro yang dapat dijadikan justifikasi kecerdasan Rasulullah. Malaikat Jibril membacakan wahyu kepada Beliau hanya sekali, dan beliau mampu menghafalnya dalam waktu singkat. Perhatikan juga kisah pemindahan Hajar Aswad sesaat setelah renovasi Ka’bah dari banjir bandang. Siapa yang meluruskan dan mencegah pertikaian yang hampir saja mengarah kepada perang? Rasulullah! Siapa menduga beliau mempunyai kebijakan yang sangat sempurna. Hanya dengan media sehelai sorban, puluhan dan bahkan ratusan pedang dan anak panah tidak jadi beradu, dan darah tidak jadi tertumpah.
Jadi, Rasulullah memang ummiy. Beliau memang tidak mampu tulis baca. Namun, bukan berarti beliau bodoh. Ummiy Rasulullah tidak lain sebagai bukti otentisitas dan kebenaran Alquran merupakan wahyu Allah dan bukan kreasi dan imajinasi Rasulullah. Nabi Muhammad saw merupakan orang yang paling cerdas yang pernah ada. Bukti-bukti di atas, sangatlah cukup. Bayangkanlah, seorang non-muslim yang mengkategori pemimpin-pemimpin terbaik dunia, menempatkan Rasulullah, yang bernotabene rasul umat Islam, pada urutan pertama. Semua mengakui kecerdasan Rasulullah, dan memang begitu seharusnya.

Selasa, 13 Januari 2009

Ritual Seks Gunung Kemungkus Perspektif Living Qur’an

Beberapa ahli telah berusaha memberikan definisi terhadap Living Qur’an. Living Qur’an merupakan pewujudan Alquran yang begitu nyata dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemakaan dari Living Qur’an adalah sebagai teks Alquran yan hidup dalam masyarakat. Sebagai teks Alquran yang hidup, ia merupakan respon masyarakat terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu dari Alquran. Living Qur’an tersebut terlihat dengan proses memfungsikan Alquran di luar kondisi teksnya. Respon tersebut terwujudkan dalam kehidupan praksis yang tidak jarang justru bertentangan dari nilai yang digariskan Alquran itu sendiri.
Sebagaimana yang disampaikan M. Mansur, fenomena ini bermula dari Quran in everyday life. Objek pembahasannya adalah praktek-praktek tertentu terhadap teks Alquran dalam kehidupan praksis. Pernyataan tersebut menegaskan bahwasanya Living Qur’an telah terjadi semenjak Alquran itu sendiri ada.
Studi Living Qur’an merupakan studi sosial dan keragamannya yang berasal dari pemahaman dan respon manusia terhadapnya. Studi ini merupakan studi ilmiah murni yang berbeda dengan studi-studi yang dilakukan para ulama klasik yang lebih memusatkan kajian mereka kepada aspek internal dari Alquran.
Manusia sebagai makhluk yang kreatif dan inovatif selalu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut meliputi segala hal, mulai dari pola fikir, watak, tingkah laku, dialek, kepribadian, kecenderungan, dan sebagainya. Di saat dihadapkan dengan suatu perkara, mereka juga akan menghasilkan respon yang berbeda-beda, terlebih lagi jika telah terkontaminasi oleh pengaruh sosio-kultural masing-masing yang juga berbeda. Begitu juga dengan Alquran, di saat dihadapkan kepada manusia yang beragam akan menghasilkan respon, penafsiran, dan pemahaman yang berbeda-beda. Seorang ulama mengibaratkan Alquran sebagai sebuah permata dengan banyak sudut. Ia akan menghasilkan warna dan pantulan cahaya yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut yang berbeda. Dari proses dialektis antara manusia dan Alquran inilah lahir fenomena Living Qur’an.
Salah satu contoh adalah “Ritual Seks Gunung Kemungkus”. Pada dasarnya, ritual tersebut merupakan penerapan konsep tabarruk dan tawassul yang sebenarnya masih debatable, dibenarkan dan dibolehkan oleh sebagian ulama, dan dilarang menurut sebagian lain. Konsep tabarruk dan tawassul tersebut berdialog dengan kehidupan kapitalis manusia, sehingga terlaksanalah berbagai macam kegiatan ber-tawassul dan tabarruk seperti ritual gunung Kemungkus ini.
Beberapa proses yang dijalani saat melaksanakan ritual ini yaitu: (1) Mengambil air dari dua sumber air yang berbeda. Pertama, di Sendang Ontrowulan yang nantinya dibawa pulang karena dianggap membawa berkah. Kedua, air di Sendang Taruna yang nantinya akan digunakan untuk bersuci setelah melakukan ritual seks. Masing-masing air tersebut dido'akan terlebih dahulu oleh juru kunci masing-masing sendang. Doa-doa tersebut tidak berbeda dengan doa yang lazimnya dibaca selepas shalat atau pada kesempatan lainnya yang sudah pasti sebagian besar merupakan teks Alquran. (2) Berdo'a di makam Raden Samudra. Banyak versi cerita yang dapat kita temui tentang kisah Raden Samudra ini. Ia adalah Putra Majapahit atau Putra Demak dalam mitos lainnya yang jatuh cinta kepada ibu tirinya sehingga akhirnya terjadinya hubungan seks antara keduanya. Dan (3) Melakukan ritual seks sebagai syarat terkabulnya keinginan. Ritual ini sepertinya berawal dari kisah perselingkuhan Raden Samudra dengan ibu tirinya, sehingga dalam ritual ini, hubungan seks pun harus dilakukan bukan dengan pasangan resmi.
Namun, ada suatu kejanggalan dari ritual ini. Menurut sebagian ulama, Islam dan Alquran membolehkan seorang muslim meminta berkah (tabarruk) kepada seorang kyai, syeikh, atau orang yang dipandang alim dan dekat dengan Allah swt serta terjauh dari perbuatan terlarang. Akan tetapi faktanya, pada ritual seks gunung Kemungkus ini justru kepada seorang Pangeran Samudra, yang konon memiliki hubungan terlarang dengan ibu tirinya. Dan hal ini jelas melanggar aturan doktrin Islam. Tapi hal ini bukanlah suatu permasalahan dalam kajian ilmu antropologi yang tidak mencari justifikasi benar atau salah suatu fenomena.
Sebagaimana modusnya, ritual seks ini diyakini dapat menjawab beberapa kebutuhan manusia, seperti masalah ekonomi, kenaikan pangkat, jodoh, dan sebagainya. Fenomena ini sangat menarik sekali, ia berhasil menjadi suatu aset berharga bagi pemerintah daerah. Banyaknya masyarakat yang meyakini ritual ini, menjadikan wilayah gunung kemungkus ini terlihat ramai pada malam-malam tertentu. Hal ini dimanfaatkan pemerintah setempat untuk dijadikan daerah pariwisata. Wisata ziarah ini menghasilkan aset sebesar 170 juta pertahunnya bagi daerah. Di samping itu, masyarakat sekitar juga mendapatkan lahan pekerjaan dengan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan para peziarah, mulai dari kembang-kembang, penginapan dan sebagianya guna memberikan kenyamanan para peziarah. Bahkan mucikari dan PSK pun dapat tersenyum karenanya.
Begitulah fakta menarik dalam agama Islam seputar pengamalan Alquran. Meskipun telah digariskan konsep baik buruk dan mempunyai sistem nilai evaluatif dan afirmatif, tetap dihadapkan kepada pengamalan yang sangat beragam sejalan dengan beragamnya kondisi sosio-kultural dan pola fikir masyarakat. Dan tidak jarang pengamalan tersebut teraplikasikan sebagai suatu hal yang bertentangan dengan ajarannya sekalipun.

TADWINUL QURAN

A. Pendahuluan
Pengumpulan al-Quran mempunyai dua pengertian, yaitu penghafalan dan penulisan. Pengertian ini didasari oleh kata jam`ahu (penghimpunannya) sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Qiyamah ayat 17: “Sesungguhnya di atas Kami-lah penghimpunannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”
Dalam artian penghafalan, Allah telah mengaruniakan kepada Muhammad lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Beliau merupakan sayyidul huffadz dan awwalu al-jumma’u. Muhammad sangat perhatian dan bersungguh-sungguh dalam menghafal al-Quran. Begitu besar keinginan beliau untuk menghafal al-Quran. Rasululluah juga memerintahkan para sahabat untuk menghafal al-Quran. Sikap antusias para sahabat juga sangat besar dalam menghafal al-Quran. Beliau menjadi contoh yang paling baik terhadap para sahabat dalam menghafalnya. Dari kitab Shahih Bukhari, dalam 3 hadits, dikemukakan ada 7 orang penghafal al-Quran: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaib bin Tsabit, Abu Darda’, dan Abu Zaid.
Sebagaimana yang disampaikan Bukhari, penyebutan tujuh huffadz bukanlah berarti pembatasan, karena sesungguhnya banyak sekali sahabat yang menghafal al-Quran. Namun itu berarti bahwa mereka itulah yang hafal di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya kepada Nabi Saw, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita sekarang.
Tentang pengumpulan dalam arti penulisan, adalah melalui tiga periode, yaitu periode Rasulullah, periode Abu Bakar al-Shiddiq, dan periode Utsman bin ‘Affan.

B. Pengumpulan al-Quran pada Masa Nabi
Begitu besar perhatian Nabi Muhammad untuk menghafal dan memelihara al-Quran. Beliau senantiasa menggerakkan lidahnya untuk mengucapkan dan melatih hafalannya hingga hafal di luar kepala. Selanjutnya beliau memerintahkan beberapa sahabat untuk menuliskan al-Quran, yaitu Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais. Mereka menulis al-Quran dengan menggunakan media lembaran kulit, daun, pelepah kurma, lempengan batu, pelana, dan potongan tulang belulang. Penulisan al-Quran timbul pada masa Nabi disebabkan karena tulisan dapat memperkuat hafalan.
Dalam berbagai hadits dikemukakan mengenai penyusunan surah dan ayat al-Quran, bahwasanya penyusunan tersebut berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Berbagai riwayat hadits membuktikan banyak surah yang urutannya disusun menurut petunjuk dari Rasulullah daripada yang menyatakan bahwa penyusunan tersebut berdasarkan ijtihad secara individu. Jumlah yang minor itu pun hanyalah berasal dari hadits yang sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya, serta isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas. Jadi pendapat yang dibenarkan dan yang diterima adalah yang menyatakan bahwa penyusunan surah dan ayat dalam al-Quran berasal dari petunjuk Rasulullah.

C. Pengumpulan al-Quran pada Masa Abu Bakar al-Shiddiq
Al-Quran seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Setelah wafatnya Rasulullah tampuk kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar. Ia dihadapkan dengan beberapa peristiwa yang berhubungan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Hal ini mambuat Abu Bakar harus mempersiapkan pasukan untuk memerangi kaum murtad tersebut pada peperangan Yamamah pada tahun dua belas hijriah. Pada peperangan tersebut, tujuh puluh huffadz dari kalangan sahabat gugur. Umar bin Khattab mengkhawatirkan hal ini, dan lebih jauh ia juga mengkhawatirkan seandainya di beberapa peperangan lain juga akan menyebabkan gugurnya banyak huffadz lainnya. Sehingga ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Namun Abu Bakar meragukan hal itu. Ia ragu untuk melakukan hal yang tidak dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Umar tetap membujuknya sehingga akhirnya Allah membukakan hatinya dan segera menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugasnya tersebut dengan sangat hati-hati. Ia mengumpulkan dari hafalan para huffadz dan tulisan para kuttab. Dalam pelaksanaannya, disyaratkan dua kesaksian, melalui hafalan dan tulisan dalam satu pendapat dan melalui dua orang menurut pendapat lainnya. Hasil usaha Zaid tersebut diselesaikan dalam masa satu tahun. Hasil jerih payah tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, berpindah tangan kepada Umar dan selanjutnya setelah ia wafat disimpan oleh Hafsah.

D. Pengumpulan al-Quran pada Masa Utsman
Setelah pembukuan al-Quran pada masa Abu Bakar telah selesai, ternyata pada masa Utsman terjadi perbedaan tentang cara membaca al-Quran. Keadaan tersebut disebabkan oleh samakin meluasnya kekuasaan Islam dan masyarakat tiap-tiap wilayah belajar kepada sahabat yang diutus ke wilayah tersebut. Perbedaan tersebut berkembang dan memuncak dan menjadi keadaan yang mencemaskan.
Dengan adanya keadaan tersebut, Utsman meminjam mushaf yang ada di tangan Hafshah untuk dikembalikan lagi. Beliau menyuruh Zaid bin Tsabit dan tiga orang Quraisy untuk menyalin mushaf tersebut dengan memberikan pengarahan, “Bila saudara menemukan perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan Bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan menurut bahasa mereka.” Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan yang semakin memuncak dan agar al-Quran hanya terhimpun pada satu bahasa.
Setelah penyalinan tersebut selesai, Khalifah Utsman mengirim salinan tersebut ke ibukota-ibukota propinsi dengan diiringi perintah untuk membakar salinan-salinan yang dapat mengacaukan mushaf standar tersebut.
Menurut Ibnu Hajar, mengenai proses penyalinan tersebut, panitia Zaid menyelesaikan tugasnya pada tahun 25 H, sedang menurut Balchere, panitia Zaid baru dibentik pada tahun 30 H. Dr. Shubhi As-Shalih menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat Ibnu Hajar karena didukung oleh dasar riwayat yang kuat.
Jumlah mushaf yang ditulis panitia Zaid menurut pendapat al-Zarqani ada enam. Satu mushaf untuk khalifah yang kemudian dikenal dengan sebutan “al-Mushaf al-Imam” , sementara lima mushaf lainnya dikirim ke daerah-daerah Islam disertai dengan seorang sahabat ahli qira’ah. Untuk keperluan pengajaran qira’ah, khalifah mengirim Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin al-Saib ke Makkah, al-Mughirah bin Syihab ke Syiria, Abu Abdurrahman al-Salami ke Kuffah, dan Amir bin Abdul Qais ke Basrah.

E. Penutup
Berbicara mengenai tadwin, tidak akan bisa terlepas dari aspek sejarah. Sebagaimana salah satu tujuan dari belajar sejarah, beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari sejarah kodifikasi. Terlihat antusiasisme yang sangat tinggi dari para sahabat dan Rasulullah sendiri untuk menghafal dan menjaga al-Quran. Begitu juga dengan ketelitian dan kehati-hatian yang besar dalam upaya pengumpulan al-Quran. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi kesalahan dalam penulisan dan penjagaan terhadap penjagaan otentisitas al-Quran.
Demikianlah makalah ini kami buat. Dengan penuh kesadaran diri, masih banyak kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Karenanya kritik dan saran yang konstruktif akan diterima dengan senang hati. Mudah-mudahan makalah ini menggugah kegelisahan intelektual pembaca demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lamu bi al-shawwabu

SYAFI’IYYAH dan MUTAKALLIM

Metode ushul fiqh terbagi kepada dua corak, mutakallim dan fuqaha. Mutakallim sering disejajarkan dengan Syafi’i. Aliran ini menggunakan pendekatan deduktif dengan memformulasikan teori umum dan terlepas dari keterikatan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Karakter dari aliran ini adalah manthiqi (logika), nazhari (teoritis), dan dikaitkan dengan fakta. Sedang aliran fuqaha (Hanafiah) membangun hukum dari hal-hal furu’ . Mereka meneliti hal-hal cabang (furu’) tersebut dan membangun argumentasi-argumentasi untuk itu. Berikutnya, aliran hanafiah ini mendasarkan permasalahan yang mereka dapati dengan kaidah-kaidah yang telah didapati oleh imam mereka, sehingga mereka terikat dengan kaidah tersebut.
Namun, di dalam buku REFORMASI BERMAZHAB terdapat kritikan terhadap pengelompokan sebagaimana di atas. Yang menjadi objek kritik tersebut adalah pengelompokan Syafi’i dengan mutakallim. Karena, Syafi’i adalah sosok yang tidak sepaham dengan mutakallim yang beraliran mu’tazilah. Dia dengan jelas menentang pemikiran mereka. Al-Risalah itu sendiri merupakan salah satu misinya untuk menentang mereka. Jadi, mengapa Syafi’i justru disamakan dengan kelommpok yang ditentangnya? Begitulah gambaran singkat yang dikutip dari buku tersebut.
Mengenai permasalahan ini, sangatlah perlu untuk mengkaji bagaimanakah sejarah ushul fiqh Imam Syafi’i itu sendiri. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Ia mencoba mengambil jalan tengah dari dua kecenderungan yang dilatarbelakangi oleh faktor tempat dan kuantitas hadits yang didapat para ulama yang berkembang pada zamannya, ahl al-ra’yi dan ahl al-hadits. Ia tidak hanya terpaku kepada hadits, namun juga memberi andil kepada akal dalam penyimpulan suatu hukum. Ia memformulasikan ushul fiqh dari diskusi-diskusi ilmiah para pendahulunya semenjak masa sahabat. Sumber hukum menurutnya adalah secara berurutan dari al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Formulasi ushul fiqh yang dirintis oleh Syafi’i, berkembang pesat dan diikuti banyak umat Islam. Dalam perkembangannya, terdapat berbagai perbedaan pandangan dari ulama berikutnya. Ada yang memasukkan teori-teori yang tidak dipakai Syafi’i. Sebagian lain ada yang menyalahinya dalam pokok-pokok ushul fiqh dan mengikuti cabang-cabangnya.
Di antara yang menggunakan formulasi Syafi’i ini adalah ulama mutakallim. Sebagian besar mutakallim termasuk kepada aliran Syafi’iyyah ini. Hal ini dilatar belakangi kesamaan model kajian Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum dengan kajian mereka dalam ilmu kalam. Tampaknya, hal inilah yang mendorong ulama mengelompokkan aliran Syafi’iyyah dengan mutakallim dalam satu golongan.
Menimbang kritik dari buku REFORMASI BERMAZHAB tersebut, tampaknya memang tidak bijaksana untuk menggolongkan Syafi’iyyah kepada mutakallim. Karena sebenarnya mereka itu mempunyai objek pembahasan yang berbeda, hanya saja punya metode kajian yang sama. Dan dalam kajian ushul fiqh sendiri, mutakallim hanya mengikuti apa yang telah diformulasikan oleh Syafi’i. Jadi, lebih baik jika aliran tersebut cukup disebut sebagai aliran Syafi’i saja tanpa membawa nama mutakallim. Hal ini seandainya mereka tidak mengembangkan ushul fiqh Syafi’i sehingga memiliki perbedaan yang mencolok. Ketika perubahan yang mereka ciptakan akibat proses pengembangannya cukup besar, mengapa mereka tidak dikelompokkan menjadi otonom dan terpisah dari Syafi’i maupun fuqaha?

Referensi :
1. Reformasi Bermazhab karya Qadri Azizi
2. Ushul Fiqh karya Muhammad Azzahra
3. Ushul Fiqh Jilid 1 karangan Amir Syarifuddin

BAHASA AGAMA

Bahasa agama banyak menggunakan ungkapan simbolik dan metaforis. Maka, jika hanya difahami secara litaral saja, maka kesalahpahaman dalam menangkap pesan dasarnya akan mudah terjadi. Komaruddin Hidayat dalam tulisannya “Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik” memberikan tiga cakupan dari objek kajian bahasa agama tersebut. Pertama, bahasa agama sebagai ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran yang bersifat metafisis, terutama tentang Tuhan. Yang menjadi permasalahan adalah mengenai kapabilitas pikiran manusia yang terikat pengalaman empiris-historis mengenali Tuhan yang tranhistoris dan immateri. Kedua, kitab suci (al-Quran) yang pada hakikatnya merupakan bahasa Tuhan yang metafisis dan terwujud menjadi bahasa manusia sebagai makhluk historis yang terikat kebudayaan. Dan ketiga, bahasa ritual. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebatas percakapan semata, melainkan melibatkan geture dan ekspresi tubuh.
Merumuskan definisi bahasa agama bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, digunakanlah dua pendekatan yang menonjol dalam kajian ini, theo-oriented dan antro-oriented. Pada pendekatan pertama, bahasa agama adalah kalam Tuhan yang terabadikan dalam kitab suci, sehingga pengertian paling mendasar dari bahasa agama dengan pendekatan ini adalah bahasa kitab suci. Melalui antro-oriented, bahasa agama merupakan perilaku keagamaan dari seorang penganut agama. Pada pendekatan ini, lebih dipentingkan wujud wacana beragama atau wujud hidupnya agama dalam masyarakat sosial. Theo-oriented pada akhirnya juga mengarah kepada wacana keagamaan dengan penafsiran-penafsiran kitab suci yang lahir berikutnya, sehingga tampaklah batas yang samar antara kedua pendekatan tersebut. Sebagai jalan tengah, dibuatlah beberapa karakter dari bahasa agama: pertama, objek bahasa agama adalah metafisis, kedua, sebagai implikasinya materi pokok narasi keagamaan adalah kitab suci, dan ketiga, bahasa agama mencakup ekspresi keagamaan pemeluknya baik indivudual maupun sosial.
Akan tetapi, pada dasarnya bahasa agama merupakan bahasa manusia secara historis-antropologis, dan bahasa Tuhan yang transhistoris, secara teologis. Pemahaman ini berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan merupakan objek yang abstrak, yang sama sekali keluar dari kemampuan pikiran manusia. Namun, untuk menggambarkan ketuhanan, atau menafsirkan bahasa kitab suci yang mengungkapkan ketuhanan, tidak dapat tidak menggunkakan ungkapan yang familiar dengan indra manusia.
Secara sederhana, terdapat dua kategori bahasa agama: preskriptif dan deskriptif. Pada kategori preskriptif, bahasa agama berwujud sebagai ungkapan persuasif yang tertuang dalam bentuk teks yang berisikan perintah dan larangan. Namun, sebagai petunjuk, sebuah kitab suci juga menungkapkan sesuatu dengan karakter deskriptif yang lebih bersifat demokratis dengan melibatkan manusia sebagai makhluk historis untuk mendiskusikan persoalan. Hal ini karena suatu petunjuk tersebut tidaklah mesti dengan perintah dan larangan semata. Oleh karenanya, pesan Tuhan dalam kitab suci kerap kali dituangkan dalam bentuk deskriptif dan meteforis, simbolik, dan ikonik. Bahasa yang metaforis memiliki potensi untuk pemahaman baru yang menjadikan kitab suci akan selalu eksis dalam setiap kondisi dan waktu. Namun, negatifnya juga dapat menimbulkan spekulasi dan relativisme pemahaman. Namun, gaya bahasa—apakah metaforis, simbolis, maupun ikonik—bukanlah aspek fundamental dalam kitab suci (al-Quran). Aspek yang palin penting padanya adalah ketegasan dan kejelasan maknanya, dan bunga-bunga pengungkapan tersebut hanyalah sebagian aspek saja.
Bahasa agama mendapatkan tantangan dari corak bahasa iptek. Bahasa iptek lebih bersifat deskriptif dan demokratis dan akibatnya dapat dirasaka secara langsung. Ia selalu menuntut presisi dan siap diuji kebenaran teorinya. Berbeda dengan agama yang masih berupa janji yang pemenuhannya setelah kematian. Dengan demikian, secara empiris proposisi dan teori ilmu pengetahuan lebih mudah diterima. pertumbuhan ilmu pengetahuan selalu mengasumsikan sikap rasional dan pendekatan empirikal. Tetapi akan mengakibatkan kekeringan pandangan hidup keagamaan karena pengalaman keberagamaan yang terdalam, yaitu pengelaman kehadiran Tuhan pada diri seseorang terwadahi dalam bahasa mistis yang di dalamnya penuh misteri dan metafor.
Bahasa primer sebuah agama adalah bahasa lisan. Dibuktikan dengan penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad dan juga nabi-nabi sebelumnya adalah dalam bentuk lisan, bukan tulisan, sehingga pesan agama tersebut lebih terasa dan melekat di hati para rasul dan juga pengikutnya. Para linguistik ternama secara tidak langsung juga mendukung hal ini. Mereka menyatakan bahwa ujuaran atau pembicaraan lebih primer dari tulisan. Bahasa lisan memiliki kelebihan tersendiri. Pada suatu bahasa komunikasi (oral), terkumpullah beberapa aspek seperti psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi, dan sebagainya. Ia memiliki kekuatan emosional untuk memlihara solidaritas antar sesama dan memelihara atmosfir keberagamaan yang hangat. Makanya, salah satu ciri bahasa agama terletak pada retorikanya yang mudah membangkitkan emosi.
Al-Quran mempunyai akuransi pembacaan dan penghafalan dan kuatnya mata rantai transmisi dari generasi Rasulullah hingga generasi selanjutnya, yang hal ini tidak dimiliki oleh kitab lainnya. Sebagai implikasinya, penekanannya akan lebih kuat pada hati dan kesadaran moral. Namun pada perjalanannya, akhirnya ia menjelma menjadi bahasa tulisan.
Bahasa lisan lebih efektif daripada bahasa tulisan, karena dengan bahasa tulisan aspek-aspek psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi dan sebagainya tersebut lenyap. Hal ini juga akan mengakibatkan mudahnya terjadi penyelewengan maknanya dari makna aslinya. Implikasi konseptual lainnya adalah sebuah kitab suci dipandang sebagai sebuha bentuk fisikal dan visual yang tidak berbeda dengan buku-buku lainnya yang dicetak dan disusun di rak buku. Keberadaan dan kesuciannya tergantung kepada manusia yang meresponnya. Di samping itu, juga terjadi pergeseran relasi antara pembaca dan kitab suci. Pada awalnya, kitab suci diwahyukan kepada Nabi yang mana beliau adalah objek dan Tuhan sebagai objeknya. Namun berikutnya, di saat kitab suci telah menjadi bahasa tulisan/teks, ia berubah menjadi objek dan manusia yang meresponnya menjadi subjek. Hal inilah yang menjadikan kedudukan kitab suci tergantung kepada manusia yang meresponnya. Berarti, suatu kitab suci dianggap berharga dan memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu umat, namun bagi umat lain mungkin saja itu hanyalah kumpulan dongeng belaka.

MAKNA HAKIKAT DAN MAJAZ

A. Pendahuluan
Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qās dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran.
Dalam ilmu logika, dari segi maknanya suatu kata dibagi kepada tiga bentuk: univok, equivok, dan analog. Univok adalah kata yang mempunyai makna yang jelas, sementara equivok adalah kata yang mempunyai dua makna sekaligus. Analog adalah kata yang dalam pemakaiannya berbeda dengan makna aslinya, tapi masih mempunyai persamaan. Tampaknya, kata univok tersebut adalah hakikat dan analog adalah majaz.
Secara sederhana, hakikat adalah kata yang menunjukkan makna asli; tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh. Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya. Contohnya kata al-asad kepada al-hayawān al-muftaris (binatang buas, yaitu singa). Sedangkan majaz adalah kata yang dipakaikan bukan untuk makna aslinya karena adanya ‘alaqah dan disertai qarinah yang mencegah penggunaan makna asli. Sebagai contoh penggunaan kata al-asad bukan kepada hewan, melainkan kepada seorang yang berani, karena adanya hubungan kesamaan sifat berani dengan sifat singa. Untuk lebih rincinya, pengertian keduanya diperdalam pada pembahasan berikut.

B. Definisi Hakikat dan Majaz
1. Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan darivasi dari kata haqqa al-syai’ yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl) yang berarti ‘ditetapkan’.
Kata ‘hakikat’ merupakan kata musytarak yang mempunyai dua pengertian: esensi sesuatu di satu sisi dan inti perkataan di sisi lain. Apabila ditujukan kepada lafaz atau kata, maka hakikat adalah kata yang digunakan pada tempatnya. Dengan redaksi lain, hakikat adalah nama bagi sebuah kata yang dimaksudkan untuk makna aslinya yang terambil dari hakikat sesuatu. Kata itu benar-benar menunjukkan kepada makna yang sebenarnya.
Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.
Hakikat terbagi kepada tiga: lugawiyyah, syar’iyyah, dan ‘urfiyyah. Klasifikasi ini dikarenakan hakikat mesti menempuh jalan penetapan, dan setiap penetapan mesti mempunyai subjek yang menetapkannya. Disebut lugawiyyah apabila subjek penetapannya adalah bahasa. Sementara syar’iyyah apabila ditetapkan oleh syari’at, dan begitu juga dengan ‘urfiyyah berarti subjeknya adalah kebiasaan. Lebih rinci lagi, haqiqah ‘urfiyyah dibagi lagi menjadi haqiqah ‘urfiyyah khāssah dan haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah. Haqiqah ‘urfiyyah khāssah adalah hakikat yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat secara parsial, yaitu terbatas pada kalangan tertentu, seperti kata ijma’ yang hanya berlaku di kalangan fiqh. Sementara haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah adalah yang ditetapkan kebiasaan yang berlaku secara global, seperti kata dābbah yang dalam bahasa Arab berarti hewan berkaki empat.

2. Majaz
Para ulama terdahulu telah meneliti majaz ini, sehingga mereka telah memberikan definisi terminologis yang berbeda-beda. Dalam kitab Kaysfu al-Asrār dinyatakan bahwa majaz adalah kata yang difungsikan untuk pengertian lain di luar pengertian aslinya yang biasa terjadi dalam percakapan dengan adanya ‘alaqah antara pengertian baru yang dimaksudkan dengan pengertian aslinya. Sementara Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mustaṣfa mendefinisikan majaz sebagai kata yang dipakai oleh orang Arab pada selain tempatnya. Kata-kata dengan makna majaz ini terjadi dalam kata-kata mufrad (singular).
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan. Dari ketiga definisi tersebut, beliau menyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.

C. Macam-macam Majaz
Dari segi pembentukannya, majaz bisa dibedakan menjadi:
1. Kata yang dipinjamkan untuk suatu pengertian karena adanya keserupaan pada khāssah (propria), seperti kata al-asad yang dipinjamkan untuk makna berani.
2. Penambahan dalam tarkib yang sebenarnya tanpa penambahan tersebut, maknanya tidak berubah, seperti ليس كمثله شي. Sebenarnya menghilangkan huruf kaf tidaklah merubah makna, namun penambahan tersebut menjadikannya bermakna majaz.
3. Pengurangan yang tidak berimplikasi terhadap kekeliruan pemahaman. Seperti واسئل القرية yang sebenarnya dimaksudkan penduduknya.
4. Mendahulukan dan membelakangkan (taqdīm dan ta’khīr) seperti pada surat al-Nisā’ ayat 11 yang maksud sebenarnya adalah sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiat. Namun, redaksi ayatnya berbunyi:
من بعد وصية يوصي بها او دين.
Dari segi ‘alaqah-nya, majaz terbagi kepada dua bagian:
1. Isti’arah, yaitu majaz yang ‘alaqah antara makna asli dan makna yang dimaksudkan terdapat musyābahah seperti firman Allah; surat Ibrahim ayat pertama:
كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور
2. Mursal atau muthlaq, yaitu yang ‘alaqah antara makna asal dan makna yang dituju bukanlah musyābahah. Majaz ini pun terbagi kepada beberapa pembagian seperti sababiyyah, musababbiyah, i’tibār juz ‘ala al-kulli, dan sebagainya.

D. Cara Mengetahui Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya.
Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selain tempatnya.
Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara:
1. Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni) sementara makna majaz tidak demikian.
2. Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
3. Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu entitas, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
4. Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh “was’al al-qaryah” di atas.
5. Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”, maka ia adalah majaz.
6. Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah majaz.
7. Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai. Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya.
Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.

E. Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
1. Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu
2. Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.
3. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman Allah; surat al-Kahfi: 29
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain yaitu keharusan beriman kepada Allah.
4. Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
5. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19
وما يستوي الأعمى والبصير
Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.

F. Kesimpulan
Dari pembahasan sederhana di atas, dapat disimpulkan beberapa poin:
a. Hakikat adalah kata yang dipakaikan pada maksud kata itu sendiri, sementara majaz adalah kata yang digunakan pada makna lain dengan adanya ‘alaqah dan qarinah.
b. Hakikat keberadaannya disepakati para ulama dalam Alquran, sementara majaz masih debatable.
c. Hakikat terbagi kepada beberapa pembagian: lughawiyyah, aqliyyah, dan syar’iyyah. Dan majaz juga terbagi kepada beberapa bagian: isti’arah dan mursal.

METODE DIALEKTIK (Friedrich Hegel)

A. Pendahuluan
Metode berarti cara kerja yang sistematis dan teratur yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan yang merupakan sasaran dari suatu disiplin ilmu. Metode tidak hanya menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah. Lebih jauh dari itu, ia merupakan alat paling utama dalam proses dan pengembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal peneletian hingga mencapai pemahaman baru berupa kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu metode sangat menentukan hasil yang didapatkan dalam suatu proses, karena metode yang tepat dapat menjamin kebenaran yang diraih.
Setiap disiplin ilmu, sejatinya memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam disiplin ilmu yang lainnya. Begitu juga dengan filsafat. Ia menpunyai metode tersendiri, namun ia tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan semua filosof. Pada bidang filsafat, metode yang digunakan dapat dikatakan sama dengan aliran filsafat itu sendiri.
Setelah mengenal beberapa metode sebelumnya, berikut ini akan digambarkan secara ringkas mengenai metode dialektik. Figur sentral dari metode ini adalah Friedrich Hegel yang juga ikut ambil bagian sebagai salah satu objek pembahasan dari tulisan ini.
B. Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stutgart. Ia merupakan keturunan pegawai negeri. Ayahnya bekerja di kantor pajak di Württemberg. Sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang berbahaya hingga ia mencapai usia dewasa. Pada usia enam tahun, ia terserang penyakit cacar yang hampir merenggut nyawanya. Lebih dari seminggu pandangannya menjadi kabur dan kulitnya dipenuhi bopeng-bopeng mengerikan. Lima tahun ia lalui dengan penyakit tersebut. Baru pada umur sebelas tahun ia terbebas dari penyakit tersebut. Namun, disayangkan Ibunya justru meninggal karena kasus penyakit yang sama. Saat kuliah pun ia terkapar beberapa bulan lantaran penyakit malaria.
Ia merupakan seorang yang sangat rajin membaca. Hampir semua bahan bacaan ia lahap, mulai dari kesusastraan, koran, hingga risalah-risalah yang berisi semua subjek apapun yang ia temukan. Ia selalu menulis apa yang dia baca dalam catatan kecil yang ia sebut “pabrik ringkasan”. Pada jurnal pribadi tersebut ia menuliska semua hal. Bahkan ia menuliskan sembari mempertanyakan mengapa saat ia tidak menemukan hal yang menarik untuk dicatat dalam sehari. Mereka yang sempat membaca catatan-catatan Hegel ini akan menjumpai tentang laporan kebakaran lokal, kritik terhadap konser yang dia lihat, analisis cuaca, plus komentar klise: “cinta akan uang adalah akar dari segala permasalahan”. Begitulah Hegel yang mencatat semua yang ia dapatkan.
Pada usia 18 tahun, Hegel menjadi mahasiswa pada sekolah tinggi Teologi di Universitas Tübingen. Sesuai dengan universitas tempat ia belajar, awalnya semangat Hegel tertuju kepada teologi, namun setelah memasuki universeitas ia mulai tertarik dengan filsafat. Minat ini menjadikannya dekat dengan dua orang istimewa di zamannya, Hölderlin dan Schelling. Minat tersebut jugalah yang menjadikannya meninggalkan keinginan orang tuanya untuk masuk ke lingkungan gereja, ia lebih suka untuk menjadi seorang dosen. Minat itu jugalah yang mendasari kekagumannya terhadap Kant dengan fisafatnya yang mengkritik empirismenya Hume. Ia sangat tertarik dengan buku Kant yang berjudul “Critique of Pure Reason”. Baginya, terbitnya buku tersebut merupakan peristiwa paling besar dalam keseluruhan sejarah filsafat Jerman. Taka ayal lagi, seputar Kant dan filsafatnya cukup mendapat tempat dalam pabrik ringkasan Hegel.
Hegel dengan sangat tekun menggali karya-karya Kant, melengkapinya dengan penjelajahan kebudayaan Yunan kuno. Karena ketekunannya dan obsesi yang liar terhadap belajar, ia disebut “orang tua” lantaran kebiasaannya yang menurut mereka membosankan. Hal ini membuatnya lupa akan kewajiban kuliah yang sebenarnya, bahan bacaannya justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi perkuliahan. Inilah tampaknya yang menjadikan A. Bakker menyatakan bahwa sewaktu studi ia tidak terlalu mencolok kepandaiannya. Cita-citanya untuk menjadi tenaga pengajar di universitas pun tidak kesampaian.
Di bawah pengaruh Kant pula, Hegel kemudian menulis risalah-risalah religius yang mengkritik otoritarianisme Kristen. Hingga akhirnya pada tahun 1796 ia menjadi guru tutor di Frankfurt. Di sana ia mulai melakukan studi yang lebih keras lagi. Dan pada tahun 1801 ia menjadi privatdozent (suatu pekerjaan yang dibayar berdasarkan jumlah mahasiswa yang hadir) di Universitas di Jena. Namun, berhubung cara mengajarnya yang tidak menarik dan susah dimengerti, ia hanya dihadiri empat orang mahasiswa, meskipun setelah beberapa saat bertambah menjadi sebelas orang. Namun, ia juga tidak mau untuk menjalani opsi yang bisa membuat cara mengajarnya lebih menarik. Ia bahkan menyusun sistemnya sendiri dan mulai menanamkannya kepada mahasiswanya.
Salah seorang mahasiswa yang mengaguminya mengakui bahwa selama mengajar ia kadangkala tergagap, diam dan bermeditasi untuk kemudian melanjutkan penjelasannya. Ia kesulitan untuk mencari kata yang paling tepat untuk menyampaikan pemikirannya. Kalimat yang disampaikannya lebih sering bertele-tele dan sulit untuk dimengerti. Namun, sekali ia menyampaikan suatu kalimat yang tepat, itulah yang menjadi kalimat absolut dan tak terbantahkan. Begitulah suasana belajar bersama Hegel. Seberapa rumitkah kalimat Hegel? Coba anda perhatikan kalimat berikut ini:
“Sementara itu, karena budi itu bukan semata entitas abstrak yang sederhana, melainkan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah proses, dan dalam proses itu budi membedakan dirinya ke dalam berbagai momen, namun di dalam melakukan pembedaan itu tetap terdapat kebebasan dan pengambilan jarak, dan karena budi mengartikulasikan tubuhnya sebagai suatu keseluruhan ke dalam suatu ragam fungsi, dan memperlakukan satu bagian tubuh tertentu hanya untuk satu fungsi saja, maka seseorang juga dapat menghadirkan keadaan eksistensi internalnya sebagai sesuatu yang diartikulasikan ke dalam bagian-bagian...” dan seterusnya.

Di Jena ia menghasilkan beberapa karya. Lalu ia meninggalkan Jena untuk menempati posisi sebagai Redaktur Bamburger Zeitung. Dan silahkan Anda bayangkan bagaimanakah isi dan bahasa yang disuntinganya dalam koran tersebut selama dua tahun?
Pada tahun 1816 ia menjadi guru besar Heidelberg. Dua tahun kemudian ia pindah ke Berlin. Di sana, ia menjadi profesor filsafat, jabatan yang kosong setelah meninggalnya Fichte. Filsafatnya mulai menyebar luas ke segala penjuru universitas-universitas di Jerman. Tiga belas tahun kemudian ia meninggal di sana. Selama hidup ia telah banyak menghasilkan karya-karya besar.

C. Way of Think
Secara bahasa, dialektika dalam bahasa Inggris adalah dialectic dan dalam bahasa Yunani dialektos yang berarti pidato, pembicaraan, atau debat. Metode ini sebenarnya telah dimulai oleh Zeno, Socrates dan Plato. Aristoteles juga mengakui bahwa dialektika sesungguhnya ditemukan oleh Zeno. Ialah yang diakui sebagai orang jenius yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih kebenaran dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan. Ia mencari kebenaran dengan soal jawab secara sistematis. Sementara Plato menyadari bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi manusia tidak mungkin menjalani proses sebagaimana garis lurus, sehingga ia menuliskan pemikirannya dalam bentuk dialog-dialog. Tak berbeda dengan Sokrates, ia senantiasa menggunakan setiap kesempatan untuk berdialog. Dalam dialog tersebut ia berperan aktif dengan menggunakan argumen-argumen rasional yang didukung analisis yang cermat demi tercapainya suatu kebenaran objektif.
Sementara bagi Hegel sendiri, dialektik adalah dua hal yang bertentangan yang kemudian didamaikan. Menurutnya, dialektik merupakan jalan pemikiran, yang dengan persetujuan, tantangan, dan penyimpulan sampailah pada satu kesatuan yang lebih tinggi. Dalam berdialektik, Hegel menggunakan metode tiga serangkai, tesis, antitesis, dan sintesis. Konsep tiga serangkai ini dipaparkan pertama kali oleh Fichte. Suatu tesis dihadapkan pada negasinya, antitesis, sehingga kemudian menimbulkan sintesis yang pada tahap berikutnya kembali menjadi tesis berikutnya.
Pandangan tesis, antitesis, dan sintesis ini, menurut Hegel, karena pada hakikatnya, idea atau berfikir itu adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak tersebutlah yang mewujudkan tesis yang dengan otomatis juga mewujudkan antitesis sebagai lawannya. Pemikiran ini berpijak dari persepsi Hegel bahwa pada hakikatnya tidak ada sesuatu dalil pengertian yang berdiri sendiri, melainkan semuanya mempunyai sisi kontradiktif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa proses dialektika terdiri atas tiga fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Pada tahap awal, tesis, suatu pengertian dirumuskan dengan jelas dan radikal sehingga identik dengan dirinya sendiri dan menyangkal pengertian-pengertian lain yang berada di luarnya. Namun, akhirnya penjelasan tersebut menjadi cair dan beku. Dengan sendirinya ia butuh kepada fase kedua, antitesis. Pada tahap ini, yang secara otomatis telah disebutkan oleh tesis secara implisit, diterangkan dan dijelaskan secara radikal dan diekstrimkan, sehingga pengertian tersebut hilang ketegasannya dan mulai bergerak. Solusi terakhir adalah menuju ke langkah ketiga, sintesis. Kalau sebelumnya tesis dan antitesis diperlakukan dengan sudut pandang dirinya sendiri secara ekstrim sehingga jelaslah kontradiksi keduanya, maka pada tahap ketiga ini, keduanya difikirkan bersama-sama. Dengan demikian, proses tersebut menghasilkan suatu pengertian baru. Perlu diperhatikan bahwa kontradiksi antara tesis dan antitesis tidak dapat dijawab dengan alternatif. Anda tidak bisa memilih salah satu darinnya, karena dengan itu anda tidak akan menghasilkan sintesis, melainkan hanya memilih salah satu, apakah tesis dengan mereduksi antitesis atau antitesis dengan mereduksi tesis.

D. Pandangan Penyusun
Sebagaimana telah diulas dengan singkat di atas, dengan metode berfikir secara dialektik, dapat disimpulkan suatu pengertian baru yang lebih padat. Namun, pikiran manusia itu dinamis, suatu kesimpulan yang baru didapat, juga masih dapat disempurnakan dan diperbaharui lagi. Dan yang menjadi hal terpenting dalam kajian ini adalah, dialektika dapat menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan. Dengan metode ini, ilmu akan terus dinamis seiring dinamisnya pikiran manusia.
Hegel dengan sangat jelinya menggunakan metode ini sehingga menjadi seorang filosof ternama dan mempunyai banyak pengikut yang kemudian disebut hegelian. Penyusun berpandangan bahwa rumit dan kacaunya kalimat-kalimat yang disampaikan Hegel dalam kuliahnya saat menjadi privatdozent maupun dalam berbagai tulisannya dilatarbelakangi gerak pikirannya yang dialektis. Saat mengajar ia terkadang tergagap, diam, dan bermeditasi untuk menemukan kalimat yang tak terbantahkan lantaran ia memikirkan sisi tesis, antitesis, dan sintesis dari idenya. Kalimatnya yang tak selesai walaupun sudah mencapai beberapa baris merupakan rentetan sintesis yang kemudian menjadi tesis dan mendapatkan antitesis baru yang berlanjut terus hingga ia mendapatkan kesimpulan akhir.
Hingga saat ini, penyusun mempunyai penilaian positif terhadap metode ini. Namun, sebagaimana diketahui bahwa setiap filosof selalu mendapatkan kritik dari filososf setelahnya. Hal ini berarti bahwa dialektik ini sendiri bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan. Ini sangat manusiawi sekali, bahwa Hegel pun bukanlah manusia yang sempurna.

E. Penutup
Dari gambaran singkat di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Hegel adalah seorang maniak baca sekaligus maniak tulis yang terbukti dengan “pabrik ringkasan”-nya. Kedua, metode dialektis merupakan metode berfikir sistematis yang menjalani 3 fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Sebenarnya metode ini telah digunakan juga oleh Zeno, Socrates, dan Plato. Dan ketiga, dalam berfikir dialektis, tidak dapat ditentukan jawaban dengan alternatif karena dengan itu tidak akan dihasilkan sintesis.
Demikianlah makalah ini kami susun dengan usaha semaksimal mungkin. Namun daripada itu, penyusun menyadari bahwa di sana-sini masih terdapat berbagai kekurangan untuk dapat dimaklumi bersama.
Wallahu A’lamu bi al-Ṣawwābi