Jumat, 27 Maret 2009

IMAN KEPADA RASULULLAH SAW MESKI TIDAK BERTEMU (Perspektif Hadis)

A. Pendahuluan
Tak dipungkiri lagi, iman memang hal yang begitu determinan dalam Islam. Jika ranah perpolitikan suatu negara memiliki trias poelitica yang menentukan arah berlangsungnya kehidupan suatu negara, Islam juga mempunyai trilogi yang mendasari status keislaman seseorang; Ihsan, Iman, dan Islam. Keterkaitan ketiga unsur ini satu sama lainnya menjadikan seorang mukmin, menjadi hamba yang sempurna di sisi Allah.
Salah satu komponen iman dalam Islam adalah mengimani nabi dan rasul. Tentunya, Rasulullah saw merupakan figur penting dalam poin ini. Seorang muslim wajib mengimani beliau. Harus diyakini dengan benar, bahwa Muhammad saw adalah rasul dan nabi Allah yang tidak pernah sekalipun berbuat syirik kepada Allah. Beliau adalah penutup para nabi dan rasul—tidak ada nubuwwah lagi setelah beliau. Rasulullah juga imam para muttaqin. Beliau merupakan sosok yang menjadi teladan dalam segala aktifitas menuju ketaqwaan. Habibullah adalah gelarnya. Beliau diimani dengan segal mu’jizat yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Iman kepada Rasulullah saw sudah lahir semenjak zaman kerasulan beliau. Bahkan, sebelum menjadi Rasul, beliau sudah menjadi orang yang dipercaya dengan gelar al-Amin. Prestasi besar sudah beliau capai pada usia yang relatif muda berupa mencegah terjadinya perang lantaran perebutan kehormatan untuk memindahkan Hajar al-Aswad ke tempat semula setelah renovasi ka’bah. Memang Nabi Muhammad saw, figur yang disegani oleh semua kalangan.
Terbukti nyata dengan banyaknya sahabat yang setia kepada Beliau. Abu Bakar, teman dekat Beliau, yang selalu mendampingi dalam setiap da’wah. Umar bin al-Khattab yang menjadikan Islam cukup disegani dengan power yang dia miliki. Hamzah, yang syahid di peperangan Uhud. Khadijah, istri tercinta yang memberi dukungan penuh riil maupun materil. Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zaid bi Tsabit, Bilal bin Rabbah, Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, para tentara yang ikut bersama Beliau perang fi sabilillah, dan sangat banyak sekali yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Keimanan dan kecintaan kepada beliau tidak putus meskipun setelah dijemput oleh Allah menuju haribaan-Nya. Para Tabi’in, Tabi’ tabi’in, dan seluruh generasi berikutnya tetap mengagungkan nama Beliau. Bahkan, hingga sekarang pun, hal itu masih terjaga dengan baik. Beliau diimani orang yang bertemu maupun yang sama sekali tidak pernah menjumpai Beliau.
Satu hal yang sangat menarik pada titik ini, Rasulullah saw tetap diimani meskipun oleh orang-orang yang sama sekali tidak menjumpai beliau, dan tidak mengetahui apa-apa kecuali hanya sebatas nama dan gambaran-gambaran lain yang dijelaskan literatur-literatur Islam. Jika para sahabat begitu menghormati dan mencintai Rasulullah saw, hal yang sangat wajar. Namun, mereka yang tidak sekalipun bertemu Rasulullah, mengimani beliau sebagaimana para sahabat, merupakan hal yang sangat luar biasa. Hal ini lah yang akan menjadi kajian tulisan ini secara khusus melalui perspektif sunnah.

B. Hakikat Iman (menjurus kepada Rasul)
Secara etimologis, iman berasal dari kata آمن – يؤمن – ايمانا yang berarti tashdiq dan tahzib. Kesepakatan para ahli lughah, iman berarti tashdiq, pembenaran. Hal ini berkenaan dengan firman Allah:
قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوْا وَلَكِنْ قُوْلُوْا أَسْلَمْنَا (الحجرات 14)
Artinya : Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah kamu telah tunduk (islam),...
Pada poin ini, pentinglah untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara mukmin dan muslim. Islam adalah menunjukkan kepatuhan terhadap ajaran yang disampaikan Rasulullah saw. Apabila kepatuhan dalam memperlihatkan kepatuhan tersebut dibarengi dengan pembenaran dalam hati, maka saat itu lah ia disebut iman. Seseorang dikatakan mukmin dengan sebenarnya apabila ia mengimani Allah dan Rasul-Nya tanpa sedikit keraguan dalam hatinya. Pernyataan ini berdasarkan firman Allah swt pada ayat berikutnya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (الحجرات 15)
Artinya : Sesungguhnya orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itu lah orang yang benar.

Dari ayat ini, dapat dilihat bahwa iman yang sesungguhnya adalah iman yang komsisten dan tidak bercampur keraguan sedikitpun. Tak sebatas itu, ia menuntut adanya aplikasi perbuatan dengan sarana fisik manusia.
Jika ditarik kepada pembahasan beriman kepada para Rasul Allah, berarti mengimani bahwa mereka memang utusan Allah. Mereka membawa syariat untuk kaumnya dan memberi kabar gembira bagi yang benar dan ancaman bagi yang salah. Mereka itu sangat banyak sekali, diantaranya yang diberitakan oleh Allah maupun yang tidak. Mereka adalah hamba Allah yang mulia. Namun begitu, mereka tetaplah manusia biasa. Tidak memberikan bekas berupa manfaat dan mudharat, karena semua itu berasal dari Allah. Muslim dituntut mengimani mereka semuanya. Siapa yang mengingkari satu saja, berarti ia telah mengingkari semua rasul. Banyak redaksi Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, seperti la nufarriqu baina ahadin min rusulih atau minhum dalam redaksi lainnya.
Dan apabila diteruskan kepada ranah yang lebih sempit lagi—beriman kepada Nabi Muhammad saw—paling tidak meliputi beberapa aspek. Pertama, mengimani bahwa Muhammad saw adalah hamba sekaligus utusan Allah swt. ia adalah penutup sekaligus penghulu para nabi, yang mengajarkan syari’at Islam. Ia orang yang begitu amanah bahkan semenjak usia yang begitu dini, dan berjuang sekuat tenaga di jalan Allah. Kedua, mengimani segala sesuatu yang disampaikannya, dalam artian syari’at Islam yang dibawanya. Lebih dari itu, juga meneladani segala tindak-tanduk beliau dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, menjadikan Rasulullah saw orang yang lebih dicintai daripada orang tua dan anak sekalipun. Rasa cinta ini dibuktikan dengan mengikuti sunnah beliau. Dan keempat, menerima ajaran yang kita terima dari beliau.

C. Figur Rasulullah
Rasulullah Muhammad saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal 570 M di kota Mekkah—bagian selatan Jazirah Arabia. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim. Beliau telah menjadi anak yatim-piatu pada umur enam tahun, dibesarkan dalam kehidupan yang sederhana dan rendah hati oleh kakeknya, namun tak berapa lama kakeknya pun meninggal dunia. Akhirnya beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Ali bin Abi Thalib.
Nabi Muhammad tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang memiliki postur tubuh yang hampir sempurna. Paras mukanya manis dan indah. Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek. Bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan hitam. Di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan. Pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya. Disamping itu, beliau dikenal sebagai pemuda yang baik dan memiliki kehalusan akhlak.
Sifat amanahnya telah menjadikannya karyawan kepercayaan Khadijah, seorang janda kaya yang terhormat. Akhirnya, pada usia 25 tahun beliau menikah dengan Khadijah. Status sosial yang tiba-tiba meningkat—yang pada waktu itu harta menjadi tolok ukurnya—tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Partisipasinya tetap seperti sediakala, bahkan ia lebih dihormati. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi tetap tidak melupakan humor dan senda-gurau. Namun begitu, yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya.
Beliau tidak terlarut dalam tertawa sebagaimana juga tidak larut pada marah. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Begitu bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang sangat dalam pada orang-orang yang bergaul dengannya. Rasa hormat akan timbul pada pertemuan pertama, dan bagi yang bergaul dengannya akan timbul rasa cinta.
Beliau diangkat menjadi Rasul untuk menyebarkan risalah Allah kepada umat manusia secara kaffah pada umur 40 tahun. Dan selama tiga tahun pertama Nabi Muhammad saw hanya menyebar agama secara sirr, terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Setelah itu, kira-kira tahun 613 M, beliau mulai tampil di depan publik. Ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan bangsa Arab pada waktu itu, apalagi dengan ambisi kapitalis mereka, menjadikan penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya. Hambatan pun mulai dihadapi. Beliau mengalami berbagai intimidasi yang keras dari kalangan kafir Quraisy, diusir dari negerinya dan bahkan diperangi. Tidak jauh berbeda dengan da’wah yang disampaikan di Thaif, beliau justru disambut dengan lemparan-lemparan batu yang membuat beliau terluka cukup parah. Dan yang paling menarik, saat malaikat menawarkan untuk menimpakan bukit Thaif kepada mereka, Rasulullah justru memintakan ampunan kepada mereka. Betapa mulia dan sucinya hati beliau.
Masih banyak kisah kehidupan Rasulullah dalam berda'wah yang menjelaskan betapa beliau amat mencintai umatnya dan amat merasa sedih dengan kesesatan mereka dalam kehidupan. Beliau amat menginginkan manusia memahami dan meyakini nilai-nilai iman. Untuk itu beliau mengajak manusia dengan penuh hikmah ke dalam Islam.

D. Iman Kepada Rasul Meski tidak Bertemu Beliau
Dari uraian ringkas di atas, sedikit bayaknya telah diungkap sepenggal kehidupan Rasulullah yang begitu agung. Apabila salah satu unsur iman kepada beliau adalah meyakini bahwa beliau adalah benar-benar rasul Allah dan penutup sekalian rasul, sekarang dapat diusahakan. Jika unsur lainnya menjadikan beliau sebagai uswah al-hasanah, juga bisa dimulai. Begitu juga dengan meyakini ajaran yang beliau bawa, Islam, bisa dipedomani dari Al-Qur’an dan sunnah. Namun, bagaimanapun juga, sekarang bukanlah zaman Rasulullah, sekarang bukanlah abad VI, dan akal sehat menjamin tidak satu pun yang bertemu dengan Rasulullah saw saat ini. Bagaimanapun juga, keimanan kepada beliau adalah hal yang mutlak, apakah dengan bertemu maupun dengan tidak. Berikut ini, sebagaimana content utama tulisan ini, dikutip hadis Rasulullah saw yang berkenaan dengan keimanan seorang mukmin yang tidak bertemu Rasulullah. Setelah diteliti, ternyata, hadis tersebut hanya terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hambal, namun dengan beberapa variasi:
o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ أَبُو السَّمْحِ أَنَّ أَبَا الْهَيْثَمِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ طُوبَى لِمَنْ رَآكَ وَآمَنَ بِكَ. قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى ». قَالَ لَهُ رَجُلٌ وَمَا طُوبَى قَالَ « شَجَرَةٌ فِى الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِائَةِ عَامٍ ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Hasan, ia berkata: saya mendengar Abdullah bin Lahi’ah berkata, berkata kepadaku Darraj Abu al-Samh, sesungguhnya Abu al-Haitsam berkata kepadanya dari Said al-Khudri dari Rasulullah saw sesungguhnya seseorang berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, ‘thuba’ bagi orang yang menjumpai Engkau dan mengimani Engkau. Rasulullah berkata: ‘thuba’ bagi siapa yang menjumpaiku dan mengimaniku, dan kemudian ‘thuba’, dan ‘thuba’, dan ‘thuba’ bagi siapa yang mengimaniku meskipun tidak melihatku. Maka seseorang berkata kepadanya: Lantas, apakah thuba itu? Rasulullah menjawab: sebuah pohon di surga seukuran 100 tahun

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا جَسْرٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَرَآنِى مَرَّةً وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى سَبْعَ مِرَارٍ »
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Hasyim bin Qasim, ia berkata: berkata kepada kami Jasrun dari Tsabit dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi orang yang beriman denganku dan melihatku satu kali, dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku meskipun ia tidak menlihatku tujuh kali.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ - يَعْنِى ابْنَ إِسْحَاقَ - حَدَّثَنِى يَزِيدُ بْنُ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْيَزَنِىِّ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُهَنِىِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ طَلَعَ رَاكِبَانِ فَلَمَّا رَآهُمَا قَالَ « كِنْدِيَّانِ مَذْحِجِيَّانِ ». حَتَّى أَتَيَاهُ فَإِذَا رِجَالٌ مِنْ مَذْحِجٍ. قَالَ فَدَنَا إِلَيْهِ أَحَدُهُمَا لِيُبَايِعَهُ. قَالَ فَلَمَّا أَخَذَ بِيَدِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَنْ رَآكَ فَآمَنَ بِكَ وَصَدَّقَكَ وَاتَّبَعَكَ مَاذَا لَهُ قَالَ « طُوبَى لَهُ ». قَالَ فَمَسَحَ عَلَى يَدِهِ فَانْصَرَفَ ثُمَّ أَقْبَلَ الآخَرُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ لِيُبَايِعَهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ مَنْ آمَنَ بِكَ وَصَدَّقَكَ وَاتَّبَعَكَ وَلَمْ يَرَكَ قَالَ « طُوبَى لَهُ ثُمَّ طُوبَى لَهُ ثُمَّ طُوبَى لَهُ ». قَالَ فَمَسَحَ عَلَى يَدِهِ فَانْصَرَفَ.
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Muhammad bin Ubaid, berkata kepada kami Muhammad (yaitu Ibnu Ishaq), berkata kepadaku Yazid bin Habib dari Martsad bin Abdillah al-Yazanni, dari Abi Abdirrahman al-Juhanni, ia berkata di saat kami berkumpul bersama Rasulullah saw: tatkala datang dua orang pejalan dan ia melihatnya, ia berkata:

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى سَبْعَ مِرَارٍ »
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Musa bin Dawud, berkata kepada kami Hammam dari Qatadah dari Aiman dari Abi Umamah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi siapa yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntunglah bagi siapa yang berriman kepadaku meskipun tidak melihatku tujuh kali.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَآمَنَ بِى وَطُوبَى سَبْعَ مَرَّاتٍ لِمَنْ لَمْ يَرَنِى وَآمَنَ بِى ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku Bapakku, berkata kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada kami Hammam bin Yahya dari Qatadah dari Aiman dari Abi Umamah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi siapa yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntunglah tujuh kali bagi orang yang tidak melihatku dan melihatku.

o حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَعَفَّانُ قَالاَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَيْمَنَ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « طُوبَى لِمَنْ رَآنِى وَطُوبَى سَبْعَ مِرَارٍ لِمَنْ آمَنَ بِى وَلَمْ يَرَنِى ».
Artinya: Berkata kepada kami Abdullah, berkata kepadaku bapakku, berkata kepada kami Abd al-Shamad dan ‘Affan berkata keduanya, berkata kepada kami Hammam, berkata kepada kami Qatadah dan Aiman dari Abi Umamah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: beruntunglah bagi orang yang melihatku dan beruntunglah tujuh kali bagi orang yang tidak meliahatku dan beriman kepadaku.
Hadis ini memberikan penghargaan bagi muslim yang meskipun tidak berjumpa dan melihat Rasulullah, namun tetap mengimani beliau. Hal ini, menurut Mauqi’ Ya’sub, karena posisi Rasulullah bagi mereka sebagai hal yang ghaib. Sementara bagi para sahabat, mereka mengimani Rasulullah yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat langsung bagaimana mu’jizat Rasulullah, kebaikan, dan keagungan akhlak beliau. Sementara tidak demikian dengan generasi-generasi sesudah mereka. Rasulullah menjadi hal yang ghaib di mata mereka. Oleh sebab itulah Allah dan Rasul-Nya menghargai dan memuji iman mereka.
Zahirnya, sepertinya terdapat segi kontradiksi antara hadis ini dengan hadis yang menyatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi Rasulullah, kemudian setelah beliau, dan kemudian setelahnya lagi. Namun, ternyata kedua hadis ini dapat dikompromikan. Hadis yang menjelaskan generasi terbaik, sebagaimana di atas, memaksudkan kepada jama’ah. Berarti, mereka itu kaum terbaik dalam konteks kolektif, bukan individu. Hal ini karena kondisi mereka yang saat itu minoritas, mendapatkan ancaman, tantangan, dan siksaan dari kaum mayoritas, yang dalam hal ini kafir Quraisy. Namun begitu, mereka tetap berpegang teguh dengan agama Islam. Sementara yang dimaksudkan hadis-hadis di atas adalah dalam konteks individu. Jadi seseorang yang beriman dengan Rasulullah dengan tidak melihat beliau, dipuji dan dihargai keimanannya oleh Allah dan rasul-Nya. Begitulah kira-kira pendapat Ibnu Abdul Barr. Namun begitu, bagi Ibnu Hajar, ukuran kemuliaan generasi tersebut tidak hanya dengan tolok ukur menyaksikan Nabi saja, melainkan karena mereka terlibat langsung dalam pengembangan Islam, tasyri’ al-ahkam, dan berpartisipasi penuh, serta memiliki kontribusi yang tidak kecil terhadap perkembangan Islam.
Redaksi hadis yang menyampaikan “beruntunglah sebanyak tujuh kali” tidaklah memberi maksud batasan. Ia bukan berarti beruntunglah mereka sebanyak tujuh kali. Namun, yang dimaksudkan di sini adalah ungkapan taksir. Hadis menjelaskan bahwa mereka itu benar-benar beruntung jika memang benar-benar mengimani Rasulullah dalam posisi yang ghaib bagi mereka.

E. Kesimpulan
Iman merupaka hal yang krusial dalam Islam. Ia salah satu poin kunci. Dalam iman, terdapat berbagai komponen, salah satunya mengimani Rasul Allah. Nabi Muhammad, sebagai Rasulullah, sudah pasti menjadi salah satu objek yang diimani dalam hal ini.
Beliau merupakan manusia agung yang memiliki akhlak yang luar biasa. Semenjak dini beliau sudah menjadi orang kepercayaan dan digelari al-Amin. Apalagi setelah menjadi Rasul. Wibawa yang begitu besar menjadikannya dihormati kawan maupun lawan. Beliau merupakan penghulu para Rasul dan imam para muttaqin. Begitu banyak hal yang patut dan seharusnya diteladani dari sikap beliau.
Iman kepada Rasul, bagi sahabat adalah hal yang sangat lazim. Mereka menyaksikan bagaimana kehidupan Rasulullah, bagaimana da’wah, akhlak, perawakan, kelembutan, bahkan mu’jizat beliau. Bagi mereka, Rasulullah merupakan sosok yang kongrit. Jadi, sangat wajar mereka begitu menimani dan bahkan mencintai beliau.
Sementara generasi penerus yang dibatasi waktu yang cukup panjang tetap mengimani beliau. Mereka ini diberi penghargaan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini karena posisi beliau yang ghaib di mata mereka. Mereka tidak menyaksikan Rasulullah secara langsung, sementara mereka tetap punya iman. Karena itulah Nabi Muhammad saw memberikan apresiasi yang baik terhadap mereka.
Beruntunglah kita yang beriman kepada Rasulullah meskipun tidak menjumpai beliau!!!

Selasa, 24 Maret 2009

DOA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia merupakan makhluk paling semupurna yang diciptakan fi ahsani taqwim. Namun, di sisi lain, manusia juga sangat lemah. Perhatikanlah seekor ayam yang baru menetas, dalam beberapa saat mampu berjalan dan berlari mengiringi orang tuanya. Namun manusia, baru setelah beberapa tahun mampu berjalan terbata-bata hingga akhirnya ia bisa berjalan secara utuh.
Di samping itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar kepada Sang Penciptanya. Di dunia, mereka dikarunia segala hal, dan sebagai konsekuensinya, semuanya tidak luput dari pertanggung jawaban. Manusia juga dibebani dengan ibadah kepada Allah. Perintah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, supaya segala hal dalam kehidupan di dunia ini berjalan dengan lancar.
Memandang lemahnya manusia dan tanggung jawab yang mereka miliki, Allah memberikan suatu sarana bagi manusia untuk khusus curhat kepada-Nya. Allah memberikan suatu jalur untuk itu yang disebut dengan doa. Dengan berdoa—tentunya juga usaha—manusia diharapkan dapat memenuhi segala kewajibannya dan mendapatkan semua haknya sebagai makhluk. Dan untuk itu, doa ini amatlah penting.
Memperhatikan hal ini, perlu kiranya diketahui seluk-beluk dan segala hal mengenai doa. Banyak orang yang tidak mengetahui pasti apa yang dimaksud doa, bagaimana caranya, adab-adab, waktu, dan lafaz-lafaz yang dianjurkan dalam doa.

B. Definisi Doa
Doa dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu الدعاء. Ia merupakan derivasi dari kata دعا yang merupakan fi’il madhi yang sekaligus menjadi akar katanya. Sementara kata الدعاء itu sendiri merupakan bentuk mashdar. Dalam Kamus al-Muhith, doa berarti ungkapan butuh kepada Allah. Sementara Ibnu Sayyidah mendefinisikan doa menjadi permintaan seorang yang membutuhkan mengenai suatu pekerjaan kepada yang lainnya. Hal ini berarti, jika maknanya ditarik kepada kedudukan manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan, maka doa merupakan permintaan manusia mengenai sesuatu kepada Allah swt. Menurut Ibnu Rummani, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Sayyidah, doa kepada Allah mempunyai dua makna. Pertama, permintaan yang pada taraf lafdzi dan ma’nawi bermakna pengagungan dan pujian, dan kedua, sebagai ungkapan permintaan ampun dan pemberian nikmat.
Pengertian lainnya dapat dilihat di Kamus Lisan al-Arab yang secara panjang lebar membahas maksud dari doa tersebut. Kata wad’u syuhada’akum pada surat al-Baqarah ayat 23 berarti istighatsah (permintaan pertolongan). Ibnu Manzhur mengilustrasikan makna kata ini dengan suatu kondisi dimana seseorang bertemu musuhnya yang berkelompok. Mereka berkata, “wad’u al-muslimmin”. Artinya, mereka memberi kesempatan kepadanya untuk meminta pertolongan kepada saudara-saudara seimannya. Namun, kadangkala doa juga berarti ibadah, seperti yang tertulis dalam surat al-A’raf ayat 194:
إن الذين تدعون من دون الله عباد أمثالكم فادعوهم فليستجيبوا لكم إن كنتم صادقين
Artinya: Sesungguhnya mereka (berhala) yang kamu sembah selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa denganmu. Maka beribadahlah kamu kepada mereka lalu minta perkenankanlah kepada mereka jika kamu orang yang benar!
Kata tad’una pada ayat ini bermakna ibadah. Dalam konteks ini, ayat ini ditujukan bagi mereka yang beribadah terhadap berhala. Imam Zamakhsyari manyatakan bahwa ayat ini menyatakan isytihza’ (mengolok-olok) bagi kaum kafir yang menyembah berhala. Gampangnya, ayat tersebut dapat diungkapkan dengan bahasa, “Mengapa kamu menyembah berhala, padahal berhala itu juga makhluk yang sama sepertimu?” Abu Ja’far berpendapat—sebagaimana dikutip Ibnu Jarir al-Thabari—ayat ini berbicara mengenai kepercayaan kaum yang beribadah kepada berhala, padahal berhala itu tidak memberi manfaat dan mudharat sekalipun. Jika engkau (penyembah berhala) masih meyakini bahwa berhala tersebut memberi manfaat dan mudharat, maka berdoalah kepadanya, jika doa kalian tidak dikabulkan, maka yakinilah bahwa berhala tersebut tidak mampu melakukan apapun.
Ditarik kepada cakupan yang lebih sempit, doa kepada Allah mencakup tiga makna. Pertama, ungkapan pengesaan dan pujian terhadap Allah swt, sebagaimana dalam lafaz “Rabbana laka al-hamdu”. Begitu juga dengan kalimat-kalimat tahlil, tahmid, tamjid, takbir, merupakan doa kepada Allah swt, karena pada dasarnya kalimat-kalimat tersebut diucapkan dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah swt. Kedua, ia berarti ungkapan permohonan ampun, rahmat, dan segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana dalam lafaz “Rabbana igfir lana”. Dan ketiga, sebagai permohonan bagian atau nasib di dunia, seperti digambarkan kalimat “Rabbi urzuqni malan wa waladan.”
Dari beberapa definisi yang disampaikan di atas, penulis kembali mengemukakan definisi yang menurut pandangan penulis cukup mewakili semua definisi di atas. Definisi tersebut berasal dari Ibnu Taimiah. Beliau menyatakan bahwa doa itu mempunyai dua makna; ibadah dan permintaan. Kedua hal tersebut menurut hemat penulis merupakan inti dari makna definitif doa. Istighatsah merupakan permintaan dan puji-pujian kepada Allah merupakan ibadah. Singkatnya, kedua hal ini merangkum semua cakupan makna doa yang disampaikan di atas.
Tidak jarang, term doa digandeng dengan term zikir. Pada aplikasinya sehari-hari, doa juga sangat dekat dengan zikir. Dan doa pun tidak mungkin dilakukan melainkan dalam keadaan zikir (ingat) kepada Allah swt. Setiap selepas shalat, wiridan berupa zikir dan doa berjamaah pun bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Jadi, seolah-olah zikir dan doa merupakan hal yang identik satu sama lainnya.
Al-Fairuz Abadi memberikan banyak makna terhadap zikir. Zikir adalah menjaga sesuatu, sesuatu aktifitas yang berlangsung di lidah, pemuliaan, pengagungan, shalat kepada Allah, dan doa. Seirama dengan Al-Fairuz Abadi, Ibnu Manzhur juga mendefinisikan zikir sebagai menjaga sesuatu dan aktifitas yang berlangsung di lidah. Berikutnya, beliu juga menyatakan bahwa zikir ada shalat, doa, dan pengagungan kepada Allah swt. Menurut Ibnu Abbas, zikir adalah shalat, zikir adalah baca Al-Qur’an, zikir adalah doa, zikir adalah tasbih, zikir adalah syukur, dan zikir adalah taat. Dan Imam as-Shan’ani dalam menjelaskan doa juga menyebutkan bahwa doa adalah zikir. Ternyata memang, salah satu makna zikir adalah doa, jadi tidak salah jika doa diidentikkan dengan zikir.
C. Tinjauan Qur’an dan Sunnah
Al-Qur’an telah berbicara banyak mengenai doa, baik doa dalam artian ibadah, maupun doa dalam artian permintaan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat yang berkenaan dengan doa berikut analisisnya.
Sebagaimana telah disinggung sedikit sebelumnya, salah satu arti doa adalah ibadah, dan salah satu ayat yang menjelaskan makna doa dalam artian ibadah adalah surat al-A’raf 194:
إن الذين تدعون من دون الله عباد أمثالكم فادعوهم فليستجيبوا لكم إن كنتم صادقين
Artinya: Sesungguhnya mereka (berhala) yang kamu sembah selain Allah adalah makhluk (yang lemah) yang serupa denganmu. Maka beribadahlah kamu kepada mereka lalu minta perkenankanlah kepada mereka jika kamu orang yang benar!
Pada Al-Qur’an terjemahan yang selama ini beredar, kata فادعوهم diterjemahkan dengan kata “maka berdoalah kamu”. Namun, setelah memeriksa maksud dari kata tersebut, penulis berinisiatif dan memberanikan diri untuk menterjemahkannya menjadi “maka beribadahlah kamu.” Inisiatif ini didasari oleh beragam penafsiran para ulama yang cenderung menafsirkan ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah atau penyembahan selain kepada Allah.
Turjuman Al-Qur’an, Ibnu Abbas, berpendapat, “Jika kalian meyakini bahwa berhala tersebut adalah Tuhan, maka sembahlah ia! Setelah itu, perhatikanlah, apakah mereka memberimu pahala atas ibadahmu dan ganjaran atas keburukanmu?” Imam Naisaburi juga menyatakan bahwa ayat ini merupakan ta’jiz bagi kaum yang menyembah berhala. “Bagaimana mungkin kalian menyembah benda mati?” ungkapnya. Aspek ta’jiz tersebut sangat jelas pada ayat ini, sebab jika dihadapkan kepada orang yang berakal sehat, secara pasti mereka menyadari bahwa berhala-berhala tersebut sangat tidak pantas untuk disembah sekaligus menjadi tujuan seorang hamba untuk beribadah. Lantas, mengapa mereka tetap menyembahnya? Bukankah ini suatu kebodohan? Bahkan, berhala-berhala tersebut lebih jelek dan lebih lemah dibanding penyembahnya, sebagaimana yang dijelaskan ayat berikutnya.
Berikutnya, hal yang berkenaan dengan doa juga dapat dilihat dari surat Al-Baqarah ayat 186:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Artinya: Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.
Apabila seorang hamba menanyakan tentang Allah kepada Rasulullah, menurut Ibnu Abbas, maka jawablah bahwa Aku (Allah) dekat untuk selalu bisa manjawab doanya. Maka dari itu, hendaklah mereka ta’at kepada-Ku dan Rasul-Ku supaya mereka ditunjuki dan sekaligus dijawab doanya.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim dan Tafsir Al-Thabari, diriwayatkan beragam asbab al-nuzul ayat ini. Tapi, pada dasarnya, perbedaan itu berkaitan dengan pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah mengenai keberadaan Allah terhadap mereka pada satu sisi, dan mengenai kapan mestinya mereka berdoa pada sisi lain. Mengenai waktu ini, ia merupakan respon sahabat mengenai surat Ghafir ayat 60. Pada ayat itu dijelaskan perintah untuk berdoa kepada Allah, lalu datanglah pertanyaan dari sahabat, “Kapan?” maka, turunlah ayat ini.
Ayat di atas juga menjelaskan mengenai salah satu adab berdoa. Salah satu asbab al-nuzul ayat ini menceritakan sahabat yang mengucapkan doa dengan berteriak, sehingga Rasulullah bersabda:
فإنَّكم لا تدعون أصمّ ولا غائبًا، إنما تدعون سميعًا بصيرًا، إن الذي تدعون أقربُ إلى أحدكم من عُنُق راحلته
Artinya: Sesungguhnya yang kalian seru bukanlah tuli dan juga bukan ghaib, sesungguhnya yang kamu seru Maha Mendengar dan Maha Melihat, sesungguhnya yang kamu seru lebih dekat kepada salah seorang darimu daripada urat lehernya sendiri.
Perhatikan sabda Rasulullah saw dari Samarah bin Jundab berikut ini:
أحب الكلام إلي الله أربع لا يضرك بأيهن بدئت: سبحان الله والحمد لله و لا إله إلا الله والله أكبر. أخرجه مسلم
Artinya: Kalimat yang paling dicintai Allah ada empat macam, yang dari mana engkau mulai, tidak bermudharat bagimu: Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar. (HR. Muslim)
Keempat kalimat di atas sangat dicintai Allah karena semuanya mengandung nilai tanzih terhadap sifat-Nya. kalimat tersebut menyampaikan keesaan Allah swt, kebersihan, dan kesucian-Nya.
Hadis ini berisikan kalimat-kalimat yang lazim dipakaikan ketika doa dan zikir. Memang, dengan menggunakan kalimat ini, berarti hamba telah memuji Tuhannya. Seperti halnya Al-Fatihah, yang sebagiam pertama berisikan pujian terhadap Allah swt, dan sebagian terakhir berisikan doa. Jadi, dikala berdoa, dianjurkan menggunakan kalimat puji-pujian terhadap Allah, baru setelah itu menyampaikan permintaan kepada-Nya.

D. Lafaz doa dari Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Sa’id bin Ali bin Wahab al-Qahthani telah mengumpulkan lafaz-lafaz doa yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau berhasil mengumpulkan 122 contoh lafaz doa dan 43 di antaranya berasal dari Al-Qur’an, seperti:
1. ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين (الأعراف : 23(
2. رب إني أعوذ بك أن أسألك ما ليس لي به علم وإلا تغفر لي وترحمني أكن من الخاسرين ) هود: 47(
3. رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ) نوح : 28(
4. ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم ) البقرة :127 ، 128(
5. رب اجعلني مقيم الصلاة ومن ذريتي ربنا وتقبل دعاء ) إبراهيم : 40(
6. اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل ، والجبن والهرم والبخل ، وأعوذ بك من عذاب القبر ، ومن فتنة المحيا والممات (البخاري 7 / 59 ، ومسلم 4 / 2079)
7. اللهم أصلح لي ديني الذي هو عصمة أمري ، وأصلح لي دنياي التي فيها معاشي ، وأصلح لي آخرتي التي فيها معادي ، واجعل الحياة زيادة لي في كل خير ، واجعل الموت راحة لي من كل شر (أخرجه مسلم 4 / 2087)
8. اللهم إني أسألك الهدى ، والتقى ، والعفاف ، والغنى (أخرجه مسلم 4 / 2087)
9. اللهم آتنا في الدنيا حسنة ، وفي الآخرة حسنة ، وقنا عذاب النار (البخاري 7 / 163 ، ومسلم 4 / 2070)
10. اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار وعذاب النار ، وفتنة القبر ، وعذاب القبر ، وشر فتنة الغنى ، وشر فتنة الفقر ، اللهم إني أعوذ بك من شر فتنة المسيح الدجال ، اللهم اغسل قلبي بماء الثلج والبرد ، ونق قلبي من الخطايا كما نقيت الثوب الأبيض من الدنس ، وباعد بيني وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب . اللهم إني أعوذ بك من الكسل والمأثم والمغرم (البخاري 7 / 161 ، ومسلم 4 / 2078)
Lafaz-lafaz di atas hanyalah sebagian kecil dari lafaz doa yang ada dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah, dan sangatlah baik untuk menggunakan lafaz-lafaz tersebut dalam doa sehari-hari.
E. Hal-hal lain mengenai doa
Allah sudah pasti akan menjawab doa manusia. Jika seseorang berdoa, paling tidak dia akan mendapatkan 3 macam perlakuan; dikabulkan waktu itu juga, ditunda pengkabulan doanya, atau diganti dengan hal lain yang lebih baik untuk pendoa. Hal ini sebagaimana yang diinformasikan sabda Rasulullah:
إنه لا يضيع الدعاء بل لا بد للداعي من إحدي الثلاث: إما ان يجعل له دعوته وإما أن يدخرها له في الأخرة وإما ان يصرف عنه من السوء مثلها (أخرجه أحمد)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan doa salah seorang di antara kamu, melainkan mestilah bagi orang yang berdoa salah satu dari 3 perkara: mengabulkan Allah doanya, atau menundanya hingga di akhirat, atau menggantinya dengan yang lainnya. (HR. Ahmad)
Untuk itu, perlulah beberapa kiat yang mesti dijalankan ketika berdoa, dengan orientasi melakukan doa terbaik dan Allah mengabulkan doa tersebut. Hal ini bisa berupa adab dalam berdoa. Tidak dipungkiri, ketika menghadap manusia dalam rangka meminta pertolongan, seseorang terikat suatu adab sopan-santun. Apalagi ketika berhadapan dengan Allah, tentunya di sana juga terdapat kode etik yang harus diperhatikan.
Berikut ini disampaikan beberapa adab dalam berdoa yang dikutip dari kitab ad-Du’a wa Yalihi al-‘Ilaju bi Ruqyi min Kitab wa Sunnah:
1. Berdoa dengan rasa ikhlas
2. Memulai dan menutup doa dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah
3. Yakin dengan apa yang didoakan dan yakin bahwa doa akan dikabulkan
4. Perlahan-lahan dan tidak terburu-buru
5. Menghadirkan hati dalam doa
6. Berdoa dalam keadaan lapang maupun sempit
7. Tidak berdoa melainkan hanya kepada Allah
8. Memelankan suara antara terdengar dan tidak
9. Mengingat dosa dan istighfar atasnya dan mengingat nikmat dan mensyukurinya
10. Tidak dituntut bersajak dalam doa
11. Tunduk, khusu’, harap, dan takut
12. Menolak kezhaliman dan bertaubat
13. Menghadap kiblat
14. Mengangkat tangan
15. Berwudhu’ sebelum berdoa
16. Memulai doa untuk dirinya sendiri sebelum mendoakan orang lain
17. Bertawassul dengan Asma Allah, atau amalan shaleh, atau doa seseorang yang shaleh
18. Menggunakan pakian yang halal, makanan dan minuman yang halal juga
19. Tidak mendoakan kesalahan atau pemutusan sillaturrahim
20. Menyuru kepada ma’ruf dan menghalangi kemungkaran
21. Menghindari kazhaliman
Di samping itu, juga ada beberapa waktu yang dinilai lebih jika berdoa di dalamnya:
1. Malam lailah al-qadr
2. Pada penghujung akhir malam
3. Selepas shalat fardhu
4. Antara azan dan iqamah
5. Dikala azan
6. Disaat hujan turun
7. Di majlis zikir muslimin
8. Doa di bulan Ramadhan
9. Doa di hari Arafah
10. Doa seseorang terhadap saudaranya di dalam hati
11. Selepas meninggalnya seseorang
12. Jika tidur dalam keadaan suci, dan bangun lalu berdoa
13. Sewaktu sujud
14. Ketika minum air zamzam
15. Berdoa sesaat di hari Jumat
16. Dikala bala tentara muslim berkumpul untuk perang.

F. Kesimpulan
Doa merupakan hal yang penting dalam hidup. Nurani manusia mengakui adanya suatu kekuatan besar yang menguasai seluruh jagad ini—Tuhan. Orang yang mengakui adanya Tuhan akan selalu butuh kepada-Nya. Beragam cara menunjukkan kebutuhan manusiawi kepada Tuhan, salah satunya doa.
Doa berarti permintaan, namun di sisi lain ia juga berarti ibadah. Dengan doa, diharapkan seorang hamba akan lebih dekat dengan Allah, sehingga mendapatkan rahmat yang banyak dari-Nya. Tidak jarang, doa digandeng dengan zikir, karena keduanya memang identik satu sama lain.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan doa, mulai dari anjuran, cara, dan lafaz-lafaznya, begitu juga dengan sunnah. Dengan Al-Qur’an dan Sunnah, didapatkan informasi mengenai cara-cara dan waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdoa.