Kamis, 20 November 2008

KESALAHAN KAUM GEREJA

Ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat primer dalam kehidupan. Kehidupan yang ideal tidak akan terlepas dari sains dan teknologi. “Masyarakat yang ideal,” kata August Comte, “adalah masyarakat pada peradaban tahap positif, yaitu yang telah dapat memanfatkan dan menerapkan pengetahuan ilmiah untuk menguasai lingkungan alam dan mengembangkan ketertiban sosial sehingga membawa kepada masa depan yang cerah.” Tak berbeda dengan Comte, sesuai dengan aliran positivisme mereka, Herbert Spencer juga memiliki pendapat yang sama, hanya saja dia mempunyai istilah yang berbeda. Menurutnya, masyarakat ideal adalah yang produktif dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebut masyarakat industri (industrial society).
Sebagai contoh nyata, sebagaimana yang disampaikan oleh Harun Nasution mengenai pembagian fase-fase sejarah Islam, pada fase kemunduran (1700—1800 M), kekuasaan militer dan politik umat Islam menurun. Putusnya hubungan monopoli dagang antara Dunia Barat dan Timur menjatuhkan perdagangan dan ekonomi Islam. Hal ini juga berimbas kepada dunia Ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan saat itu mengalami stagnasi dengan menjamurnya tarikat yang penuh khurafat dan superstisi dan sifat fatalistis. Sementara itu, Eropa dan Dunia Barat lainnya semakin kaya dan maju. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, kian lama bertambah mendalam. Hingga akhirnya kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting, menyadarkan umat Islam akan ketertinggalan mereka. Karena ketertinggalan tersebut Islam mendapatkan suatu ancaman.
Dalam buku yang berjudul “EINSTEIN MENCARI TUHAN”, ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Semua orang tahu bahwa Einstein adalah seorang yang paling jenius pada abad XX. Albert Einstein adalah pemikir sejati yang sangat kreatif, yang namanya selalu dikaitkan dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya dalam bidang fisika, matematika, astronomi, dan astrofisika dengan teori efek photo listrik, kesetaraan energi dan massa, dan relativitas yang sangat rumit untuk difahami meski oleh ahli fisika sekalipun, telah banyak orang yang tahu. Namun tulisan ini tidak akan difokuskan lebih jauh pada hal tersebut. Ada beberapa bagian kecil dari buku tersebut yang cukup menarik untuk diperhatikan, beberapa fakta mengenai teori para ilmuan, gereja, dan Al-Kitab.
Fakta pertama, pada abad XVII, seorang ilmuan astronomi, Galileo Galilei, menemukan teori yang sangat menggemparkan kaum gereja. Mengapa tidak? Teori astronomis Al-Kitab mengenai bumi dan matahari yang menyatakan bahwa bumi itu datar dan matahari dan benda-benda langit lainnya berputar mengelilingi bumi ternyata bertolak belakang dengan penemuan Galileo Galilei. Dengan bantuan teropong bintang buatan ahli optik Belanda, Galileo Galilei menemukan bahwa ternyata bumi adalah bulat dan bumi serta planet-planet lainnya berputar mengelilingi matahari. Teori ini lebih lanjut disebut dengan teori heliocentric. Teori heliocentric ini didukung oleh ahli astronomi asal Polandia, Nicolas Copernicus. Penentangan mereka terhadap teori Al-Kitab berakhir tragis. Keduanya dihukum mati oleh kaum gereja. Hingga akhirnya empat abad kemudian gereja baru mengakui kesalahannya tersebut. Dari sini, terlihat jelas bahwa gereja telah dengan sengaja menghambat dan membunuh pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Kedua, para ilmuan Barat menyadari bahwa sains dan teknologi harus dipakai sebagai dasar untuk memahami Al-Kitab, sehingga apabila ada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan logika berdasarkan kemajuan sains dan teknologi, mereka akan meragukan kebenaran ayat tersebut. Sebagai contoh atas masalah tersebut adalah salah satu ayat dalam Al-Kitab yang berbunyi : ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudra raya, dan ruh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kitab Injil. Kejadian 1: 1-4). Timbul suatu pertanyaan dari para ilmuan astronomi, “Bagaimana ayat ini bisa menjawab teori kosmologi terbaru, big bang theory ?”
Pada tahun 1929, seorang fisikawan yang ahli astronomi, Edwin Hubble, mengemukakan teori bahwa langit terus berkembang atau berekspansi. Teori ini mendukung teori relativitas Einstein 13 tahun sebelumnya. Lebih detil lagi, Gamow dan Alpher menyatakan bahwa langit berekspansi karena adanya dentuman besar (big bang theory) yang merupakan awal mula terbentuknya semesta. Menurut Gamow dan Alpher, dentuman besar tersebut terjadi sekitar 10—20 triliun tahun yang lalu dan akibatnya masih terasa sampai sekarang berupa langit yang terus berekspansi.
Teori ini menimbulkan kegelisahan kaum gereja, sehingga untuk “memperbaiki citra” Kitab Injil agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan kosmologi, maka para pemuka Katolik membawa permasalah tersebut ke pertemuan ilmiah yang diadakan di Pontificial Academy of Science pada tahun 1951. Hal ini menimbulkan kegelian, apakah sebuah Al-Kitab harus disidangkan secara paripurna untuk membahas relevansinya terhadap kehidupan dan kemudian diamandemen dan diamandemen lagi layaknya UUD 1945 ? Semua orang tentu setuju bahwa sebuah kitab yang menjadi pedoman bagi agama seharusnya tidak begitu.
Ketiga, orang sekelas Einstein dibuat bingung oleh ayat-ayat dalam Al-Kitab. Einstein, sebagaimana dibahas sebelumnya, adalah seorang yang sangat ahli dalam bidang fisika, matematika, astronomi, dan astrofisika. Dialah yang dengan metode fisika kuantum mampu menembus daya fikir manusia abad XX, jauh melampaui kemampuan daya fikir para ahli di masanya, dan menemukan teori relativitas yang sangat spektakuler dan sulit difahami meskipun oleh ahli fisika sekalipun. Butuh 54 tahun untuk membuktikan teori ini. Tidak salah beribu pujian dialamatkan kepadanya. Namun Einstein yang juga disibukkan dengan mencari kebenaran agama dengan daya fikir yang sangat istimewa merasa kebingungan mencerna ayat-ayat yang ada dalam Al-Kitab. Dia tidak puas dengan agama orang tuanya, Yahudi, dan juga yang diterimanya di Volkschule, Nasrani. Sebagai contoh adalah beberapa ayat Al-Kitab yang bercorak antropomorphisme (mempersonalkan Tuhan). Coba lihat ayat berikut ini:
“Adukanlah istrimu, adukanlah sebab dia bukan istri-Ku, dan Aku ini bukanlah suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya dari mukanya dan zinanya dari antara buah dadanya, supaya jangan aku menanggalkan pakaiannya sampai dia telanjang...”(Kitab Injil. Hosea, 2: 1-2)
“Lalu berkata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebut Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul dengan melawan Allah dan manusia, dan engkau menang. (Kitab Injil. Yakub, 32:28

Einstein merasa malu bila menyimak ayat-ayat injil seperti tersebut di atas, bagaimana mungkin bisa Tuhan dipameri buah dada dan tidak mengakui istrinya, Tuhan kalah bergumul melawan manusia yang bernama Yakub. Begitu rendah Tuhan menurut Injil. Begitu juga dengan ayat-ayat lain yang lebih kurang menggambarkan Tuhan layaknya manusia dan Taurat yang menyatakan Tuhan mempunyai anak yang bernama Izr dan Uzair. Ia tidak menerima faham antropomorphisme yang mempersonalkan Tuhan. Teori Ilmiah Einstein yang bertekad mencari Tuhan secara ilmiah sebagai fungsi matematika menolaknya. Relativitas Einstein (E = m c2) menjadi embrio pencarian Tuhan, dan jika diterapkan dengan rumus energi grafitasi (- kGM2 / R) menghasilkan bahwa energi jagat raya sangatlah besar tak terhingga dan tak terbayangkan besarnya. Lantas dari manakah energi yang “super power” ini ? Meskipun tidak menemui Tuhan sebagai fungsi matematika dan mengakui Tuhan layaknya seorang muslim, Einstein menolak penggambaran Tuhan sebagaimana dalam Injil dan Taurat. Ia meyakini bahwa energi “super power” tersebut diciptakan oleh Zat yang “super power”, bukan seperti yang dikemukakan oleh Taurat dan Injil.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Al-Kitab memuat beberapa teori yang bertentangan dengan penemuan ilmiah kontemporer yang sudah dapat diterima secara mutlak seperti heliocentric theory. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Kitab tidak sepenuhnya lagi berasal dari zat yang “super power”, Tuhan. Hal ini terbukti dengan rahasia alam yang diciptakan oleh Tuhan ternyata berbeda dengan apa yang tertera dalam Al-Kitab. Kalau seandainya Al-Kitab itu secara murni berasal dari Tuhan, sangat tidak mungkin ayat-ayat di dalamnya bertentangan dengan rahasia-rahasia alam. Hal ini ternjadi karena adanya campur tangan manusia dalam mengubah Al-Kitab. Pengubahan terhadap Kitab Samawi oleh manusia adalah suatu kesalahan besar berimbas pada dampak yang tidak diinginkan. Belajar dari fakta tersebut, sebuah Kitab yang seharusnya dihormati, dimuliakan dan menjadi pedoman hidup justru ditentang oleh para ahli karena ketidaksesuaiannya dengan penemuan-penemuan kontemporer, karena justru seharusnya sebuah kitab suci mendukung kemajuan ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar