Selasa, 13 Januari 2009

BAHASA AGAMA

Bahasa agama banyak menggunakan ungkapan simbolik dan metaforis. Maka, jika hanya difahami secara litaral saja, maka kesalahpahaman dalam menangkap pesan dasarnya akan mudah terjadi. Komaruddin Hidayat dalam tulisannya “Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik” memberikan tiga cakupan dari objek kajian bahasa agama tersebut. Pertama, bahasa agama sebagai ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran yang bersifat metafisis, terutama tentang Tuhan. Yang menjadi permasalahan adalah mengenai kapabilitas pikiran manusia yang terikat pengalaman empiris-historis mengenali Tuhan yang tranhistoris dan immateri. Kedua, kitab suci (al-Quran) yang pada hakikatnya merupakan bahasa Tuhan yang metafisis dan terwujud menjadi bahasa manusia sebagai makhluk historis yang terikat kebudayaan. Dan ketiga, bahasa ritual. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebatas percakapan semata, melainkan melibatkan geture dan ekspresi tubuh.
Merumuskan definisi bahasa agama bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, digunakanlah dua pendekatan yang menonjol dalam kajian ini, theo-oriented dan antro-oriented. Pada pendekatan pertama, bahasa agama adalah kalam Tuhan yang terabadikan dalam kitab suci, sehingga pengertian paling mendasar dari bahasa agama dengan pendekatan ini adalah bahasa kitab suci. Melalui antro-oriented, bahasa agama merupakan perilaku keagamaan dari seorang penganut agama. Pada pendekatan ini, lebih dipentingkan wujud wacana beragama atau wujud hidupnya agama dalam masyarakat sosial. Theo-oriented pada akhirnya juga mengarah kepada wacana keagamaan dengan penafsiran-penafsiran kitab suci yang lahir berikutnya, sehingga tampaklah batas yang samar antara kedua pendekatan tersebut. Sebagai jalan tengah, dibuatlah beberapa karakter dari bahasa agama: pertama, objek bahasa agama adalah metafisis, kedua, sebagai implikasinya materi pokok narasi keagamaan adalah kitab suci, dan ketiga, bahasa agama mencakup ekspresi keagamaan pemeluknya baik indivudual maupun sosial.
Akan tetapi, pada dasarnya bahasa agama merupakan bahasa manusia secara historis-antropologis, dan bahasa Tuhan yang transhistoris, secara teologis. Pemahaman ini berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan merupakan objek yang abstrak, yang sama sekali keluar dari kemampuan pikiran manusia. Namun, untuk menggambarkan ketuhanan, atau menafsirkan bahasa kitab suci yang mengungkapkan ketuhanan, tidak dapat tidak menggunkakan ungkapan yang familiar dengan indra manusia.
Secara sederhana, terdapat dua kategori bahasa agama: preskriptif dan deskriptif. Pada kategori preskriptif, bahasa agama berwujud sebagai ungkapan persuasif yang tertuang dalam bentuk teks yang berisikan perintah dan larangan. Namun, sebagai petunjuk, sebuah kitab suci juga menungkapkan sesuatu dengan karakter deskriptif yang lebih bersifat demokratis dengan melibatkan manusia sebagai makhluk historis untuk mendiskusikan persoalan. Hal ini karena suatu petunjuk tersebut tidaklah mesti dengan perintah dan larangan semata. Oleh karenanya, pesan Tuhan dalam kitab suci kerap kali dituangkan dalam bentuk deskriptif dan meteforis, simbolik, dan ikonik. Bahasa yang metaforis memiliki potensi untuk pemahaman baru yang menjadikan kitab suci akan selalu eksis dalam setiap kondisi dan waktu. Namun, negatifnya juga dapat menimbulkan spekulasi dan relativisme pemahaman. Namun, gaya bahasa—apakah metaforis, simbolis, maupun ikonik—bukanlah aspek fundamental dalam kitab suci (al-Quran). Aspek yang palin penting padanya adalah ketegasan dan kejelasan maknanya, dan bunga-bunga pengungkapan tersebut hanyalah sebagian aspek saja.
Bahasa agama mendapatkan tantangan dari corak bahasa iptek. Bahasa iptek lebih bersifat deskriptif dan demokratis dan akibatnya dapat dirasaka secara langsung. Ia selalu menuntut presisi dan siap diuji kebenaran teorinya. Berbeda dengan agama yang masih berupa janji yang pemenuhannya setelah kematian. Dengan demikian, secara empiris proposisi dan teori ilmu pengetahuan lebih mudah diterima. pertumbuhan ilmu pengetahuan selalu mengasumsikan sikap rasional dan pendekatan empirikal. Tetapi akan mengakibatkan kekeringan pandangan hidup keagamaan karena pengalaman keberagamaan yang terdalam, yaitu pengelaman kehadiran Tuhan pada diri seseorang terwadahi dalam bahasa mistis yang di dalamnya penuh misteri dan metafor.
Bahasa primer sebuah agama adalah bahasa lisan. Dibuktikan dengan penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad dan juga nabi-nabi sebelumnya adalah dalam bentuk lisan, bukan tulisan, sehingga pesan agama tersebut lebih terasa dan melekat di hati para rasul dan juga pengikutnya. Para linguistik ternama secara tidak langsung juga mendukung hal ini. Mereka menyatakan bahwa ujuaran atau pembicaraan lebih primer dari tulisan. Bahasa lisan memiliki kelebihan tersendiri. Pada suatu bahasa komunikasi (oral), terkumpullah beberapa aspek seperti psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi, dan sebagainya. Ia memiliki kekuatan emosional untuk memlihara solidaritas antar sesama dan memelihara atmosfir keberagamaan yang hangat. Makanya, salah satu ciri bahasa agama terletak pada retorikanya yang mudah membangkitkan emosi.
Al-Quran mempunyai akuransi pembacaan dan penghafalan dan kuatnya mata rantai transmisi dari generasi Rasulullah hingga generasi selanjutnya, yang hal ini tidak dimiliki oleh kitab lainnya. Sebagai implikasinya, penekanannya akan lebih kuat pada hati dan kesadaran moral. Namun pada perjalanannya, akhirnya ia menjelma menjadi bahasa tulisan.
Bahasa lisan lebih efektif daripada bahasa tulisan, karena dengan bahasa tulisan aspek-aspek psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi dan sebagainya tersebut lenyap. Hal ini juga akan mengakibatkan mudahnya terjadi penyelewengan maknanya dari makna aslinya. Implikasi konseptual lainnya adalah sebuah kitab suci dipandang sebagai sebuha bentuk fisikal dan visual yang tidak berbeda dengan buku-buku lainnya yang dicetak dan disusun di rak buku. Keberadaan dan kesuciannya tergantung kepada manusia yang meresponnya. Di samping itu, juga terjadi pergeseran relasi antara pembaca dan kitab suci. Pada awalnya, kitab suci diwahyukan kepada Nabi yang mana beliau adalah objek dan Tuhan sebagai objeknya. Namun berikutnya, di saat kitab suci telah menjadi bahasa tulisan/teks, ia berubah menjadi objek dan manusia yang meresponnya menjadi subjek. Hal inilah yang menjadikan kedudukan kitab suci tergantung kepada manusia yang meresponnya. Berarti, suatu kitab suci dianggap berharga dan memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu umat, namun bagi umat lain mungkin saja itu hanyalah kumpulan dongeng belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar