Selasa, 13 Januari 2009

SYAFI’IYYAH dan MUTAKALLIM

Metode ushul fiqh terbagi kepada dua corak, mutakallim dan fuqaha. Mutakallim sering disejajarkan dengan Syafi’i. Aliran ini menggunakan pendekatan deduktif dengan memformulasikan teori umum dan terlepas dari keterikatan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Karakter dari aliran ini adalah manthiqi (logika), nazhari (teoritis), dan dikaitkan dengan fakta. Sedang aliran fuqaha (Hanafiah) membangun hukum dari hal-hal furu’ . Mereka meneliti hal-hal cabang (furu’) tersebut dan membangun argumentasi-argumentasi untuk itu. Berikutnya, aliran hanafiah ini mendasarkan permasalahan yang mereka dapati dengan kaidah-kaidah yang telah didapati oleh imam mereka, sehingga mereka terikat dengan kaidah tersebut.
Namun, di dalam buku REFORMASI BERMAZHAB terdapat kritikan terhadap pengelompokan sebagaimana di atas. Yang menjadi objek kritik tersebut adalah pengelompokan Syafi’i dengan mutakallim. Karena, Syafi’i adalah sosok yang tidak sepaham dengan mutakallim yang beraliran mu’tazilah. Dia dengan jelas menentang pemikiran mereka. Al-Risalah itu sendiri merupakan salah satu misinya untuk menentang mereka. Jadi, mengapa Syafi’i justru disamakan dengan kelommpok yang ditentangnya? Begitulah gambaran singkat yang dikutip dari buku tersebut.
Mengenai permasalahan ini, sangatlah perlu untuk mengkaji bagaimanakah sejarah ushul fiqh Imam Syafi’i itu sendiri. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Ia mencoba mengambil jalan tengah dari dua kecenderungan yang dilatarbelakangi oleh faktor tempat dan kuantitas hadits yang didapat para ulama yang berkembang pada zamannya, ahl al-ra’yi dan ahl al-hadits. Ia tidak hanya terpaku kepada hadits, namun juga memberi andil kepada akal dalam penyimpulan suatu hukum. Ia memformulasikan ushul fiqh dari diskusi-diskusi ilmiah para pendahulunya semenjak masa sahabat. Sumber hukum menurutnya adalah secara berurutan dari al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Formulasi ushul fiqh yang dirintis oleh Syafi’i, berkembang pesat dan diikuti banyak umat Islam. Dalam perkembangannya, terdapat berbagai perbedaan pandangan dari ulama berikutnya. Ada yang memasukkan teori-teori yang tidak dipakai Syafi’i. Sebagian lain ada yang menyalahinya dalam pokok-pokok ushul fiqh dan mengikuti cabang-cabangnya.
Di antara yang menggunakan formulasi Syafi’i ini adalah ulama mutakallim. Sebagian besar mutakallim termasuk kepada aliran Syafi’iyyah ini. Hal ini dilatar belakangi kesamaan model kajian Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum dengan kajian mereka dalam ilmu kalam. Tampaknya, hal inilah yang mendorong ulama mengelompokkan aliran Syafi’iyyah dengan mutakallim dalam satu golongan.
Menimbang kritik dari buku REFORMASI BERMAZHAB tersebut, tampaknya memang tidak bijaksana untuk menggolongkan Syafi’iyyah kepada mutakallim. Karena sebenarnya mereka itu mempunyai objek pembahasan yang berbeda, hanya saja punya metode kajian yang sama. Dan dalam kajian ushul fiqh sendiri, mutakallim hanya mengikuti apa yang telah diformulasikan oleh Syafi’i. Jadi, lebih baik jika aliran tersebut cukup disebut sebagai aliran Syafi’i saja tanpa membawa nama mutakallim. Hal ini seandainya mereka tidak mengembangkan ushul fiqh Syafi’i sehingga memiliki perbedaan yang mencolok. Ketika perubahan yang mereka ciptakan akibat proses pengembangannya cukup besar, mengapa mereka tidak dikelompokkan menjadi otonom dan terpisah dari Syafi’i maupun fuqaha?

Referensi :
1. Reformasi Bermazhab karya Qadri Azizi
2. Ushul Fiqh karya Muhammad Azzahra
3. Ushul Fiqh Jilid 1 karangan Amir Syarifuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar