Selasa, 13 Januari 2009

TADWINUL QURAN

A. Pendahuluan
Pengumpulan al-Quran mempunyai dua pengertian, yaitu penghafalan dan penulisan. Pengertian ini didasari oleh kata jam`ahu (penghimpunannya) sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Qiyamah ayat 17: “Sesungguhnya di atas Kami-lah penghimpunannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”
Dalam artian penghafalan, Allah telah mengaruniakan kepada Muhammad lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Beliau merupakan sayyidul huffadz dan awwalu al-jumma’u. Muhammad sangat perhatian dan bersungguh-sungguh dalam menghafal al-Quran. Begitu besar keinginan beliau untuk menghafal al-Quran. Rasululluah juga memerintahkan para sahabat untuk menghafal al-Quran. Sikap antusias para sahabat juga sangat besar dalam menghafal al-Quran. Beliau menjadi contoh yang paling baik terhadap para sahabat dalam menghafalnya. Dari kitab Shahih Bukhari, dalam 3 hadits, dikemukakan ada 7 orang penghafal al-Quran: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaib bin Tsabit, Abu Darda’, dan Abu Zaid.
Sebagaimana yang disampaikan Bukhari, penyebutan tujuh huffadz bukanlah berarti pembatasan, karena sesungguhnya banyak sekali sahabat yang menghafal al-Quran. Namun itu berarti bahwa mereka itulah yang hafal di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya kepada Nabi Saw, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita sekarang.
Tentang pengumpulan dalam arti penulisan, adalah melalui tiga periode, yaitu periode Rasulullah, periode Abu Bakar al-Shiddiq, dan periode Utsman bin ‘Affan.

B. Pengumpulan al-Quran pada Masa Nabi
Begitu besar perhatian Nabi Muhammad untuk menghafal dan memelihara al-Quran. Beliau senantiasa menggerakkan lidahnya untuk mengucapkan dan melatih hafalannya hingga hafal di luar kepala. Selanjutnya beliau memerintahkan beberapa sahabat untuk menuliskan al-Quran, yaitu Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais. Mereka menulis al-Quran dengan menggunakan media lembaran kulit, daun, pelepah kurma, lempengan batu, pelana, dan potongan tulang belulang. Penulisan al-Quran timbul pada masa Nabi disebabkan karena tulisan dapat memperkuat hafalan.
Dalam berbagai hadits dikemukakan mengenai penyusunan surah dan ayat al-Quran, bahwasanya penyusunan tersebut berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Berbagai riwayat hadits membuktikan banyak surah yang urutannya disusun menurut petunjuk dari Rasulullah daripada yang menyatakan bahwa penyusunan tersebut berdasarkan ijtihad secara individu. Jumlah yang minor itu pun hanyalah berasal dari hadits yang sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya, serta isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas. Jadi pendapat yang dibenarkan dan yang diterima adalah yang menyatakan bahwa penyusunan surah dan ayat dalam al-Quran berasal dari petunjuk Rasulullah.

C. Pengumpulan al-Quran pada Masa Abu Bakar al-Shiddiq
Al-Quran seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Setelah wafatnya Rasulullah tampuk kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar. Ia dihadapkan dengan beberapa peristiwa yang berhubungan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Hal ini mambuat Abu Bakar harus mempersiapkan pasukan untuk memerangi kaum murtad tersebut pada peperangan Yamamah pada tahun dua belas hijriah. Pada peperangan tersebut, tujuh puluh huffadz dari kalangan sahabat gugur. Umar bin Khattab mengkhawatirkan hal ini, dan lebih jauh ia juga mengkhawatirkan seandainya di beberapa peperangan lain juga akan menyebabkan gugurnya banyak huffadz lainnya. Sehingga ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Namun Abu Bakar meragukan hal itu. Ia ragu untuk melakukan hal yang tidak dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Umar tetap membujuknya sehingga akhirnya Allah membukakan hatinya dan segera menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugasnya tersebut dengan sangat hati-hati. Ia mengumpulkan dari hafalan para huffadz dan tulisan para kuttab. Dalam pelaksanaannya, disyaratkan dua kesaksian, melalui hafalan dan tulisan dalam satu pendapat dan melalui dua orang menurut pendapat lainnya. Hasil usaha Zaid tersebut diselesaikan dalam masa satu tahun. Hasil jerih payah tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, berpindah tangan kepada Umar dan selanjutnya setelah ia wafat disimpan oleh Hafsah.

D. Pengumpulan al-Quran pada Masa Utsman
Setelah pembukuan al-Quran pada masa Abu Bakar telah selesai, ternyata pada masa Utsman terjadi perbedaan tentang cara membaca al-Quran. Keadaan tersebut disebabkan oleh samakin meluasnya kekuasaan Islam dan masyarakat tiap-tiap wilayah belajar kepada sahabat yang diutus ke wilayah tersebut. Perbedaan tersebut berkembang dan memuncak dan menjadi keadaan yang mencemaskan.
Dengan adanya keadaan tersebut, Utsman meminjam mushaf yang ada di tangan Hafshah untuk dikembalikan lagi. Beliau menyuruh Zaid bin Tsabit dan tiga orang Quraisy untuk menyalin mushaf tersebut dengan memberikan pengarahan, “Bila saudara menemukan perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan Bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan menurut bahasa mereka.” Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan yang semakin memuncak dan agar al-Quran hanya terhimpun pada satu bahasa.
Setelah penyalinan tersebut selesai, Khalifah Utsman mengirim salinan tersebut ke ibukota-ibukota propinsi dengan diiringi perintah untuk membakar salinan-salinan yang dapat mengacaukan mushaf standar tersebut.
Menurut Ibnu Hajar, mengenai proses penyalinan tersebut, panitia Zaid menyelesaikan tugasnya pada tahun 25 H, sedang menurut Balchere, panitia Zaid baru dibentik pada tahun 30 H. Dr. Shubhi As-Shalih menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat Ibnu Hajar karena didukung oleh dasar riwayat yang kuat.
Jumlah mushaf yang ditulis panitia Zaid menurut pendapat al-Zarqani ada enam. Satu mushaf untuk khalifah yang kemudian dikenal dengan sebutan “al-Mushaf al-Imam” , sementara lima mushaf lainnya dikirim ke daerah-daerah Islam disertai dengan seorang sahabat ahli qira’ah. Untuk keperluan pengajaran qira’ah, khalifah mengirim Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin al-Saib ke Makkah, al-Mughirah bin Syihab ke Syiria, Abu Abdurrahman al-Salami ke Kuffah, dan Amir bin Abdul Qais ke Basrah.

E. Penutup
Berbicara mengenai tadwin, tidak akan bisa terlepas dari aspek sejarah. Sebagaimana salah satu tujuan dari belajar sejarah, beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari sejarah kodifikasi. Terlihat antusiasisme yang sangat tinggi dari para sahabat dan Rasulullah sendiri untuk menghafal dan menjaga al-Quran. Begitu juga dengan ketelitian dan kehati-hatian yang besar dalam upaya pengumpulan al-Quran. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi kesalahan dalam penulisan dan penjagaan terhadap penjagaan otentisitas al-Quran.
Demikianlah makalah ini kami buat. Dengan penuh kesadaran diri, masih banyak kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Karenanya kritik dan saran yang konstruktif akan diterima dengan senang hati. Mudah-mudahan makalah ini menggugah kegelisahan intelektual pembaca demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lamu bi al-shawwabu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar