Minggu, 11 Januari 2009

URANG AWAK GADANG DI LADANG URANG

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka? Beberapa buku karyanya telah dibaca jutaan orang. Rela masuk penjara demi mempertahankan kebenaran yang dia sampaikan. Menyelesaikan penulisan Tafsir Azhar dalam penjara. Siapa pula yang tidak kenal Ahmad Syafi’i Ma’arif? Urang Sawahlunto yang sempat menjadi Profesor tamu di McGill University di Kanada dan Lowa University di Amerika Serikat. Urang awak yang menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiah periode 1998-2005.
Mereka itu adalah tokoh-tokoh Minangkabau yang “gadang di ladang urang”. Di samping itu ada beberapa tokoh intelektual lainnya yang sempat mengecap pendidikan luar negeri dan menjadi tenaga pengajar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia. Tampaknya ini merupakan hasil dari petatah-petitih Minangkabau: Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.
Berpijak kepada kata bijak tersebut, banyak pemuda Minangkabau yang di pergi “marantau ka nagari urang”. Mayoritas pemuda Minangkabau pergi merantau meninggalkan keluarga dan kampung halamannya dengan tujuan tertentu, dari usaha hingga studi. Betapa suatu nagari tidak lagi disibukkan oleh kegiatan generasi muda kecuali beberapa yang berumur sekolahan tingkat menengah. Setelah lulus dari SMA sederajat, mereka pergi merantau dengan bekal seadanya dan membawa harapan yang luar biasa.
Kecenderungan ini merupakan pendidikan yang luar biasa untuk pemuda Minangkabau. Dengan merantau mereka merasakan hidup yang sebenarnya. Mereka terlatih untuk menjadi terampil demi penghidupan yang layak. Perkembangan kemandirian mereka terlatih oleh hidup. Itulah tampaknya tujuan yang diinginkan pendahulu Minangkabau yang menyampaikan petuah seperti di atas.
Tidak jarang dari mereka yang menemukan nasibnya di rantau orang. Mereka mendapatkan kehidupan yang layak. Begitu juga dengan pelajar, mereka mendapatkan banyak ilmu yang sangat berguna untuk masa depan mereka. Dan akhirnya, tidak jarang yang bersinar dan menjadi tokoh ternama.
Lantas, mengapa mereka yang tidak merantau biasa-biasa saja? Mengapa mereka tidak ikut bersinar dan berhasil seperti mereka yang merantau? Apakah nagari awak tidak bisa mendidik kemandirian dan kecakapan hidup seperti di luar sana? Apakah nagari awak tidak bisa melahirkan tokoh-tokoh besar, sehingga harus ke luar dulu untuk itu?
Pertanyaan di atas perlu kita renungkan. Kita lihat ketertinggalan Sumatera Barat dibandingkan provinsi-provonsi lain. Salah satunya disebabkan kekurangan kualitas SDM. Mengapa tidak, mereka yang berkualitas malahan berada dan hidup senang di luar sana, sementara yang tetap di kampung halaman tidak dapat berbuat banyak demi kemajuan bersama.
Agaknya, salah satu penyebabnya berasal dari watak orang Minang yang patang kalah. Di tanah rantau, watak demikian merangsang perkembangan mental menjadi survivor sejati yang siap melawan derasnya arus hidup. Namun, di kampung halaman, watak tersebut terkadang berakibat kepada tindakan iri dan pembunuhan karakter. Tanpa disadari seseorang yang merasa akan dilampaui oleh saudaranya, melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kepada pembunuhan karakter. Perlakuan seperti ini bisa berbentuk cemoohan dari seseorang. Pada saat perkembangannya, lalu tiba-tiba orang lain datang dan mencemoohnya. Perlakuan ini diibaratkan seperti mamijak baniah. Sebuah benih yang harusnya berkembang, justru diinjak dan mati, sehingga tidak dapat lagi melanjutkan perkembangannya.
Perlu disadari bahwa pembunuhana karakter tersebut kerap kali terjadi di lingkungan masyarakat minangkabau. Pada ruang lingkup sekolahan, seperti dalam forum diskusi, seorang murid yang berpendapat cenderung mendapatkan tanggapan yang tidak baik dari temannya. Ia mendapatkan ejekan dan bahkan disoraki temannya dengan nada dengki dan menyudutkan. Di lingkungan keagamaan, para pemuka agama suatu nagari tidak memberikan kesempatan bagi pemuda yang mulai berkembang untuk mempraktekkan ilmu mereka di forum-forum ta’lim seperti ceramah atau khutbah Jumat. Hal ini memutuskan hubungan regenerasi keilmuan masyarakat. Akibatnya, saat seorang ulama suatu nagari meninggal, tidak ada lagi pemuda yang diharapkan bisa menjadi penggantinya. Dapat kita lihat suatu nagari yang tidak mempunyai orang yang mempu untuk khutbah Jumat dan penyelenggaraan jenazah. Begitu juga dari segi kehidupan lainnya.
Illustrasi di atas hanyalah sebuah contoh kecil. Pada kenyataannya, fenomena tersebut terjadi di seluruh lingkungan kehidupan dari kehidupan berkeluarga, hingga birokrasi ketatanegaraan.
Problem ini berpengaruh kepada lajunya perkembangan pembangunan Sumatera Barat. Rasa iri berkepanjangan dan pembunuhan karakter yang berketerusan menjadikan kualitas SDM Sumatera Barat stagnan. Akhirnya, tiada lagi yang bisa diharapkan menjadi panutan bagi masyarakat yang mampu menggerakkan roda pembangunan menuju kurva yang lebih tinggi. Sehingga, ranah Minangkabau akan tetap begini dan begini seterusnya tanpa merasakan aroma kemajuan. Bukankah ini tidak kita inginkan? Lantas akankah kondisi masyarakat seperti di atas kita biarkan?
Untuk itu, mari kita belajar untuk bersikap lebih dewasa. Kedewasaan akan menumbuhkan sikap sportif. Sportifitas akan melahirkan suasana kompetitif dalam segala bidang. Suasana kompetitif yang berkesinambungan akan terus dan terus meningkatkan kualitas mental dan moral manusia, sehingga lahirlah tokoh-tokoh besar dari kampung halaman kita sendiri, Minangkabau!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar