Sabtu, 14 Februari 2009

ANTARA AKAL DAN WAHYU

Apakah yang membuat manusia sanggup menjalani hidup mereka? Mengapa mereka bisa mengatasi masalah demi masalah yang dilalui? Kedua pertanyaan itu pasti ada jawabnya, yaitu karena mereka mempunyai kekuatan. Lantas, pertanyaan berikutnya, dari mana mereka mendapatkan kekuatan tersebut? Jawabannya dari akal dan agama.
Semenjak dahulu, akal dan agama memang dua hal yang memberi kekuatan besar kepada seseorang. Jika kita kembali menilik sejarah, beberapa orang rela disiksa karena mempertahankan keyakinan agamanya. Bilal bin Rabbah sebagai contohnya. Ia mempertahankan agamanya meskipun ditindih dengan batu panas di gurun yang tentunya juga sangat panas. Mengapa ia mau? Karena ia kuat? Mengapa ia kuat? Karena ia memiliki agama.
Di samping itu, sejarang telah mencatat ada orang yang rela mati karena mempertahankan hasil dari kerja keras akalnya. Sokrates umpamanya. Ia berhasil merumuskan suatu pengetahuan universal demi melawan kaum sophis yang mengangkatkan issue relativitas ke hadapan pemuda terpelajar . Ia dituduh merusak pemikiran masyarakat dan dihukum mati, dan ia menerima meskipun kesempatan untuk lari ada. Mengapa ia berani? Masih, karena ia kuat. Dan mengapa ia kuat? Karena ia mempunyai akal.
Tak dipungkiri lagi, akal dan agama hal yang mewarnai dunia. Namun, perjalanan keduanya tidak selalu berbarengan menemani manusia. Manusia, dalam memahami keduanya, telah melakukan perdebatan panjang menganai keduanya. Suatu saat, akal mendominasi dan agama kalah total. Dan jika agama menang dan akal ditinggalkan. Tapi, keduanya berposisi seimbang juga pernah ada.
Di dunia Islam, perdebatan ini terjadi di kalangan para teolog. Kaum Mu’tazilah memberi penghormatan tertinggi kepada akal. Dengan akal semata, menurut mereka, manusia bisa menentukan baik dan buruk sesuatu perkara. Namun, di lain pihak, paham Asy’ariyyah menolaknya. Mereka mengedepankan wahyu, sehingga hanya dengan wahyulah manusia mendapatkan berita mengenai hal yang baik dan buruk. Akal, dalam pandangan mereka, tidak mampu mencapai hal tersebut.
Di dunia barat, perdebatan seperti ini juga terjadi. Parminedes, Heraclitus, Zeno, dan para filosof kuno lainnya berpendapat bahwa kebenaran itu terletak pada akal manusia. Manusia merupakan tolok ukur baik dan benarnya sesuatu, sehingga tidak ada kebenaran yang universal, semuanya relatif. Pemahaman seperti ini menjadikan pemuda terpelajar waktu itu meragukan kebenaran agama yang universal, yang ada adalah kebenaran relatif. Namun, dihadapkan dengan hal itu, Socrates, Plato, dan Aristoteles mengkritik dan berhasil mematahkan argumen mereka. Mereka membuktikan kebenaran universal itu ada. Mereka berhasil mengangkat kembali derajat agama. Saat itu, agama dan akal berjalan berbarengan. Pada abad pertengahan, agama pun mulai mendominasi. Anselmus mengeluarkan faham “beriman dulu untuk mengerti”. Pada zaman itu, agama menang total, sehingga akal tidak lagi mendapatkan tempat. Gereja mendominasi kehidupan dunia, siapa yang menentangnya, akan mendapatkan hukuman hingga hukum mati. Hingga akhirnya tampillah Descartes yang melepaskan kungkungan agama. Ia berhasil mengangkat derajat akal. Hasilnya, tak ayal lagi, agama kembali direndahkan. Hingga datanglah Kant yang mampu mengangkatnya kembali, hingga keduanya berdampingan kembali.

Perdebatan Toelogis
Teologi merupakan suatu diskursus yang membahas tentang ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap-Nya. Cabang ilmu ini menggunakan media akal dan juga wahyu. Manusia, dengan akalnya, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan. Di samping itu, wahyu turun sebagai petunjuk dari Tuhan dalam rangka pencarian manusia tersebut. Namun, timbul suatu polemik; sejauh mana kemampuan akal mengetahui Tuhan? Mampukah akal mengetahui kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan? Bagaimanakah fungsi wahyu dalam hal ini?
Pada perdebatan teologis mengenai akal dan wahyu ini melibatkan berbagai aliran; Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah. Persoalan ini berikutnya bertitik tolak kepada empat persoalan; mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Keempat permasalahan tersebut diperdebatkan, yang manakah yang diketahui dengan akal, dan yang mana dengan informasi dari wahyu.
Mu’tazilah, yang memberikan penghargaan yang sangat besar kepada akal berpendapat bahwa semua permasalahan di atas dapat diketahui dengan akal. Akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan. Dengan segala perbuatan baik Tuhan kepada manusia, manusia juga mengetahui bahwa ia wajib berterima kasih kepada-Nya, manusia wajib beribadah kepada Tuhan. Akal manusia juga sangat mumpuni untuk mengetahui suatu perbuatan memiliki value baik atau buruk. Dengan begitu, akal sehat manusia sudah pasti mendorong, atau dengan kata lain ‘mewajibkan’ tuannya untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Di lain pihak, Asy’ariyyah tidak setuju dengan argumen yang disampaikan rivalnya, Mu’tazilah. Mereka berpendapat, memang akal mampu mengetahui Tuhan. Namun, akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban kepada Tuhan. Akal manusia tidak dapat mewajibkan tuannya untuk melakukan sesuatu. Akal manusia juga tidak dapat mengetahui bahwa yang berbuat baik mendapatkan pahala dan yang buruk mendapatkan dosa. Kewajiban-kewajiban tersebut didapati melalui informasi wahyu. Akal manusia juga tidak mampu mengetahui hal yang baik dan buruk. Baik buruknya sesuatu digariskan oleh wahyu. Berarti, manusia juga tidak diwajibkan melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kecuali oleh wahyu. Pada kondisi ini, terlihatlah bahwa Asy’ariyyah memberikan porsi yang sangat besar kepada wahyu dan mempersempit peranan akal dalam semua permasalahan di atas.
Adapun Maturidiyyah, pada perkembangannya terbagi menjadi dua aliran, Samarkand dan Bukhara. Golongan Samarkand berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui baik dan buruk dengan akalnya. Akal manusia juga mampu mengetahui Tuhan dan kewajiban manusia terhadap-Nya. Namun, kewajiban untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanyalah diketahui manusia dengan wahyu. Sementara golongan Bukhara berpendapat bahwa akal manusia hanya mampu mengetaui adanya Tuhan serta nilai baik dan buruk. Sementara dalam konteks kewajiban, baik kewajiban terhadap Tuhan maupun berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanyalah diketahui melalui informasi wahyu.

Perdebatan Hukum

Hukum disepakati sebagai titah ilahi. Sebagai titah ilahi ia bersifat qadim dan mendaului manusia. Konsekuensinya, manusia tidaklah membuat hukum, melainkan hanya menemukannya saja. Dari sini timbul suatu polemik. Bagaimana Allah memanifestasikan hukum-Nya yang qadim tersebut kepada manusia?
Pada kajian Ushul Fiqh, pembahasan ini dikaitkan dengan teori etika. Hukum mengikuti nilai pada hukum etika. Suatu yang dinilai baik, diperintah oleh hukum, dan yang buruk, dilarang oleh hukum. untuk mengetahui nilai etika itu, pembahasannya menjurus kepada konsep baik dan buruk.
Kajian ini berkaitan erat dengan perdebatan teologis di atas. Pada aspek ini, terdapat dua konsep yang berbeda; tradisionalis dan rasionalis. Konsep tradisionalis berpendapat bahwa suatu itu dinilai baik atau buruk sesuai dengan tuntunan wahyu. Jika suatu perbuatan dinyatakan wahyu sebagai perbuatan baik, maka ia baik, dan jika tidak maka tidak. Mengenai perbuatan yang tidak digariskan oleh wahyu, penyimpulan baik atau buruknya didapatkan dengan jalan analogi (qiyas).
Sementara kaum rasionalis berpendapat bahwa nilai baik dan buruk sudah terdapat secara inheren dalam suatu perkara semenjak awalnya. Pada hakikatnya, suatu pekerjaan dipandang baik jika ia mempunyai nilai baik yang inheren pada dirinya, dan sebaliknya. Konsepsi ini meskipun wahyu tidak menjelaskannya. Menurut mereka, kalaupun wahyu tidak menjelaskan mencuri itu buruk dan harus ditinggalkan, dengan nilai yang sudah terkandung di dalamnya, manusia dapat menyimpulkan bahwa mencuri itu buruk. Bagi mereka, wahyu berfungsi sebagai penguat dari kesimpulan manusia tersebut.
Jadi, memang terbukti bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak terlepas dari warna yang diberikan akal dan agama atau dalam hal ini wahyu. Kehidupan manusia berjalan lancar dengan keduanya. Manusia mencapai kebahagiaan hidup dengan kepercayaan dan pengamalan keduanya. Namun, dalam perjalanannya, akal dan agama terkadang mendapatkan porsi yang timpang. Suatu saat akal mendominasi dan agama kehilangan perannya. Dan suatu ketika, agam menang mutlak, dan manusia tidak diperkenankan menggunakan akalnya secara luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar