Selasa, 13 Januari 2009

Ritual Seks Gunung Kemungkus Perspektif Living Qur’an

Beberapa ahli telah berusaha memberikan definisi terhadap Living Qur’an. Living Qur’an merupakan pewujudan Alquran yang begitu nyata dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemakaan dari Living Qur’an adalah sebagai teks Alquran yan hidup dalam masyarakat. Sebagai teks Alquran yang hidup, ia merupakan respon masyarakat terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu dari Alquran. Living Qur’an tersebut terlihat dengan proses memfungsikan Alquran di luar kondisi teksnya. Respon tersebut terwujudkan dalam kehidupan praksis yang tidak jarang justru bertentangan dari nilai yang digariskan Alquran itu sendiri.
Sebagaimana yang disampaikan M. Mansur, fenomena ini bermula dari Quran in everyday life. Objek pembahasannya adalah praktek-praktek tertentu terhadap teks Alquran dalam kehidupan praksis. Pernyataan tersebut menegaskan bahwasanya Living Qur’an telah terjadi semenjak Alquran itu sendiri ada.
Studi Living Qur’an merupakan studi sosial dan keragamannya yang berasal dari pemahaman dan respon manusia terhadapnya. Studi ini merupakan studi ilmiah murni yang berbeda dengan studi-studi yang dilakukan para ulama klasik yang lebih memusatkan kajian mereka kepada aspek internal dari Alquran.
Manusia sebagai makhluk yang kreatif dan inovatif selalu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut meliputi segala hal, mulai dari pola fikir, watak, tingkah laku, dialek, kepribadian, kecenderungan, dan sebagainya. Di saat dihadapkan dengan suatu perkara, mereka juga akan menghasilkan respon yang berbeda-beda, terlebih lagi jika telah terkontaminasi oleh pengaruh sosio-kultural masing-masing yang juga berbeda. Begitu juga dengan Alquran, di saat dihadapkan kepada manusia yang beragam akan menghasilkan respon, penafsiran, dan pemahaman yang berbeda-beda. Seorang ulama mengibaratkan Alquran sebagai sebuah permata dengan banyak sudut. Ia akan menghasilkan warna dan pantulan cahaya yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut yang berbeda. Dari proses dialektis antara manusia dan Alquran inilah lahir fenomena Living Qur’an.
Salah satu contoh adalah “Ritual Seks Gunung Kemungkus”. Pada dasarnya, ritual tersebut merupakan penerapan konsep tabarruk dan tawassul yang sebenarnya masih debatable, dibenarkan dan dibolehkan oleh sebagian ulama, dan dilarang menurut sebagian lain. Konsep tabarruk dan tawassul tersebut berdialog dengan kehidupan kapitalis manusia, sehingga terlaksanalah berbagai macam kegiatan ber-tawassul dan tabarruk seperti ritual gunung Kemungkus ini.
Beberapa proses yang dijalani saat melaksanakan ritual ini yaitu: (1) Mengambil air dari dua sumber air yang berbeda. Pertama, di Sendang Ontrowulan yang nantinya dibawa pulang karena dianggap membawa berkah. Kedua, air di Sendang Taruna yang nantinya akan digunakan untuk bersuci setelah melakukan ritual seks. Masing-masing air tersebut dido'akan terlebih dahulu oleh juru kunci masing-masing sendang. Doa-doa tersebut tidak berbeda dengan doa yang lazimnya dibaca selepas shalat atau pada kesempatan lainnya yang sudah pasti sebagian besar merupakan teks Alquran. (2) Berdo'a di makam Raden Samudra. Banyak versi cerita yang dapat kita temui tentang kisah Raden Samudra ini. Ia adalah Putra Majapahit atau Putra Demak dalam mitos lainnya yang jatuh cinta kepada ibu tirinya sehingga akhirnya terjadinya hubungan seks antara keduanya. Dan (3) Melakukan ritual seks sebagai syarat terkabulnya keinginan. Ritual ini sepertinya berawal dari kisah perselingkuhan Raden Samudra dengan ibu tirinya, sehingga dalam ritual ini, hubungan seks pun harus dilakukan bukan dengan pasangan resmi.
Namun, ada suatu kejanggalan dari ritual ini. Menurut sebagian ulama, Islam dan Alquran membolehkan seorang muslim meminta berkah (tabarruk) kepada seorang kyai, syeikh, atau orang yang dipandang alim dan dekat dengan Allah swt serta terjauh dari perbuatan terlarang. Akan tetapi faktanya, pada ritual seks gunung Kemungkus ini justru kepada seorang Pangeran Samudra, yang konon memiliki hubungan terlarang dengan ibu tirinya. Dan hal ini jelas melanggar aturan doktrin Islam. Tapi hal ini bukanlah suatu permasalahan dalam kajian ilmu antropologi yang tidak mencari justifikasi benar atau salah suatu fenomena.
Sebagaimana modusnya, ritual seks ini diyakini dapat menjawab beberapa kebutuhan manusia, seperti masalah ekonomi, kenaikan pangkat, jodoh, dan sebagainya. Fenomena ini sangat menarik sekali, ia berhasil menjadi suatu aset berharga bagi pemerintah daerah. Banyaknya masyarakat yang meyakini ritual ini, menjadikan wilayah gunung kemungkus ini terlihat ramai pada malam-malam tertentu. Hal ini dimanfaatkan pemerintah setempat untuk dijadikan daerah pariwisata. Wisata ziarah ini menghasilkan aset sebesar 170 juta pertahunnya bagi daerah. Di samping itu, masyarakat sekitar juga mendapatkan lahan pekerjaan dengan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan para peziarah, mulai dari kembang-kembang, penginapan dan sebagianya guna memberikan kenyamanan para peziarah. Bahkan mucikari dan PSK pun dapat tersenyum karenanya.
Begitulah fakta menarik dalam agama Islam seputar pengamalan Alquran. Meskipun telah digariskan konsep baik buruk dan mempunyai sistem nilai evaluatif dan afirmatif, tetap dihadapkan kepada pengamalan yang sangat beragam sejalan dengan beragamnya kondisi sosio-kultural dan pola fikir masyarakat. Dan tidak jarang pengamalan tersebut teraplikasikan sebagai suatu hal yang bertentangan dengan ajarannya sekalipun.

TADWINUL QURAN

A. Pendahuluan
Pengumpulan al-Quran mempunyai dua pengertian, yaitu penghafalan dan penulisan. Pengertian ini didasari oleh kata jam`ahu (penghimpunannya) sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Qiyamah ayat 17: “Sesungguhnya di atas Kami-lah penghimpunannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”
Dalam artian penghafalan, Allah telah mengaruniakan kepada Muhammad lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Beliau merupakan sayyidul huffadz dan awwalu al-jumma’u. Muhammad sangat perhatian dan bersungguh-sungguh dalam menghafal al-Quran. Begitu besar keinginan beliau untuk menghafal al-Quran. Rasululluah juga memerintahkan para sahabat untuk menghafal al-Quran. Sikap antusias para sahabat juga sangat besar dalam menghafal al-Quran. Beliau menjadi contoh yang paling baik terhadap para sahabat dalam menghafalnya. Dari kitab Shahih Bukhari, dalam 3 hadits, dikemukakan ada 7 orang penghafal al-Quran: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaib bin Tsabit, Abu Darda’, dan Abu Zaid.
Sebagaimana yang disampaikan Bukhari, penyebutan tujuh huffadz bukanlah berarti pembatasan, karena sesungguhnya banyak sekali sahabat yang menghafal al-Quran. Namun itu berarti bahwa mereka itulah yang hafal di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya kepada Nabi Saw, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita sekarang.
Tentang pengumpulan dalam arti penulisan, adalah melalui tiga periode, yaitu periode Rasulullah, periode Abu Bakar al-Shiddiq, dan periode Utsman bin ‘Affan.

B. Pengumpulan al-Quran pada Masa Nabi
Begitu besar perhatian Nabi Muhammad untuk menghafal dan memelihara al-Quran. Beliau senantiasa menggerakkan lidahnya untuk mengucapkan dan melatih hafalannya hingga hafal di luar kepala. Selanjutnya beliau memerintahkan beberapa sahabat untuk menuliskan al-Quran, yaitu Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais. Mereka menulis al-Quran dengan menggunakan media lembaran kulit, daun, pelepah kurma, lempengan batu, pelana, dan potongan tulang belulang. Penulisan al-Quran timbul pada masa Nabi disebabkan karena tulisan dapat memperkuat hafalan.
Dalam berbagai hadits dikemukakan mengenai penyusunan surah dan ayat al-Quran, bahwasanya penyusunan tersebut berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Berbagai riwayat hadits membuktikan banyak surah yang urutannya disusun menurut petunjuk dari Rasulullah daripada yang menyatakan bahwa penyusunan tersebut berdasarkan ijtihad secara individu. Jumlah yang minor itu pun hanyalah berasal dari hadits yang sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya, serta isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas. Jadi pendapat yang dibenarkan dan yang diterima adalah yang menyatakan bahwa penyusunan surah dan ayat dalam al-Quran berasal dari petunjuk Rasulullah.

C. Pengumpulan al-Quran pada Masa Abu Bakar al-Shiddiq
Al-Quran seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Setelah wafatnya Rasulullah tampuk kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar. Ia dihadapkan dengan beberapa peristiwa yang berhubungan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Hal ini mambuat Abu Bakar harus mempersiapkan pasukan untuk memerangi kaum murtad tersebut pada peperangan Yamamah pada tahun dua belas hijriah. Pada peperangan tersebut, tujuh puluh huffadz dari kalangan sahabat gugur. Umar bin Khattab mengkhawatirkan hal ini, dan lebih jauh ia juga mengkhawatirkan seandainya di beberapa peperangan lain juga akan menyebabkan gugurnya banyak huffadz lainnya. Sehingga ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Namun Abu Bakar meragukan hal itu. Ia ragu untuk melakukan hal yang tidak dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Umar tetap membujuknya sehingga akhirnya Allah membukakan hatinya dan segera menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan membukukan al-Quran.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugasnya tersebut dengan sangat hati-hati. Ia mengumpulkan dari hafalan para huffadz dan tulisan para kuttab. Dalam pelaksanaannya, disyaratkan dua kesaksian, melalui hafalan dan tulisan dalam satu pendapat dan melalui dua orang menurut pendapat lainnya. Hasil usaha Zaid tersebut diselesaikan dalam masa satu tahun. Hasil jerih payah tersebut disimpan oleh Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, berpindah tangan kepada Umar dan selanjutnya setelah ia wafat disimpan oleh Hafsah.

D. Pengumpulan al-Quran pada Masa Utsman
Setelah pembukuan al-Quran pada masa Abu Bakar telah selesai, ternyata pada masa Utsman terjadi perbedaan tentang cara membaca al-Quran. Keadaan tersebut disebabkan oleh samakin meluasnya kekuasaan Islam dan masyarakat tiap-tiap wilayah belajar kepada sahabat yang diutus ke wilayah tersebut. Perbedaan tersebut berkembang dan memuncak dan menjadi keadaan yang mencemaskan.
Dengan adanya keadaan tersebut, Utsman meminjam mushaf yang ada di tangan Hafshah untuk dikembalikan lagi. Beliau menyuruh Zaid bin Tsabit dan tiga orang Quraisy untuk menyalin mushaf tersebut dengan memberikan pengarahan, “Bila saudara menemukan perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan Bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan menurut bahasa mereka.” Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan yang semakin memuncak dan agar al-Quran hanya terhimpun pada satu bahasa.
Setelah penyalinan tersebut selesai, Khalifah Utsman mengirim salinan tersebut ke ibukota-ibukota propinsi dengan diiringi perintah untuk membakar salinan-salinan yang dapat mengacaukan mushaf standar tersebut.
Menurut Ibnu Hajar, mengenai proses penyalinan tersebut, panitia Zaid menyelesaikan tugasnya pada tahun 25 H, sedang menurut Balchere, panitia Zaid baru dibentik pada tahun 30 H. Dr. Shubhi As-Shalih menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah pendapat Ibnu Hajar karena didukung oleh dasar riwayat yang kuat.
Jumlah mushaf yang ditulis panitia Zaid menurut pendapat al-Zarqani ada enam. Satu mushaf untuk khalifah yang kemudian dikenal dengan sebutan “al-Mushaf al-Imam” , sementara lima mushaf lainnya dikirim ke daerah-daerah Islam disertai dengan seorang sahabat ahli qira’ah. Untuk keperluan pengajaran qira’ah, khalifah mengirim Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin al-Saib ke Makkah, al-Mughirah bin Syihab ke Syiria, Abu Abdurrahman al-Salami ke Kuffah, dan Amir bin Abdul Qais ke Basrah.

E. Penutup
Berbicara mengenai tadwin, tidak akan bisa terlepas dari aspek sejarah. Sebagaimana salah satu tujuan dari belajar sejarah, beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari sejarah kodifikasi. Terlihat antusiasisme yang sangat tinggi dari para sahabat dan Rasulullah sendiri untuk menghafal dan menjaga al-Quran. Begitu juga dengan ketelitian dan kehati-hatian yang besar dalam upaya pengumpulan al-Quran. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi kesalahan dalam penulisan dan penjagaan terhadap penjagaan otentisitas al-Quran.
Demikianlah makalah ini kami buat. Dengan penuh kesadaran diri, masih banyak kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Karenanya kritik dan saran yang konstruktif akan diterima dengan senang hati. Mudah-mudahan makalah ini menggugah kegelisahan intelektual pembaca demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lamu bi al-shawwabu

SYAFI’IYYAH dan MUTAKALLIM

Metode ushul fiqh terbagi kepada dua corak, mutakallim dan fuqaha. Mutakallim sering disejajarkan dengan Syafi’i. Aliran ini menggunakan pendekatan deduktif dengan memformulasikan teori umum dan terlepas dari keterikatan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Karakter dari aliran ini adalah manthiqi (logika), nazhari (teoritis), dan dikaitkan dengan fakta. Sedang aliran fuqaha (Hanafiah) membangun hukum dari hal-hal furu’ . Mereka meneliti hal-hal cabang (furu’) tersebut dan membangun argumentasi-argumentasi untuk itu. Berikutnya, aliran hanafiah ini mendasarkan permasalahan yang mereka dapati dengan kaidah-kaidah yang telah didapati oleh imam mereka, sehingga mereka terikat dengan kaidah tersebut.
Namun, di dalam buku REFORMASI BERMAZHAB terdapat kritikan terhadap pengelompokan sebagaimana di atas. Yang menjadi objek kritik tersebut adalah pengelompokan Syafi’i dengan mutakallim. Karena, Syafi’i adalah sosok yang tidak sepaham dengan mutakallim yang beraliran mu’tazilah. Dia dengan jelas menentang pemikiran mereka. Al-Risalah itu sendiri merupakan salah satu misinya untuk menentang mereka. Jadi, mengapa Syafi’i justru disamakan dengan kelommpok yang ditentangnya? Begitulah gambaran singkat yang dikutip dari buku tersebut.
Mengenai permasalahan ini, sangatlah perlu untuk mengkaji bagaimanakah sejarah ushul fiqh Imam Syafi’i itu sendiri. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Ia mencoba mengambil jalan tengah dari dua kecenderungan yang dilatarbelakangi oleh faktor tempat dan kuantitas hadits yang didapat para ulama yang berkembang pada zamannya, ahl al-ra’yi dan ahl al-hadits. Ia tidak hanya terpaku kepada hadits, namun juga memberi andil kepada akal dalam penyimpulan suatu hukum. Ia memformulasikan ushul fiqh dari diskusi-diskusi ilmiah para pendahulunya semenjak masa sahabat. Sumber hukum menurutnya adalah secara berurutan dari al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Formulasi ushul fiqh yang dirintis oleh Syafi’i, berkembang pesat dan diikuti banyak umat Islam. Dalam perkembangannya, terdapat berbagai perbedaan pandangan dari ulama berikutnya. Ada yang memasukkan teori-teori yang tidak dipakai Syafi’i. Sebagian lain ada yang menyalahinya dalam pokok-pokok ushul fiqh dan mengikuti cabang-cabangnya.
Di antara yang menggunakan formulasi Syafi’i ini adalah ulama mutakallim. Sebagian besar mutakallim termasuk kepada aliran Syafi’iyyah ini. Hal ini dilatar belakangi kesamaan model kajian Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum dengan kajian mereka dalam ilmu kalam. Tampaknya, hal inilah yang mendorong ulama mengelompokkan aliran Syafi’iyyah dengan mutakallim dalam satu golongan.
Menimbang kritik dari buku REFORMASI BERMAZHAB tersebut, tampaknya memang tidak bijaksana untuk menggolongkan Syafi’iyyah kepada mutakallim. Karena sebenarnya mereka itu mempunyai objek pembahasan yang berbeda, hanya saja punya metode kajian yang sama. Dan dalam kajian ushul fiqh sendiri, mutakallim hanya mengikuti apa yang telah diformulasikan oleh Syafi’i. Jadi, lebih baik jika aliran tersebut cukup disebut sebagai aliran Syafi’i saja tanpa membawa nama mutakallim. Hal ini seandainya mereka tidak mengembangkan ushul fiqh Syafi’i sehingga memiliki perbedaan yang mencolok. Ketika perubahan yang mereka ciptakan akibat proses pengembangannya cukup besar, mengapa mereka tidak dikelompokkan menjadi otonom dan terpisah dari Syafi’i maupun fuqaha?

Referensi :
1. Reformasi Bermazhab karya Qadri Azizi
2. Ushul Fiqh karya Muhammad Azzahra
3. Ushul Fiqh Jilid 1 karangan Amir Syarifuddin

BAHASA AGAMA

Bahasa agama banyak menggunakan ungkapan simbolik dan metaforis. Maka, jika hanya difahami secara litaral saja, maka kesalahpahaman dalam menangkap pesan dasarnya akan mudah terjadi. Komaruddin Hidayat dalam tulisannya “Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik” memberikan tiga cakupan dari objek kajian bahasa agama tersebut. Pertama, bahasa agama sebagai ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran yang bersifat metafisis, terutama tentang Tuhan. Yang menjadi permasalahan adalah mengenai kapabilitas pikiran manusia yang terikat pengalaman empiris-historis mengenali Tuhan yang tranhistoris dan immateri. Kedua, kitab suci (al-Quran) yang pada hakikatnya merupakan bahasa Tuhan yang metafisis dan terwujud menjadi bahasa manusia sebagai makhluk historis yang terikat kebudayaan. Dan ketiga, bahasa ritual. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya sebatas percakapan semata, melainkan melibatkan geture dan ekspresi tubuh.
Merumuskan definisi bahasa agama bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, digunakanlah dua pendekatan yang menonjol dalam kajian ini, theo-oriented dan antro-oriented. Pada pendekatan pertama, bahasa agama adalah kalam Tuhan yang terabadikan dalam kitab suci, sehingga pengertian paling mendasar dari bahasa agama dengan pendekatan ini adalah bahasa kitab suci. Melalui antro-oriented, bahasa agama merupakan perilaku keagamaan dari seorang penganut agama. Pada pendekatan ini, lebih dipentingkan wujud wacana beragama atau wujud hidupnya agama dalam masyarakat sosial. Theo-oriented pada akhirnya juga mengarah kepada wacana keagamaan dengan penafsiran-penafsiran kitab suci yang lahir berikutnya, sehingga tampaklah batas yang samar antara kedua pendekatan tersebut. Sebagai jalan tengah, dibuatlah beberapa karakter dari bahasa agama: pertama, objek bahasa agama adalah metafisis, kedua, sebagai implikasinya materi pokok narasi keagamaan adalah kitab suci, dan ketiga, bahasa agama mencakup ekspresi keagamaan pemeluknya baik indivudual maupun sosial.
Akan tetapi, pada dasarnya bahasa agama merupakan bahasa manusia secara historis-antropologis, dan bahasa Tuhan yang transhistoris, secara teologis. Pemahaman ini berangkat dari keyakinan bahwa Tuhan merupakan objek yang abstrak, yang sama sekali keluar dari kemampuan pikiran manusia. Namun, untuk menggambarkan ketuhanan, atau menafsirkan bahasa kitab suci yang mengungkapkan ketuhanan, tidak dapat tidak menggunkakan ungkapan yang familiar dengan indra manusia.
Secara sederhana, terdapat dua kategori bahasa agama: preskriptif dan deskriptif. Pada kategori preskriptif, bahasa agama berwujud sebagai ungkapan persuasif yang tertuang dalam bentuk teks yang berisikan perintah dan larangan. Namun, sebagai petunjuk, sebuah kitab suci juga menungkapkan sesuatu dengan karakter deskriptif yang lebih bersifat demokratis dengan melibatkan manusia sebagai makhluk historis untuk mendiskusikan persoalan. Hal ini karena suatu petunjuk tersebut tidaklah mesti dengan perintah dan larangan semata. Oleh karenanya, pesan Tuhan dalam kitab suci kerap kali dituangkan dalam bentuk deskriptif dan meteforis, simbolik, dan ikonik. Bahasa yang metaforis memiliki potensi untuk pemahaman baru yang menjadikan kitab suci akan selalu eksis dalam setiap kondisi dan waktu. Namun, negatifnya juga dapat menimbulkan spekulasi dan relativisme pemahaman. Namun, gaya bahasa—apakah metaforis, simbolis, maupun ikonik—bukanlah aspek fundamental dalam kitab suci (al-Quran). Aspek yang palin penting padanya adalah ketegasan dan kejelasan maknanya, dan bunga-bunga pengungkapan tersebut hanyalah sebagian aspek saja.
Bahasa agama mendapatkan tantangan dari corak bahasa iptek. Bahasa iptek lebih bersifat deskriptif dan demokratis dan akibatnya dapat dirasaka secara langsung. Ia selalu menuntut presisi dan siap diuji kebenaran teorinya. Berbeda dengan agama yang masih berupa janji yang pemenuhannya setelah kematian. Dengan demikian, secara empiris proposisi dan teori ilmu pengetahuan lebih mudah diterima. pertumbuhan ilmu pengetahuan selalu mengasumsikan sikap rasional dan pendekatan empirikal. Tetapi akan mengakibatkan kekeringan pandangan hidup keagamaan karena pengalaman keberagamaan yang terdalam, yaitu pengelaman kehadiran Tuhan pada diri seseorang terwadahi dalam bahasa mistis yang di dalamnya penuh misteri dan metafor.
Bahasa primer sebuah agama adalah bahasa lisan. Dibuktikan dengan penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad dan juga nabi-nabi sebelumnya adalah dalam bentuk lisan, bukan tulisan, sehingga pesan agama tersebut lebih terasa dan melekat di hati para rasul dan juga pengikutnya. Para linguistik ternama secara tidak langsung juga mendukung hal ini. Mereka menyatakan bahwa ujuaran atau pembicaraan lebih primer dari tulisan. Bahasa lisan memiliki kelebihan tersendiri. Pada suatu bahasa komunikasi (oral), terkumpullah beberapa aspek seperti psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi, dan sebagainya. Ia memiliki kekuatan emosional untuk memlihara solidaritas antar sesama dan memelihara atmosfir keberagamaan yang hangat. Makanya, salah satu ciri bahasa agama terletak pada retorikanya yang mudah membangkitkan emosi.
Al-Quran mempunyai akuransi pembacaan dan penghafalan dan kuatnya mata rantai transmisi dari generasi Rasulullah hingga generasi selanjutnya, yang hal ini tidak dimiliki oleh kitab lainnya. Sebagai implikasinya, penekanannya akan lebih kuat pada hati dan kesadaran moral. Namun pada perjalanannya, akhirnya ia menjelma menjadi bahasa tulisan.
Bahasa lisan lebih efektif daripada bahasa tulisan, karena dengan bahasa tulisan aspek-aspek psikologis, tempat, suasana, gaya, emosi dan sebagainya tersebut lenyap. Hal ini juga akan mengakibatkan mudahnya terjadi penyelewengan maknanya dari makna aslinya. Implikasi konseptual lainnya adalah sebuah kitab suci dipandang sebagai sebuha bentuk fisikal dan visual yang tidak berbeda dengan buku-buku lainnya yang dicetak dan disusun di rak buku. Keberadaan dan kesuciannya tergantung kepada manusia yang meresponnya. Di samping itu, juga terjadi pergeseran relasi antara pembaca dan kitab suci. Pada awalnya, kitab suci diwahyukan kepada Nabi yang mana beliau adalah objek dan Tuhan sebagai objeknya. Namun berikutnya, di saat kitab suci telah menjadi bahasa tulisan/teks, ia berubah menjadi objek dan manusia yang meresponnya menjadi subjek. Hal inilah yang menjadikan kedudukan kitab suci tergantung kepada manusia yang meresponnya. Berarti, suatu kitab suci dianggap berharga dan memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu umat, namun bagi umat lain mungkin saja itu hanyalah kumpulan dongeng belaka.

MAKNA HAKIKAT DAN MAJAZ

A. Pendahuluan
Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qās dari Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran.
Dalam ilmu logika, dari segi maknanya suatu kata dibagi kepada tiga bentuk: univok, equivok, dan analog. Univok adalah kata yang mempunyai makna yang jelas, sementara equivok adalah kata yang mempunyai dua makna sekaligus. Analog adalah kata yang dalam pemakaiannya berbeda dengan makna aslinya, tapi masih mempunyai persamaan. Tampaknya, kata univok tersebut adalah hakikat dan analog adalah majaz.
Secara sederhana, hakikat adalah kata yang menunjukkan makna asli; tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh. Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya. Contohnya kata al-asad kepada al-hayawān al-muftaris (binatang buas, yaitu singa). Sedangkan majaz adalah kata yang dipakaikan bukan untuk makna aslinya karena adanya ‘alaqah dan disertai qarinah yang mencegah penggunaan makna asli. Sebagai contoh penggunaan kata al-asad bukan kepada hewan, melainkan kepada seorang yang berani, karena adanya hubungan kesamaan sifat berani dengan sifat singa. Untuk lebih rincinya, pengertian keduanya diperdalam pada pembahasan berikut.

B. Definisi Hakikat dan Majaz
1. Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan darivasi dari kata haqqa al-syai’ yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl) yang berarti ‘ditetapkan’.
Kata ‘hakikat’ merupakan kata musytarak yang mempunyai dua pengertian: esensi sesuatu di satu sisi dan inti perkataan di sisi lain. Apabila ditujukan kepada lafaz atau kata, maka hakikat adalah kata yang digunakan pada tempatnya. Dengan redaksi lain, hakikat adalah nama bagi sebuah kata yang dimaksudkan untuk makna aslinya yang terambil dari hakikat sesuatu. Kata itu benar-benar menunjukkan kepada makna yang sebenarnya.
Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.
Hakikat terbagi kepada tiga: lugawiyyah, syar’iyyah, dan ‘urfiyyah. Klasifikasi ini dikarenakan hakikat mesti menempuh jalan penetapan, dan setiap penetapan mesti mempunyai subjek yang menetapkannya. Disebut lugawiyyah apabila subjek penetapannya adalah bahasa. Sementara syar’iyyah apabila ditetapkan oleh syari’at, dan begitu juga dengan ‘urfiyyah berarti subjeknya adalah kebiasaan. Lebih rinci lagi, haqiqah ‘urfiyyah dibagi lagi menjadi haqiqah ‘urfiyyah khāssah dan haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah. Haqiqah ‘urfiyyah khāssah adalah hakikat yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat secara parsial, yaitu terbatas pada kalangan tertentu, seperti kata ijma’ yang hanya berlaku di kalangan fiqh. Sementara haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah adalah yang ditetapkan kebiasaan yang berlaku secara global, seperti kata dābbah yang dalam bahasa Arab berarti hewan berkaki empat.

2. Majaz
Para ulama terdahulu telah meneliti majaz ini, sehingga mereka telah memberikan definisi terminologis yang berbeda-beda. Dalam kitab Kaysfu al-Asrār dinyatakan bahwa majaz adalah kata yang difungsikan untuk pengertian lain di luar pengertian aslinya yang biasa terjadi dalam percakapan dengan adanya ‘alaqah antara pengertian baru yang dimaksudkan dengan pengertian aslinya. Sementara Abu Hamid Al-Ghazali dalam Mustaṣfa mendefinisikan majaz sebagai kata yang dipakai oleh orang Arab pada selain tempatnya. Kata-kata dengan makna majaz ini terjadi dalam kata-kata mufrad (singular).
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan. Dari ketiga definisi tersebut, beliau menyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.

C. Macam-macam Majaz
Dari segi pembentukannya, majaz bisa dibedakan menjadi:
1. Kata yang dipinjamkan untuk suatu pengertian karena adanya keserupaan pada khāssah (propria), seperti kata al-asad yang dipinjamkan untuk makna berani.
2. Penambahan dalam tarkib yang sebenarnya tanpa penambahan tersebut, maknanya tidak berubah, seperti ليس كمثله شي. Sebenarnya menghilangkan huruf kaf tidaklah merubah makna, namun penambahan tersebut menjadikannya bermakna majaz.
3. Pengurangan yang tidak berimplikasi terhadap kekeliruan pemahaman. Seperti واسئل القرية yang sebenarnya dimaksudkan penduduknya.
4. Mendahulukan dan membelakangkan (taqdīm dan ta’khīr) seperti pada surat al-Nisā’ ayat 11 yang maksud sebenarnya adalah sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiat. Namun, redaksi ayatnya berbunyi:
من بعد وصية يوصي بها او دين.
Dari segi ‘alaqah-nya, majaz terbagi kepada dua bagian:
1. Isti’arah, yaitu majaz yang ‘alaqah antara makna asli dan makna yang dimaksudkan terdapat musyābahah seperti firman Allah; surat Ibrahim ayat pertama:
كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور
2. Mursal atau muthlaq, yaitu yang ‘alaqah antara makna asal dan makna yang dituju bukanlah musyābahah. Majaz ini pun terbagi kepada beberapa pembagian seperti sababiyyah, musababbiyah, i’tibār juz ‘ala al-kulli, dan sebagainya.

D. Cara Mengetahui Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya.
Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selain tempatnya.
Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara:
1. Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni) sementara makna majaz tidak demikian.
2. Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
3. Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu entitas, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
4. Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh “was’al al-qaryah” di atas.
5. Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”, maka ia adalah majaz.
6. Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah majaz.
7. Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai. Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya.
Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.

E. Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
1. Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu
2. Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.
3. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman Allah; surat al-Kahfi: 29
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain yaitu keharusan beriman kepada Allah.
4. Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
5. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19
وما يستوي الأعمى والبصير
Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.

F. Kesimpulan
Dari pembahasan sederhana di atas, dapat disimpulkan beberapa poin:
a. Hakikat adalah kata yang dipakaikan pada maksud kata itu sendiri, sementara majaz adalah kata yang digunakan pada makna lain dengan adanya ‘alaqah dan qarinah.
b. Hakikat keberadaannya disepakati para ulama dalam Alquran, sementara majaz masih debatable.
c. Hakikat terbagi kepada beberapa pembagian: lughawiyyah, aqliyyah, dan syar’iyyah. Dan majaz juga terbagi kepada beberapa bagian: isti’arah dan mursal.

METODE DIALEKTIK (Friedrich Hegel)

A. Pendahuluan
Metode berarti cara kerja yang sistematis dan teratur yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan yang merupakan sasaran dari suatu disiplin ilmu. Metode tidak hanya menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah. Lebih jauh dari itu, ia merupakan alat paling utama dalam proses dan pengembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal peneletian hingga mencapai pemahaman baru berupa kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu metode sangat menentukan hasil yang didapatkan dalam suatu proses, karena metode yang tepat dapat menjamin kebenaran yang diraih.
Setiap disiplin ilmu, sejatinya memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam disiplin ilmu yang lainnya. Begitu juga dengan filsafat. Ia menpunyai metode tersendiri, namun ia tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan semua filosof. Pada bidang filsafat, metode yang digunakan dapat dikatakan sama dengan aliran filsafat itu sendiri.
Setelah mengenal beberapa metode sebelumnya, berikut ini akan digambarkan secara ringkas mengenai metode dialektik. Figur sentral dari metode ini adalah Friedrich Hegel yang juga ikut ambil bagian sebagai salah satu objek pembahasan dari tulisan ini.
B. Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stutgart. Ia merupakan keturunan pegawai negeri. Ayahnya bekerja di kantor pajak di Württemberg. Sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang berbahaya hingga ia mencapai usia dewasa. Pada usia enam tahun, ia terserang penyakit cacar yang hampir merenggut nyawanya. Lebih dari seminggu pandangannya menjadi kabur dan kulitnya dipenuhi bopeng-bopeng mengerikan. Lima tahun ia lalui dengan penyakit tersebut. Baru pada umur sebelas tahun ia terbebas dari penyakit tersebut. Namun, disayangkan Ibunya justru meninggal karena kasus penyakit yang sama. Saat kuliah pun ia terkapar beberapa bulan lantaran penyakit malaria.
Ia merupakan seorang yang sangat rajin membaca. Hampir semua bahan bacaan ia lahap, mulai dari kesusastraan, koran, hingga risalah-risalah yang berisi semua subjek apapun yang ia temukan. Ia selalu menulis apa yang dia baca dalam catatan kecil yang ia sebut “pabrik ringkasan”. Pada jurnal pribadi tersebut ia menuliska semua hal. Bahkan ia menuliskan sembari mempertanyakan mengapa saat ia tidak menemukan hal yang menarik untuk dicatat dalam sehari. Mereka yang sempat membaca catatan-catatan Hegel ini akan menjumpai tentang laporan kebakaran lokal, kritik terhadap konser yang dia lihat, analisis cuaca, plus komentar klise: “cinta akan uang adalah akar dari segala permasalahan”. Begitulah Hegel yang mencatat semua yang ia dapatkan.
Pada usia 18 tahun, Hegel menjadi mahasiswa pada sekolah tinggi Teologi di Universitas Tübingen. Sesuai dengan universitas tempat ia belajar, awalnya semangat Hegel tertuju kepada teologi, namun setelah memasuki universeitas ia mulai tertarik dengan filsafat. Minat ini menjadikannya dekat dengan dua orang istimewa di zamannya, Hölderlin dan Schelling. Minat tersebut jugalah yang menjadikannya meninggalkan keinginan orang tuanya untuk masuk ke lingkungan gereja, ia lebih suka untuk menjadi seorang dosen. Minat itu jugalah yang mendasari kekagumannya terhadap Kant dengan fisafatnya yang mengkritik empirismenya Hume. Ia sangat tertarik dengan buku Kant yang berjudul “Critique of Pure Reason”. Baginya, terbitnya buku tersebut merupakan peristiwa paling besar dalam keseluruhan sejarah filsafat Jerman. Taka ayal lagi, seputar Kant dan filsafatnya cukup mendapat tempat dalam pabrik ringkasan Hegel.
Hegel dengan sangat tekun menggali karya-karya Kant, melengkapinya dengan penjelajahan kebudayaan Yunan kuno. Karena ketekunannya dan obsesi yang liar terhadap belajar, ia disebut “orang tua” lantaran kebiasaannya yang menurut mereka membosankan. Hal ini membuatnya lupa akan kewajiban kuliah yang sebenarnya, bahan bacaannya justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi perkuliahan. Inilah tampaknya yang menjadikan A. Bakker menyatakan bahwa sewaktu studi ia tidak terlalu mencolok kepandaiannya. Cita-citanya untuk menjadi tenaga pengajar di universitas pun tidak kesampaian.
Di bawah pengaruh Kant pula, Hegel kemudian menulis risalah-risalah religius yang mengkritik otoritarianisme Kristen. Hingga akhirnya pada tahun 1796 ia menjadi guru tutor di Frankfurt. Di sana ia mulai melakukan studi yang lebih keras lagi. Dan pada tahun 1801 ia menjadi privatdozent (suatu pekerjaan yang dibayar berdasarkan jumlah mahasiswa yang hadir) di Universitas di Jena. Namun, berhubung cara mengajarnya yang tidak menarik dan susah dimengerti, ia hanya dihadiri empat orang mahasiswa, meskipun setelah beberapa saat bertambah menjadi sebelas orang. Namun, ia juga tidak mau untuk menjalani opsi yang bisa membuat cara mengajarnya lebih menarik. Ia bahkan menyusun sistemnya sendiri dan mulai menanamkannya kepada mahasiswanya.
Salah seorang mahasiswa yang mengaguminya mengakui bahwa selama mengajar ia kadangkala tergagap, diam dan bermeditasi untuk kemudian melanjutkan penjelasannya. Ia kesulitan untuk mencari kata yang paling tepat untuk menyampaikan pemikirannya. Kalimat yang disampaikannya lebih sering bertele-tele dan sulit untuk dimengerti. Namun, sekali ia menyampaikan suatu kalimat yang tepat, itulah yang menjadi kalimat absolut dan tak terbantahkan. Begitulah suasana belajar bersama Hegel. Seberapa rumitkah kalimat Hegel? Coba anda perhatikan kalimat berikut ini:
“Sementara itu, karena budi itu bukan semata entitas abstrak yang sederhana, melainkan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah proses, dan dalam proses itu budi membedakan dirinya ke dalam berbagai momen, namun di dalam melakukan pembedaan itu tetap terdapat kebebasan dan pengambilan jarak, dan karena budi mengartikulasikan tubuhnya sebagai suatu keseluruhan ke dalam suatu ragam fungsi, dan memperlakukan satu bagian tubuh tertentu hanya untuk satu fungsi saja, maka seseorang juga dapat menghadirkan keadaan eksistensi internalnya sebagai sesuatu yang diartikulasikan ke dalam bagian-bagian...” dan seterusnya.

Di Jena ia menghasilkan beberapa karya. Lalu ia meninggalkan Jena untuk menempati posisi sebagai Redaktur Bamburger Zeitung. Dan silahkan Anda bayangkan bagaimanakah isi dan bahasa yang disuntinganya dalam koran tersebut selama dua tahun?
Pada tahun 1816 ia menjadi guru besar Heidelberg. Dua tahun kemudian ia pindah ke Berlin. Di sana, ia menjadi profesor filsafat, jabatan yang kosong setelah meninggalnya Fichte. Filsafatnya mulai menyebar luas ke segala penjuru universitas-universitas di Jerman. Tiga belas tahun kemudian ia meninggal di sana. Selama hidup ia telah banyak menghasilkan karya-karya besar.

C. Way of Think
Secara bahasa, dialektika dalam bahasa Inggris adalah dialectic dan dalam bahasa Yunani dialektos yang berarti pidato, pembicaraan, atau debat. Metode ini sebenarnya telah dimulai oleh Zeno, Socrates dan Plato. Aristoteles juga mengakui bahwa dialektika sesungguhnya ditemukan oleh Zeno. Ialah yang diakui sebagai orang jenius yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih kebenaran dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan. Ia mencari kebenaran dengan soal jawab secara sistematis. Sementara Plato menyadari bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi manusia tidak mungkin menjalani proses sebagaimana garis lurus, sehingga ia menuliskan pemikirannya dalam bentuk dialog-dialog. Tak berbeda dengan Sokrates, ia senantiasa menggunakan setiap kesempatan untuk berdialog. Dalam dialog tersebut ia berperan aktif dengan menggunakan argumen-argumen rasional yang didukung analisis yang cermat demi tercapainya suatu kebenaran objektif.
Sementara bagi Hegel sendiri, dialektik adalah dua hal yang bertentangan yang kemudian didamaikan. Menurutnya, dialektik merupakan jalan pemikiran, yang dengan persetujuan, tantangan, dan penyimpulan sampailah pada satu kesatuan yang lebih tinggi. Dalam berdialektik, Hegel menggunakan metode tiga serangkai, tesis, antitesis, dan sintesis. Konsep tiga serangkai ini dipaparkan pertama kali oleh Fichte. Suatu tesis dihadapkan pada negasinya, antitesis, sehingga kemudian menimbulkan sintesis yang pada tahap berikutnya kembali menjadi tesis berikutnya.
Pandangan tesis, antitesis, dan sintesis ini, menurut Hegel, karena pada hakikatnya, idea atau berfikir itu adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak tersebutlah yang mewujudkan tesis yang dengan otomatis juga mewujudkan antitesis sebagai lawannya. Pemikiran ini berpijak dari persepsi Hegel bahwa pada hakikatnya tidak ada sesuatu dalil pengertian yang berdiri sendiri, melainkan semuanya mempunyai sisi kontradiktif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa proses dialektika terdiri atas tiga fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Pada tahap awal, tesis, suatu pengertian dirumuskan dengan jelas dan radikal sehingga identik dengan dirinya sendiri dan menyangkal pengertian-pengertian lain yang berada di luarnya. Namun, akhirnya penjelasan tersebut menjadi cair dan beku. Dengan sendirinya ia butuh kepada fase kedua, antitesis. Pada tahap ini, yang secara otomatis telah disebutkan oleh tesis secara implisit, diterangkan dan dijelaskan secara radikal dan diekstrimkan, sehingga pengertian tersebut hilang ketegasannya dan mulai bergerak. Solusi terakhir adalah menuju ke langkah ketiga, sintesis. Kalau sebelumnya tesis dan antitesis diperlakukan dengan sudut pandang dirinya sendiri secara ekstrim sehingga jelaslah kontradiksi keduanya, maka pada tahap ketiga ini, keduanya difikirkan bersama-sama. Dengan demikian, proses tersebut menghasilkan suatu pengertian baru. Perlu diperhatikan bahwa kontradiksi antara tesis dan antitesis tidak dapat dijawab dengan alternatif. Anda tidak bisa memilih salah satu darinnya, karena dengan itu anda tidak akan menghasilkan sintesis, melainkan hanya memilih salah satu, apakah tesis dengan mereduksi antitesis atau antitesis dengan mereduksi tesis.

D. Pandangan Penyusun
Sebagaimana telah diulas dengan singkat di atas, dengan metode berfikir secara dialektik, dapat disimpulkan suatu pengertian baru yang lebih padat. Namun, pikiran manusia itu dinamis, suatu kesimpulan yang baru didapat, juga masih dapat disempurnakan dan diperbaharui lagi. Dan yang menjadi hal terpenting dalam kajian ini adalah, dialektika dapat menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan. Dengan metode ini, ilmu akan terus dinamis seiring dinamisnya pikiran manusia.
Hegel dengan sangat jelinya menggunakan metode ini sehingga menjadi seorang filosof ternama dan mempunyai banyak pengikut yang kemudian disebut hegelian. Penyusun berpandangan bahwa rumit dan kacaunya kalimat-kalimat yang disampaikan Hegel dalam kuliahnya saat menjadi privatdozent maupun dalam berbagai tulisannya dilatarbelakangi gerak pikirannya yang dialektis. Saat mengajar ia terkadang tergagap, diam, dan bermeditasi untuk menemukan kalimat yang tak terbantahkan lantaran ia memikirkan sisi tesis, antitesis, dan sintesis dari idenya. Kalimatnya yang tak selesai walaupun sudah mencapai beberapa baris merupakan rentetan sintesis yang kemudian menjadi tesis dan mendapatkan antitesis baru yang berlanjut terus hingga ia mendapatkan kesimpulan akhir.
Hingga saat ini, penyusun mempunyai penilaian positif terhadap metode ini. Namun, sebagaimana diketahui bahwa setiap filosof selalu mendapatkan kritik dari filososf setelahnya. Hal ini berarti bahwa dialektik ini sendiri bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan. Ini sangat manusiawi sekali, bahwa Hegel pun bukanlah manusia yang sempurna.

E. Penutup
Dari gambaran singkat di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Hegel adalah seorang maniak baca sekaligus maniak tulis yang terbukti dengan “pabrik ringkasan”-nya. Kedua, metode dialektis merupakan metode berfikir sistematis yang menjalani 3 fase, tesis, antitesis, dan sintesis. Sebenarnya metode ini telah digunakan juga oleh Zeno, Socrates, dan Plato. Dan ketiga, dalam berfikir dialektis, tidak dapat ditentukan jawaban dengan alternatif karena dengan itu tidak akan dihasilkan sintesis.
Demikianlah makalah ini kami susun dengan usaha semaksimal mungkin. Namun daripada itu, penyusun menyadari bahwa di sana-sini masih terdapat berbagai kekurangan untuk dapat dimaklumi bersama.
Wallahu A’lamu bi al-Ṣawwābi

Minggu, 11 Januari 2009

URANG AWAK GADANG DI LADANG URANG

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka? Beberapa buku karyanya telah dibaca jutaan orang. Rela masuk penjara demi mempertahankan kebenaran yang dia sampaikan. Menyelesaikan penulisan Tafsir Azhar dalam penjara. Siapa pula yang tidak kenal Ahmad Syafi’i Ma’arif? Urang Sawahlunto yang sempat menjadi Profesor tamu di McGill University di Kanada dan Lowa University di Amerika Serikat. Urang awak yang menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiah periode 1998-2005.
Mereka itu adalah tokoh-tokoh Minangkabau yang “gadang di ladang urang”. Di samping itu ada beberapa tokoh intelektual lainnya yang sempat mengecap pendidikan luar negeri dan menjadi tenaga pengajar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia. Tampaknya ini merupakan hasil dari petatah-petitih Minangkabau: Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.
Berpijak kepada kata bijak tersebut, banyak pemuda Minangkabau yang di pergi “marantau ka nagari urang”. Mayoritas pemuda Minangkabau pergi merantau meninggalkan keluarga dan kampung halamannya dengan tujuan tertentu, dari usaha hingga studi. Betapa suatu nagari tidak lagi disibukkan oleh kegiatan generasi muda kecuali beberapa yang berumur sekolahan tingkat menengah. Setelah lulus dari SMA sederajat, mereka pergi merantau dengan bekal seadanya dan membawa harapan yang luar biasa.
Kecenderungan ini merupakan pendidikan yang luar biasa untuk pemuda Minangkabau. Dengan merantau mereka merasakan hidup yang sebenarnya. Mereka terlatih untuk menjadi terampil demi penghidupan yang layak. Perkembangan kemandirian mereka terlatih oleh hidup. Itulah tampaknya tujuan yang diinginkan pendahulu Minangkabau yang menyampaikan petuah seperti di atas.
Tidak jarang dari mereka yang menemukan nasibnya di rantau orang. Mereka mendapatkan kehidupan yang layak. Begitu juga dengan pelajar, mereka mendapatkan banyak ilmu yang sangat berguna untuk masa depan mereka. Dan akhirnya, tidak jarang yang bersinar dan menjadi tokoh ternama.
Lantas, mengapa mereka yang tidak merantau biasa-biasa saja? Mengapa mereka tidak ikut bersinar dan berhasil seperti mereka yang merantau? Apakah nagari awak tidak bisa mendidik kemandirian dan kecakapan hidup seperti di luar sana? Apakah nagari awak tidak bisa melahirkan tokoh-tokoh besar, sehingga harus ke luar dulu untuk itu?
Pertanyaan di atas perlu kita renungkan. Kita lihat ketertinggalan Sumatera Barat dibandingkan provinsi-provonsi lain. Salah satunya disebabkan kekurangan kualitas SDM. Mengapa tidak, mereka yang berkualitas malahan berada dan hidup senang di luar sana, sementara yang tetap di kampung halaman tidak dapat berbuat banyak demi kemajuan bersama.
Agaknya, salah satu penyebabnya berasal dari watak orang Minang yang patang kalah. Di tanah rantau, watak demikian merangsang perkembangan mental menjadi survivor sejati yang siap melawan derasnya arus hidup. Namun, di kampung halaman, watak tersebut terkadang berakibat kepada tindakan iri dan pembunuhan karakter. Tanpa disadari seseorang yang merasa akan dilampaui oleh saudaranya, melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kepada pembunuhan karakter. Perlakuan seperti ini bisa berbentuk cemoohan dari seseorang. Pada saat perkembangannya, lalu tiba-tiba orang lain datang dan mencemoohnya. Perlakuan ini diibaratkan seperti mamijak baniah. Sebuah benih yang harusnya berkembang, justru diinjak dan mati, sehingga tidak dapat lagi melanjutkan perkembangannya.
Perlu disadari bahwa pembunuhana karakter tersebut kerap kali terjadi di lingkungan masyarakat minangkabau. Pada ruang lingkup sekolahan, seperti dalam forum diskusi, seorang murid yang berpendapat cenderung mendapatkan tanggapan yang tidak baik dari temannya. Ia mendapatkan ejekan dan bahkan disoraki temannya dengan nada dengki dan menyudutkan. Di lingkungan keagamaan, para pemuka agama suatu nagari tidak memberikan kesempatan bagi pemuda yang mulai berkembang untuk mempraktekkan ilmu mereka di forum-forum ta’lim seperti ceramah atau khutbah Jumat. Hal ini memutuskan hubungan regenerasi keilmuan masyarakat. Akibatnya, saat seorang ulama suatu nagari meninggal, tidak ada lagi pemuda yang diharapkan bisa menjadi penggantinya. Dapat kita lihat suatu nagari yang tidak mempunyai orang yang mempu untuk khutbah Jumat dan penyelenggaraan jenazah. Begitu juga dari segi kehidupan lainnya.
Illustrasi di atas hanyalah sebuah contoh kecil. Pada kenyataannya, fenomena tersebut terjadi di seluruh lingkungan kehidupan dari kehidupan berkeluarga, hingga birokrasi ketatanegaraan.
Problem ini berpengaruh kepada lajunya perkembangan pembangunan Sumatera Barat. Rasa iri berkepanjangan dan pembunuhan karakter yang berketerusan menjadikan kualitas SDM Sumatera Barat stagnan. Akhirnya, tiada lagi yang bisa diharapkan menjadi panutan bagi masyarakat yang mampu menggerakkan roda pembangunan menuju kurva yang lebih tinggi. Sehingga, ranah Minangkabau akan tetap begini dan begini seterusnya tanpa merasakan aroma kemajuan. Bukankah ini tidak kita inginkan? Lantas akankah kondisi masyarakat seperti di atas kita biarkan?
Untuk itu, mari kita belajar untuk bersikap lebih dewasa. Kedewasaan akan menumbuhkan sikap sportif. Sportifitas akan melahirkan suasana kompetitif dalam segala bidang. Suasana kompetitif yang berkesinambungan akan terus dan terus meningkatkan kualitas mental dan moral manusia, sehingga lahirlah tokoh-tokoh besar dari kampung halaman kita sendiri, Minangkabau!!!

Kamis, 01 Januari 2009

INHALER DAN PUASA PEMAKAINYA

INHALER DAN PUASA PEMAKAINYA

A. Pendahuluan

Puasa adalah salah satu rukun Islam. Sebagai sebuah rukun, ia mesti dilaksanakan oleh setiap muslim, diwajibkan pada bulan Ramadhan dan disunatkan di hari-hari lainnya. Kewajiban ini telah dijustifikasi oleh firman Allah surat al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”

Pada ayat di atas, tidak tertulis subjek yang mewajibkan puasa, meskipun tidak dapat dipungkiri yang mewajibkannya adalah Allah swt. Hal ini merupakan isyarat betapa pentingnya puasa bagi manusia, sehingga apabila Allah tidak mewajibkannya, manusia akan tetap berpuasa dengan pertimbangan faktor-faktor lain.[1] Begitulah pentingnya puasa, sehingga tidaklah salah jika seseorang berkata bahwa setiap manusia butuh puasa.

Namun, dalam kondisi tertentu, sebagian manusia tidak mampu menjalankan puasa seperti orang yang sakit, dalam perjalanan, orang tua, dan wanita menyusui. Pada kondisi-kondisi tersebut, manusia tidak bisa dan bahkan tidak mungkin melaksanakan puasa. Namun, Islam sebagai agama yang yusrun, memberikan jalan keluar bagi mereka berupa rukhsah (keringanan) dengan syarat menggantinya pada hari-hari selain Ramadhan atau dengan membayar fidyah dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikutnya:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Artinya : “Maka siapa yang sakit atau berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengganti puasanya pada hari lain, dan bagi orang yang tidak sanggup untuk berpuasa, hendaklah ia membayar fidyah berupa memberi makan bagi orang miskin.” (Q.S. Al-Baqarah 184)

Terlepas dari itu, sangatlah penting untuk mencermati segala hal yang bisa membatalkan puasa seperti masuknya suatu benda ke salah satu rongga dari rongga-rongga tubuh manusia. Namun dari ini, timbul suatu polemik. Bagaimana halnya inhaler bagi orang yang berpuasa?

Kita kenal dengan asma. Suatu penyakit yang cukup banyak diderita manusia, termasuk di Indonesia. Pada dasarnya, penderita penyakit ini secara fisik mampu untuk berpuasa. Karena memang fisiknya cukup kuat untuk melaksanakan puasa. Hanya saja di saat kambuh, dia sangat kesusahan. Tetapi dengan memakai inhaler sebagai obat, sesak nafas yang sangat mengganggu tersebut reda dalam beberapa menit saja. Akan tetapi, apakah inhaler ini tidak membatalkan puasa?

Secara kasat mata, dapat dilihat bahwa inhaler tersebut membatalkan puasa pemakainya. Karena mengutib dari kitab Fath al-Mu`in mengenai hal yang membatalkan puasa, disebutkan bahwa masuknya suatu benda meskipun sedikit ke dalam apa saja yang disebut rongga.[2] Begitulah halnya dengan inhaler.

Namun di sisi lain, inhaler itu sendiri terbentuk dari udara sebagaimana udara yang biasa kita hirup dalam proses pernafasan. Hanya saja udara tersebut sudah dicampur dengan zat pereda sesak nafas karena asma. Dan pemakaiannya pun bukan untuk memasukkan makanan yang mengenyangkan, melainkan untuk pengobatan. Dan dari sini, bisa saja disimpulkan bahwa inhaler tidaklah membatalkan puasa. Jadi bagaimana penyelesaiannya?

Dari gambaran di atas, perlulah kiranya polemik ini dibahas lebih mendalam. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisa dan meneliti lebih lanjut bagaimanakah keberadaan puasa penderita asma yang memakai inhaler.

Demi terfokus dan terarahnya kajian ini, sekaligus memberikan rel yang jelas untuk pengembangannya, dapatlah dirumuskan masalah yang akan dikaji lebih lanjut yang tersusun dari beberapa poin:

1. Apakah yang dimaksud dengan puasa dan apa saja hal-hal yang berkaitan dengan puasa?

2. Bagaimanakah penyakit asma dan apakah yang disebut dengan inhaler?

3. Dan bagaiman puasa penderita asma yang menggunakan inhaler, batalkah atau tetap sah?

B. Defenisi dan Hukum Puasa

Puasa adalah suatu entitas yang tidak asing lagi bagi kita semua. Semenjak jenjang pendidikan terendah, tingkat Taman Kanak-kanak, setiap murid telah diajarkan mengenai dasar-dasar agama seperti rukun Islam, rukun iman, dan yang lain sebagainya. Berarti semejak itu pulalah kita mengetahui bahwa puasa adalah salah satu dari Rukun Islam. Selain dalam surat al-Baqarah: 183 di atas, eksistensi puasa sebagai salah satu rukun Islam ini juga telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau dari Abdullah bin Umar:

بني الإسلام علي خمس: شهادة ان لا إله إلا الله و أن محمد الرسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان (أخرجه البخار و مسلم و النساء)

Artinya : Islam dibangun atas lima perkara (1)syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)mendirikan shalat, (3)membayarkan zakat, (4)haji, dan (5)puasa Ramadhan (H.R Bukhari, Muslim, Nasa`i, dan Turmizi)[3]

Puasa telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Nabi Musa dalam syariatnya melaksanakan puasa selama 40 hari. Di dalam Taurat dan Injil pun disebutkan bahwa puasa adalah ibadah yang dianjurkan, meskipun nash yang mewajibkannya tidak ada. Setelah itu digambarkan mengenai faidah puasa, yaitu untuk mempersiapkan diri seorang mukmin untuk bertakwa kepada Allah. Bagaimana tidak? Puasa itu wujudnya adalah pengekangan dan pengontrolan hawa nafsu, pnguatan jiwa, dan penerapkan kesabaran. Puasa mengajarkan umat Islam untuk meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia demi melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.[4]

Selanjutnya, apakah makna definitif dari puasa baik secara etimologi maupun terminologis? Mengatahui ini merupakan suatu kemestian, karena kalau seseorang beramal, namun ternyata ia tidak mengenal apa yang dikerjakannya, jadi apa sebenarnya yang diamalkannya?

Secara Etimologi, shaum adalah kata dalam Bahasa Arab yang berarti imsak (menahan).[5] Jadi secara bahasa, jika seseorang mengangkat suatu benda, dan ia menahan benda tersebut agar tidak jatuh lagi ke tempatnya, maka ia telah berpuasa. Namun cukupkah kita hanya mengenal shaum secara bahasa? Tentu saja tidak. Di samping itu, kita juga harus mengetahui apakah arti shaum tersebut secara syar’i (terminologi).

Dalam berbagai kitab, disampaikan berbagai macam redaksi mengenai defenisi syar`i puasa. Namun itu mempunyai maksud dan makna yang sama. Salah satunya mengutup dari Tafsir Ibnu Katsir Jilid I dinyatakan bahwa puasa adalah menghindari dari makan, minum, dan berjima` disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.[6] Dan puasa itu sendiri disyariatkan olah Allah kepada umat Islam pada bulan Sya`ban tahun 2 Hijriah.[7]

Sebagaimana pada ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa itu adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Dan wajibnya puasa tersebut terbagi kepada tiga bagian: karena faktor waktu (puasa Ramadhan), karena suatu sebab atau illat (puasa kafarat), dan karena janji (puasa nazar).[8]

Sebagai sebuah perintah dari Allah sebagai subjek hukum, tentu puasa juga mempunyai objek, dalam artian kepada siapa puasa itu diwajibkan? Puasa diwajibkan kepada setiap orang yang telah memenuhi kriteria muslim, mukallaf, tidak ada penghalang puasa seperti haid dan nifas, dan mampu.[9] Pelaksanaan puasa juga tidak terlepas dari rukun-rukun, yaitu niat, dan menahan diri dari segala hal yang membatalkannya.[10]

Selain puasa Ramadhan, Islam juga mengenal beberapa puasa sunat, seperti puasa ‘asyura (10 Muharram), tasu’a (9 Muharram), enam hari di bulan Syawwal, puasa ayyamu al-baidhi (di siang hari yang malamya bulan purnama (sekitar tanggal 12, 13, dan 14 setiap bulan qamariyyah), dan puasa Senin Kamis.[11]

Selain hari-hari diwajibkan dan disunatkan untuk menjalankan puasa, Islam juga menjelaskan hari-hari yang diharamkan melaksanakan puasa: dua hari raya besar (‘Idul Fitri dan Idul Adha) dan hari tasyri’ (11, 12, dan 13 Zulhijjah).[12]

Untuk menambah kesempurnaan ibadah puasa, terdapat beberapa hal yang disunatkan selama berpuasa, yaitu: menta`khirkan sahur, menta`jilkan buka, bersuci sebelum fajar, menahan syubhat yang mubahah, memperbanyak amal ibadah (shadaqah, tilawah, dll), i`tikaf, menghindarkan perkataan kotor dan sia-sia. [13]

Namun, di samping itu, perlu juga memperhatikan hal-hal yang dapat merusak dan membatalkan puasa: masuknya sesuatu ke rongga, memasukkan obat melalui kemaluan atau anus, sengaja muntah, hubungan suami istri (jima`) pada faraj dengan sengaja di siang hari, onani, haidh dan nifas, gila, murtad. [14]

Ibadah puasa mempunyai banyak sekali keutamaan, sehingga tidak salah jika dinyatakan bahwa manusia butuh kepada puasa, apalagi puasa Ramadhan. Mengapa tidak? Begitu banyak keutamaan puasa Ramadhan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada manusia pada bulan ini, di antaranya: puasa menjadi perisai dari perbuatan tercela, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari minyak kesturi di sisi Allah, orang yang berpuasa punya dua kegembiraan, di saat berbuka dengan perbukaannya, dan di saat menghadap Tuhannya, gembira dengan puasanya, dan sebagainya. Dengan keutamaan-keutamaan tersebut, masihkah puasa tidak dibutuhkan?

C. Asma dan Inhaler

Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernafasan yang bersifat reversible (kadangkala kambuh dan kadangkala sehat) yang ditandai dengan kepekaan brongkus yang luar biasa terhadap banyak jenis rangsangan sehingga mengakibatkan mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk-batuk. Ternyata, asma bukanlah penyakit kontemporer yang baru-baru ini muncul dan menjangkit manusia. Kata “asma” telah dipakai pertama kali oleh seorang dokter Yunani yang bernama Hipocrates semenjak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Dia di gelari dengan Bapak Kesehatan. Asma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti terengah-engah.

Defenisi spesifik penyakit ini belum disepakati oleh para ahli kedokteran. Hal ini disebabkan oleh ciri utama dan karakteristik yang berbeda bagi tiap penderita. Namun ciri yang dominan adalah reversibel baik itu bagi penderita asma parah. Jadi apakah seseorang mengidap penyakit asma ringan ataupun berat, penyakit tersebut tetap kadangkala kambuh dan terkadang sehat. Perbedaannya hanya pada periode keseringan kambuhnya.

Di satu sisi, mengi merupakan ciri utama dari asma, akan tetapi tidak semua mengi itu asma. Menurut suatu penelitian, 10% dari penduduk dunia mengalami mengi, namun hanya 2% yang asma sesungguhnya.[15]

Meskipun bersifat reversibel, akan tetap asma seseorang akan kambuh dengan beberapa faktor: injeksi, alergi, emosi (rasa senang, kecewa, dan sebagainya dapat menimbulkan mengi), aktifitas, dan atmosfer atau polusi udara.[16]

Bagaimana dengan inhaler? Inhaler merupakan salah satu dari obat asma. Obat asma dibuat dalam berbagai bentuk seperti tablet, sirup, puyer, injeksi, dan inhaler. Inhaler itu sendiri adalah obat asma yang dibuat dan dirancang sedemikian rupa sehingga pemakaiannya berbentuk proses pernafasan seperti biasa, dan pengaruhnya dapat langsung bekerja pada saluran pernafasan.[17] Bentuknya pun sangat sederhana, yaitu seperti udara yang dicampur dengan zat yang biasanya terdiri dari epinephirine atau isoprotenerol yang disemprotkan ke dalam tenggorokan dan dihirup dengan segera.[18] Efek obat ini langsung terasa dalam beberapa menit saja. Berbeda dengan tablet, sirup atau yang lainnya. Obat ini prosedurnya melalui saluran pencernaan terlebih dahulu, kemudian baru disalurkan oleh darah ke sasarannya. Dan hal ini memakan waktu yang cukup lama. Dan lamanya waktu dapat berpengaruh buruk terhadap penderita di saat asmanya kambuh.

D. Pendapat Ulama Menganai Puasa Pemakai Inhaler

Berikut ini akan disampaikan mengenai inti permasalahan pada karya tulis ini, yaitu mengenai kedudukan puasa bagi penderita asma yang menggunakan inhaler. Untuk itu, penulis menganalisa beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut, paling tidak pendapat yang mendekati pembahasan tersebut, diantaranya:

1. Inhaler membatalkan puasa pemakainya. Karena sangat jelas, memasukkan sesuatu ke badan melalui lubang badan seperti mulut, hidung, atau yang lainnya berakibat pada batalnya puasa seseorang. Berbeda dengan injeksi yang dimasukkan melalui badan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa injeksi tidak membatalkan puasa. Pendapat ini tertulis dalam kolom konsultasi Ramadhan di harian Republika edisi Jumat, 7 Oktober 2005.[19]

2. Dalam buku Al-Fatawa Asy-Syar`iyyah fi Al-Masail Al-Ashriyyah min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini dijelaskan bahwa Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin berpendapat bahwa inhaler hukumnya boleh, baik pada puasa Ramadhan ataupun pada puasa yang lainnya, kerena inhaler tidak sampai kelambung, tetapi hanya berfungsi untuk melegakan pernafasan. Penggunaannya pun hanya dengan bernafas seperti biasa. Jadi hal ini berbeda dengan makan dan minum. Karena memang tidak ada makanan dan minuman yang sampai ke lambung.[20]

3. Yusuf Qaradhawi mengenai injeksi berfatwa, bahwa jarum injeksi terbagi kepada dua tipe. Yang pertama injeksi yang tidak memasukkan makanan ke dalam tubuh seseorang. Mengenai ini banyak ulama berpendapat boleh, karena memang tidak ada makanan yang sampai ke lambung dan tujuannya pun tidak untuk memasukkan makanan. Yang kedua adalah injeksi yang bertujuan untuk memasukkan makanan ke dalam darah. Mengenai ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan membatalkan karena memasukkan makanan ke darah, dan sebagian lainnya menyatakan tidak membatalkan karena makanan tersebut tidak sampai ke perut besar (lambung). Beliau lebih cenderung kepada pendapat kedua mengenai ini. Karena puasa adalah menahan dari syahwat perut dan syahwat sexual.[21]

4. Syaikh Al-Bakri bin Sayyid Muhammad dalam kitabnya I`natu at-Thalibin Juz II menyatakan bahwa masuknya sesuatu ke dalam apa saja yang disebut dengan rongga, meskipun sedikit, membatalkan puasa. Beliau mencontohkan benda tersebut meskipun sebesar semut merah atau kerikil yang kecil. Namun tidak demikian dengan atsar (pengaruh/bekas) dari benda tersebut, yaitu bau dan rasa. Hal ini tidak membatalkan puasa.[22]

5. Syaikh Muhammad Sjarbaini Al-Khatib, dalam kitab Mughni al-Muhtaj, menyatakan bahwa puasa adalah menahan dari masuknya sesuatu benda ke dalam rongga seseorang meskipun sedikit. Namun dengan kata “benda” (`ain) maka tidaklah termasuk bekas (atsar) seperti bau-bauan yang dicium, hangat dan dinginnya air dengan indra perasa. Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa masuknya serangga, nyamuk, debu jalanan, atau benda-benda halus tidak membatalkan puasa.[23]

6. Dalam kitab Mazahib Al-Arbaah, Hanafiah berpendapat bahwasanya puasa seseorang batal dengan mengkonsumsi benda-benda yang mengenyangkan, diinginkan oleh hawa nafsu manusia, melegakan atau memenuhi syahwat perut, seperti makan dan minum.[24] Namun tidak demikian dengan masuknya debu-debu jalanan, benda-benda yang halus, serangga atau nyamuk ke dalam Jauf (rongga).

7. Dalam kitab yang sama, Maliki berpendapat bahwa masuknya benda ke rongga mulut, mata, telingga, atau hidung baik berupa air ataupun benda lain berakibat pada batalnya puasa. Tetapi, bau makanan atau asap kayu bakar tidak demikian.[25]

Dari ketujuh pendapat di atas, pendapat pertama bertolak belakang dengan pendapat kedua. Pada pendapat pertama dijelaskan bahwa memasukkan benda melalui rongga mambatalkan puasa, jadi inhaler tentu juga demikian. Namun pada pendapat kedua, inhaler boleh bagi orang yang berpuasa karena tidak sampai ke lambung dan penggunaannya seperti bernafas yang selayaknya. Hal itu berbeda dengan makan dan minum.

Pada pendapat ketiga hingga ketujuh, tidak membahas mengenai permasalahan ini secara langsung, namun dapat dijadikan pertimbangan untuk penetapan hukum inhaler tersebut. Pada pendapat Yusuf Qaradhawi, penulis menggaris bawahi injeksi tidak membatalkan puasa karena tidak bertujuan untuk memasukkan makanan dan tidak sampai ke lambung. Inhaler pun demikian.

Pada pendapat keempat sampai ketujuh, dinyatakan bahwa atsar (bekas) suatu benda, yaitu bau dan rasa dari benda tidak membatalkan puasa, begitu juga debu jalanan, benda-benda halus dan asap kayu bakar. Penulis menilai bahwa inhaler bersifat seperti sama dengan benda-benda yang disebutkan di atas, dia hanya punya rasa, berbentuk seperti debu, berwujud sangat halus, dan kalau disemprotkan ke alam bebas, seperti asap yang mengandung debu.

E. Kesimpulan

Setelah mendapatkan pertanyaan yang menjadi akar permasalahan kajian ini dan dibahas dan dianalisa secara komprehensif dengan media beberapa pendapat ulama serta analisisnya, dapat disimpulkan bahwa inhaler tidak membatalkan puasa pemakainya karena faktor-faktor berikut:

1. tidak sampai ke lambung.

2. penggunaannya seperti bernafas selayaknya.

3. tidak bertujuan untuk memasukkan makanan.

4. hanya punya rasa.

5. berbentuk debu dan sangat halus.

Kesimpulan ini berdasarkan istidlal dengan metode Maslahah Mursalah, dimana hal ini adalah kemaslahatan untuk manusia, namun dalil mengenai permasalahan ini tidak ada, baik untuk penetapannya ataupun untuk pembatalannya. Sementara itu syari`at bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Jadi tidak salah kita mengambil sisi maslahah dari peristiwa ini.

Mengapa ini merupakan kemaslahatan? Karena sangatlah sia-sia rasanya kalau puasa seseorang rusak atau batal karena peristiwa yang hanya terjadi beberapa menit saja, sementara itu peristiwa tersebut tidak diinginkan, dan menghilangkan kesia-siaan adalah sebuah kemaslahatan.

Hal ini sejalan dengan kebolehan debu jalanan, asap kayu bakar, serangga, nyamuk, atau benda-benda halus lainnya yang masuk ke dalam rongga. Tidak ada orang yang benar-benar menginginkan benda tersebut masuk ke dalam rongga. Sehingga jika itu terjadi, tidaklah merusak puasa seseorang, karena sangat sia-sia kalau puasa seseorang batal hanya karena peristiwa kecil yang tidak diinginkan manusia. Hal ini dipandang segi maslahatnya.

Wallahu A`lamu bisshawwab



[1] M. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000) hal. 382.

[2] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari (selanjutnya: Al-Mulyabari), Fathul Mu`in (Semarang: Karya Toha Putra, t.th) hal. 56.

[3] Syaikh Mansur Ali Nasif, At-Taj Al-Jami` li Al-Usul fi Ahaditsi Ar-Rasul, (Kairo: Darul Fikri, t.th) hal 24.

[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid I, (t.p: Darul Fikri, t.th) hal. 165.

[5] Al-Mulyabari, Fathul Mu`in, hal. 54.

[6] Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azim Jilid I, (Kairo: Darul Hadits, 2003) hal. 265.

[7] Al-Mulyabari, Fath al-Mu`in, hal. 54.

[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Surabaya: Hidayah, t.th) hal 206.

[9] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 207; Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 55.

[10] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 55.

[11] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 59.

[12] Muhammad bin Qasim al-Azzy (selanjutnya: Qasim Al-Azzy), Fatul Qarib, (Surabaya: Dar al-Nasyar al-Misriyyah, t.th) hal 26.

[13] Al-Mulyabari, Fath al-Mu’in, hal 59; Qasim Al-Azzy, Fatul Qarib, hal. 26.

[14] Qasim Al-Azzy, Fatul Qarib, hal. 26.

[15] Sri Mulyani dan Didit Gunawan, Ramuan Tradisional untuk Penderita Asma, (Bogor: Penebar Swadaya, 2000) hal. 1-2.

[16] Roy Meadow dan Simon Newel, Lecture Notes Pediatrika, (Jakarta: Erlangga, 2002) hal.

[17] http://www.infoasma.org/asma.html.

[18] Harold Shyock dan M.D Banduni, Modern Medical Guide, (t.t, Herald Publishing, 2000) hal. 26.

[19] http://republika.co.id.

[20] http://www.almanhaj.or.id.

[21] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hal. 422.

[22] Syaikh Al-Bakri bin Sayyid Muhammad, I`anatu at-Thalibin Juz II, (Surabaya: Dar al-Ilmi, t.th) hal. 236.

[23] Muhammad Sjarbaini Khatib, Mughni Muhtaj, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halbi wa Auladihi, 1958) hal. 428.

[24] Abdurrahman Al-Jaziri, Mazahib Al-Arba`ah, (Kairo: Maktabah Tijariah Kubra, t.th) hal. 561.

[25] Abdurrahman Al-Jaziri, Mazahib Al-Arba`ah, hal. 566